Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
“Jangan pernah sekali pun merasa suci di hadapan Allah. Rasulullah saw. yang jelas-jelas maksum saja beristighfar tujuh puluh kali dalam sehari. Riwayat lain mengatakan seratus kali dalam sehari. Lalu pantasnya kita berapa kali?”
Paling tidak ada beberapa tingkatan orang yang berbuat salah. Pertama, orang berbuat salah, dan akhirnya ia tahu bahwa apa yang diperbuatnya itu salah. Kedua, orang yang berbuat salah tapi ia tak kunjung tahu bahwa apa yang diperbuatnya itu adalah tindakan yang salah. Ketiga, orang yang berbuat salah, ia tak kunjung tahu bahwa ia telah berbuat salah, kemudian mengajak orang lain berbuat salah. Keempat, orang yang berbuat salah, ia sadar bahwa ia telah berbuat salah, tapi ia mengajak orang lain untuk berbuat salah seperti dirinya.
Satu pertanyaan untuk Anda. Menurut Anda, siapa orang yang paling pantas dihukum dengan hukuman terberat? Wallahu A’lam, selayaknya orang terakhirlah yang pantas diberi hukuman terberat. Mengapa?
Mari kita bahas satu per satu. Orang pertama yang berbuat salah, tetapi akhirnya dia menyadari bahwa apa yang diperbuatnya itu salah. Ia memiliki potensi untuk menobati kesalahannya, kemudian di waktu yang lain tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama karena telah tahu bahwa apa yang diperbuatnya salah. Orang seperti ini memiliki potensi besar untuk berubah dan segera menjadi orang baik.
Orang kedua adalah orang yang berbuat salah, tetapi tak kunjung tahu bahwa apa yang diperbuatnya itu bukanlah sebuah kesalahan. Hal ini bisa saja terjadi pada seseorang yang memiliki keterbatasan ilmu dan wawasan mengenai suatu hal. Ia melakukan kesalahan itu bisa jadi karena ketidaktahuannya bahwa apa yang diperbuatnya salah. Bisa jadi umpama ia tahu apa yang diperbuatnya itu adalah perbuatan salah, ia akan meninggalkannya. Orang seperti ini, kata Imam Al-Ghazali tidaklah dihukumi dosa. Mengapa? Karena ia sebenarnya ingin berjalan di jalan yang benar. Ia sudah berusaha mempelajari ilmu-ilmu yang belum ia tahu. Tetapi apa daya, ilmu Allah amatlah luas dan tidak kunjung habis untuk dikupas, sementara manusia memiliki keterbatasan waktu dalam belajar. Insya Allah, Tuhan akan memaklumi orang-orang yang senantiasa berusaha mencari kebenaran.
Sementara orang ketiga adalah orang yang telah berbuat salah tetapi tak kunjung tahu bahwa apa yang ia perbuat adalah kesalahan, kemudian ia mengajak orang lain berbuat salah. Wallahu A’lam, orang seperti ini meskipun belum bisa dihukumi buruk, tetapi sangatlah membahayakan. Mengapa belum bisa dihukumi buruk? Tentu saja karena masih ada kemungkinan apa yang diperbuatnya itu bukan ber-dasar kesengajaan untuk berbuat salah. Bisa saja ia berbuat demikian karena ia belum tahu bahwa apa yang diperbuatnya itu sebuah kesalahan. Ia juga mengajak orang lain berbuat hal yang sama, mungkin karena ia tidak merasa apa yang didakwahkannya kepada orang lain itu adalah sebuah kesalahan. Maka ia tidak bisa begitu saja dihukumi salah.
Lalu mengapa saya katakan orang seperti ini berbahaya? Rusaknya masyarakat salah satunya disebabkan oleh munculnya manusia-manusia yang menebarkan ajaran yang menurut mereka benar, namun pada hakikatnya sebuah kesalahan. Benar memang ia memiliki niat baik untuk mendakwahkan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Tetapi karena apa yang diyakininya itu ternyata sebuah kesalahan, maka ajaran salah pun akan tersebar ke semakin banyak orang. Jika pada mulanya kesalahan itu hanya diyakini oleh satu orang saja, tetapi karena satu orang itu menyampaikan kepada orang lain yang juga awam, akhirnya lama-kelamaan ajaran salah itu pun menjadi jamak. Di sinilah letak berbahayanya orang ketiga.
Yang paling buruk saya tentulah tipe orang keempat, yaitu orang yang berbuat salah, ia sadar bahwa apa yang diperbuatnya itu sebuah kesalahan, tapi ia malah mengajak orang lain untuk berbuat salah seperti dirinya. Disadari atau tidak, tipe keempat ini telah menggejala, bahkan merebak di sekitar kita. Begitu banyak manusia yang karena dorongan nafsunya rela melepaskan kebenaran. Ada orang yang demi segepok uang, rayuan popularitas, gengsi sosial, serta tawaran pangkat yang tinggi, ia rela menutupi kebenaran dan terus menikmati hidup dalam gelimang kebohongan. Ia tahu bahwa apa yang diperbuatnya salah, tetapi karena ia lebih takut pada turunnya harga diri di depan manusia, ia lebih takut pada jeruji besi, ia lebih takut kehilangan kuasa, maka ia pun tak kunjung bertaubat. Ia terus-menerus melindungi dan membela diri dengan berbagai macam dalih agar apa yang diyakininya sebagai kesalahan itu tidak diketahui masyarakat bahwa hal itu salah. Untuk mengamankan diri akhirnya ia coba mencari beragam argumen, membolak-balik beragam ayat, meramu dan memanfaatkan beragam hadis untuk memutar kesalahan menjadi kebenaran. Kemudian ia dakwahkan kesalahan yang dimanipu-lasi itu kepada masyarakat. Ketika masyarakat sudah banyak yang terpengaruh, puaslah ia.
Inilah orang yang membayakan eksistensi kebenaran di umat. Kita tidak perlu mencari-cari keluar siapa orang yang termasuk tipe satu, dua, tiga, empat itu. Saya hanya mengajak untuk instrospeksi, di mana letak diri kita.
Efek Kejiwaan Sang Pendosa
Ada beberapa kemungkinan hukuman bagi para pendosa. Pertama, hukuman itu ditimpakan di akhirat. Bisa jadi semakin ia melakukan dosa, justru semakin banyak kesenangan-kesenangan baru yang menghampirinya. Para koruptor yang tak ketahuan misalnya. Tiap korupsi, selamat terus. Jangan kira itu nikmat. Dalam Islam kita biasa menyebutnya istidrâj. Sengaja dibiarkan saja oleh Allah Swt., sepuas-puasnya. Ibarat mancing ikan, saat ikan baru menyentuh kail beserta umpannya mulai dimakan dan dibawa menjauh oleh ikan, kita ulur terus, hingga kita rasakan mata kail telah masuk ke mulut ikan dan kita prediksi mata kail itu mampu tersangkut di mulutnya, baru kita menariknya kuat-kuat. Itulah istidrâj. Di dunia pemaksiat dibiarkan dulu oleh Allah Swt.. Hingga di akhirat kelak, siksa yang begitu pedih siap menyambut.
Kemungkinan kedua, bisa saja hukuman kepada para pemaksiat ditimpakan di dunia. Biasanya dosa-dosa yang balasannya cespleng adalah dosa durhaka kepada orangtua, menzalimi anak yatim, dan beberapa dosa besar lain.
Kalau korupsi? Bisa saja balasan terhadap koruptor diterima di dunia. Sering malah. Berita korupsi masih menjadi berita paling laku di media kita. Hampir setiap hari ada saja kasus korupsi yang terungkap dan terpublikasi melalui media.
Saya ingin membahas kasus ini untuk mendiskusi-kan efek psiko sang pendosa yang telah dilumat harga dirinya di depan masyarakat sebelum dihakimi Allah Swt. di akhirat kelak. Saya menilai ada keterkaitan antara kasih sayang Allah Swt. dengan hukuman yang diterima oleh pelaku dosa di dunia. Kita banyak mengenal orang-orang yang melakukan dosa, kemudian dosa itu ketahuan oleh orang lain, hingga tersiar di masyarakat banyak, akhirnya nama baik sang pelaku dosa tercemar. Ternyata justru pada titik itu, sang pelaku dosa tergetar hatinya untuk menginsyafi kesalahannya dan akhirnya bertaubat kepada Allah Swt.. Kita sering melihat beberapa orang yang kelakuan bejatnya terbongkar tiba-tiba menjadi sosok manusia yang lebih saleh daripada orang yang dulu menghinanya.
Bagaimana proses mekanisme kejiwaan itu ter-jadi? Beberapa pelaku dosa yang ketahuan publik, merasa bahwa saat itu martabatnya telah jatuh serendah-rendahnya. Di titik terendah itu ia merasa tak lagi punya harga diri di hadapan manusia. Ia menjadi orang terbuang dalam komunitasnya. Para pencaci tiba-tiba bermunculan di depannya.
Nah, ternyata kondisi ini memunculkan kesadaran pada diri si pelaku dosa bahwa ia harus mencari ‘sosok’ yang masih mau mendengarnya. Ia mencari ‘sosok’ yang masih mau memerhatikannya. Sehingga ia tak lagi punya harapan lain kecuali mendekat sedekat mungkin kepada yang masih mau untuk didekati, yaitu Tuhan.
Kondisi psikologis ini mungkin saja terjadi, sehingga ketika kita menyaksikan orang yang terbukti sebagai koruptor itu namanya telah tercela di hadapan publik, jangan buru-buru menyimpulkan Anda lebih mulia dari mereka. Jangan buru-buru bangga saat dosa Anda masih tertutup. Mungkin saja dosa Anda lebih besar daripada mereka. Mungkin saja dengan membongkar kebejatan si koruptor itu Allah Swt. ingin agar ia cepat-cepat mengalami efek kejiwaan yang akan membawa mereka pada pintu taubat.
Melalui tulisan ini saya ingin mengajak pembaca untuk mengambil segala sesuatu sebagai pelajaran berharga. Saat melihat berita korupsi, perzinaan, peni-puan, pembunuhan, dan lain-lain, mudah-mudahan yang muncul dari pikiran kita adalah kalimat doa, “Ya Allah, lindungi hamba, keluarga, teman-teman, saudara-saudara hamba agar tak terjerumus dalam nista seperti ini. Dan semoga Engkau buka pintu hidayah bagi mereka.” Semoga ketika melihat orang lain yang kelakukan buruknya terbongkar, tiba-tiba terbersit dalam hati kita kalimat, “Ah, mungkin saja dosa saya lebih besar dari dia. Mungkin saja Allah Swt. murka kepada saya daripada kepada dia.” Jangan pernah sekali pun merasa lebih suci di hadapan Allah Swt.. Bahkan Rasulullah saw. yang jelas-jelas maksum saja ber-istighfâr tujuh puluh kali dalam sehari. Riwayat lain mengatakan seratus kali dalam sehari. Perlu kita renungkan, berapa kalikah kita ber- istighfâr dalam sehari?
Taubat Setiap Hari
Ada sebuah kisah dari hadis Qudsi yang di-takhrij oleh Imam Bukhari. Kisah tentang seorang laki-laki yang nyaris meninggal. Ketika ajal terasa hendak menjemput, ia berwasiat kepada keluarganya, “Apabila saya meninggal kumpulkanlah kayu bakar yang banyak dan bakarlah jasad saya bersama kayu-kayu itu. Apabila api telah membakar daging dan tulangku, kumpulkan dan ambillah abunya. Kemudian carilah hari yang berangin keras dan taburkan abu itu ke sungai.”
Keluarganya pun melaksanakan amanat laki-laki itu. Di alam barzakh ternyata Allah Swt. bertanya kepadanya, “Kenapa kamu berpesan seperti itu kepada keluargamu?” Ia menjawab, “Karena aku takut kepada-Mu.” Allah Swt. pun mengampuni dosa-dosanya.
Ya, ketakutan kepada Allah Swt. mengantarkan seorang hamba diampuni dosanya. Takut pada azab kubur yang belum pernah dirasa sesakit apa. Takut jika di Padang Mahsyar menerima catatan pahala amal dengan tangan kiri. Takut pada licin dan tajamnya Sirathal Mustaqim. Takut pada ngerinya neraka yang belum pernah sekali pun dijamah.
Sebagaimana asal katanya, insân (manusia) sangat dekat akar katanya dengan nisyân (pelupa). Maka tidak ada satu pun manusia yang tidak pernah melakukan salah dan dosa. Manusia yang baik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan perbuatan dosa. Manusia yang baik adalah mereka yang setelah berdosa, ia menyesal, kemudian memohon ampun kepada Allah Swt..
Kehidupan modern semakin menyediakan banyak ragam dosa setiap harinya. Mulai bangun tidur hingga berangkat tidur lagi kita akan disuguhi dengan banyak sekali godaan. Kita hampir tidak bisa memastikan apakah hari ini kita melakukan dosa atau tidak.
Tetapi Allah Maha Pengampun. Tentu saja kepada hamba-hamba yang serius melakukan taubat. Sebesar apa pun dosa yang pernah Anda perbuat, jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah Swt., karena Allah Swt. Maha Pengampun dosa.
“Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia- lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Az-Zumar [39]: 59).