Digindonews.com – Ruang digital kini terbuka tanpa batas, menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari anak-anak di seluruh dunia. Data global tahun 2024 mencatat, Facebook memiliki lebih dari 3 miliar pengguna aktif, WhatsApp hampir 3 miliar, Instagram 2,35 miliar, dan TikTok mencapai 1,58 miliar. Angka-angka ini mencerminkan betapa masifnya ruang digital yang diakses oleh berbagai kalangan, termasuk anak-anak.
Dalam Forum Diskusi Publik bertema “Ruang Digital Anak Aman dan Sehat” yang diselenggarakan Selasa, 16 September 2025, pegiat literasi digital Didi, S.E. Ak., M.Ak., menegaskan bahwa di balik manfaat besar ruang digital, tersimpan ancaman serius bagi anak-anak.
“Dunia maya memang memberikan peluang untuk belajar, berkreasi, bahkan membangun jejaring pertemanan lintas negara. Tetapi kita juga harus jujur bahwa risiko yang mengintai anak-anak sangat nyata,” ujarnya.
Didi memaparkan bahwa sepanjang tahun 2024, Kementerian Komunikasi dan Digital berhasil mengidentifikasi lebih dari 1.900 konten hoaks, dengan hampir 900 di antaranya adalah penipuan. Selain itu, lebih dari 14 ribu laporan penipuan online, 8.600 ancaman kekerasan, serta 6.500 kasus pencemaran nama baik masuk dalam catatan kejahatan siber. Tak hanya itu, kasus phishing, ransomware, pencurian identitas, hingga eksploitasi anak di ruang digital juga semakin sering ditemukan.
Menurutnya, salah satu ancaman terbesar adalah kecanduan gawai. “Anak-anak yang bermain lebih dari enam jam sehari, marah jika dilarang, hingga mengabaikan interaksi sosial adalah tanda jelas kecanduan digital. Ini bukan sekadar masalah perilaku, tetapi juga berimplikasi pada kesehatan mental mereka,” kata Didi.
Studi kesehatan menunjukkan, anak yang terlalu lama berinteraksi dengan gawai lebih berisiko mengalami gangguan tidur, depresi, stres, dan kecemasan sosial. Fenomena ini, tambahnya, semakin sering terjadi di keluarga perkotaan.
Sebagai solusi, pemerintah telah menerbitkan PP TUNAS yang mewajibkan platform digital menyaring konten berbahaya, menyediakan fitur parental control, melarang profiling data anak untuk tujuan komersial, serta memberlakukan sanksi tegas bagi pelanggar. Namun, Didi menegaskan bahwa implementasi harus benar-benar berjalan. “Regulasi tanpa pengawasan hanya akan menjadi dokumen. Platform global harus serius menempatkan perlindungan anak di atas kepentingan komersial,” tegasnya.
Didi juga memaparkan lima prinsip utama dalam membangun ruang digital anak yang aman dan sehat: literasi digital, etika digital, proteksi digital, keseimbangan waktu online-offline, serta kesehatan mental. Orang tua dan guru, menurutnya, berperan sangat penting melalui pendampingan aktif dan komunikasi terbuka.
Selain keluarga dan sekolah, ia menekankan pentingnya peran masyarakat dan komunitas. “Kampanye literasi digital, forum diskusi, dan pelatihan harus digalakkan. Literasi digital bukan hanya urusan individu, tetapi tanggung jawab bersama,” jelasnya.
Ia menutup dengan pesan bahwa ruang digital anak bukan semata isu teknologi, melainkan isu kemanusiaan dan masa depan bangsa. “Jika kita gagal melindungi anak-anak di dunia maya, kita mempertaruhkan generasi mendatang. Namun bila berhasil menciptakan ruang digital yang aman, anak-anak akan tumbuh menjadi generasi cerdas, kreatif, dan berdaya saing global,” pungkasnya.***