Jakarta – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU), Wardi Taufik, mengecam keras tayangan program “Xpose Uncensored” Trans7 yang dianggap menciptakan persepsi menyesatkan tentang pesantren. Ia menilai, penggambaran visual seperti santri “ngesot” dan narasi simbolik tentang “amplop” mencoreng martabat pesantren sebagai pusat pendidikan dan peradaban. “Cara mereka menyajikan relasi kiai dan santri tidak hanya tidak proporsional, tetapi juga melukai nilai adab dan khidmah yang sudah ratusan tahun dijaga,” tegas Wardi.
Menurutnya, pesantren bukan sekadar institusi keagamaan, melainkan benteng moral bangsa. “Pesantren itu tempat lahirnya karakter dan martabat. Ketika media menggambarkannya dengan cara yang dangkal, mereka sama saja merusak kepercayaan publik terhadap warisan peradaban,” ujar Wardi.
Ia menekankan bahwa hubungan kiai dan santri tidak pernah bisa dipahami secara kasat mata. “Itu bukan relasi ritual atau akademik biasa, itu hubungan ruhani, hubungan pembentukan jiwa,” tambahnya.
Wardi menilai tayangan tersebut tidak hanya gagal memahami kultur pesantren, tetapi juga berbahaya secara sosial.
“Narasi semacam ini bisa memicu stigma. Nanti masyarakat awam mengira pesantren penuh praktik aneh dan tidak rasional. Padahal, pesantren adalah pusat ilmu dan kebangsaan,” ucapnya. Ia menyebut bahwa media seharusnya membangun pemahaman, bukan menebar sensasi.
Atas peristiwa ini, PP ISNU mendesak Trans7 segera menarik episode tersebut dari seluruh platform digital.
“Tayangan itu harus ditarik, tidak cukup hanya diam. Harus ada klarifikasi etik dan permintaan maaf,” kata Wardi. Menurutnya, koreksi publik merupakan bagian dari tanggung jawab media terhadap harmoni sosial dan keberagaman. “Kebebasan berekspresi tidak berarti bebas melukai,” ujarnya menegaskan.
Selain itu, Wardi juga mendorong Trans7 untuk memperbaiki kesalahan tersebut dengan langkah konstruktif.
“Kalau memang ingin mengulas pesantren, buatlah dokumenter yang benar. Tunjukkan bagaimana pesantren membangun SDM, mendidik generasi, bahkan masuk dalam arus digitalisasi pendidikan Islam,” katanya. Ia menegaskan bahwa pesantren kini bukan lembaga tertutup, melainkan aktor penting dalam pembangunan bangsa.
ISNU pun meminta campur tangan regulator media. “KPI dan Dewan Pers harus turun. Ini bukan sekadar soal tayangan kontroversial, ini soal pelanggaran etik jurnalistik, yakni tidak akurat juga tidak berimbang,” tegas Wardi.
Ia mengingatkan bahwa tema keagamaan dan kebudayaan memerlukan kepekaan tinggi.
Di akhir pernyataannya, Wardi menyerukan agar kasus ini menjadi pelajaran bagi dunia penyiaran. “Kami tidak anti kritik. Tapi narasi yang melukai itu berbeda dengan kritik. Jangan jadikan pesantren komoditas sensasi,” tuturnya. Ia mengajak semua pihak untuk menjaga marwah pesantren sebagai warisan peradaban bangsa. “Kalau marwah pesantren rusak, yang terguncang bukan hanya umat, tetapi fondasi moral bangsa,” tutupnya.