Ekonomi
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
“Kreativitas tanpa profitabilitas adalah sia-sia. Dan lebih sia-sia lagi jika profitabilitas tanpa ada integritas.” (Dee)
Bangunlah Integritas
Seorang teman berpesan kepada saya, “Profit boleh naikturun. Omzet boleh naik-turun. Namun, integritas harus naik terus.” Ini pesan serius, menurut kami. Betul-betul-betul serius. Mengingat siklus naik-turun dalam bisnis itu adalah satu perkara yang lumrah dan alamiah, seyogianya bukan di situ letak concern utama kita. Sekali lagi, bukan di situ. Melainkan pada integritas kita.
Pahamilah, tatkala bisnis sedang boom, sesungguhnya integritas kita sedang diuji. Dan sebaliknya, tatkala bisnis sedang doom, sesungguhnya integritas kita kembali diuji. Di tingkah boom atau doom, mampukah integritas kita tetap bertahan? Dan tolong dipahami pula, berkelebihan dan berkekurangan, belum tentu lulus sewaktu dites dengan berkelebihan. Sejatinya, apa pun yang terjadi, jangan pernah integritas kita sampai cacat. Jangan pernah. Karena, percayalah, inilah sesuatu yang paling layak diperjuangkan: integritas, bukan sekadar profitabilitas.
Dalam keseharian, bukan rahasia lagi sebagian marketer terbiasa dengan praktik „Spanyol‟ alias „Separo Nyolong‟. Katanya sih, demi „Belanda‟ alias „Belanja Mengada-Ada‟. Yang tidak ada, diada-adakan. Sebenarnya, selain mengoyakngoyak integritas dirinya, mereka juga telah menggerogoti hak orang lain. Dan mereka inilah yang kami sumpah-serapahi dengan „tikus besar berjalan tegak‟. Maksudnya, m-a-l-i-ng, maling!
Menuntaskan bagian yang satu ini, kami berharap Anda menjadi marketer yang bukan saja menjaga profitabilitas, namun juga memelihara integritas. Sekali lagi, integritas. Inilah nilai tambah Anda. Dengan begitu, niscaya kelak masyarakat mana pun tidak lagi memandang rendah pekerjaan marketer dan individu manapun tidak lagi merasa malu dengan pekerjaan marketer. Mudah-mudahan.
Bangunlah Relasi
Bukan rahasia lagi, bagi orang keuangan, cash-lah yang terpenting. Bagi orang akuntansi, profitlah yang terpenting. Sedangkan bagi orang pemasaran, kepuasan pelangganlah yang terpenting. Simpang-siur begitu, lantas mana yang benar? Yang jelas, apabila kepuasan pelanggan dapat diraih, maka semuanya–cash, profit dalam arti luas– dapat pula diraih.
Namun bukan semata-mata kepuasan, melainkan kepuasan yang berbasis hubungan (relationship). Menurut kami, apabila kepuasan berbasis hubungan ini betul-betul berhasil diterapkan, niscaya terciptalah Customer-in-Love, yakni pelangganpelanggan yang merasa delighted sewaktu melangsungkan transaksi dengan perusahaan. Dan rupa-rupanya, banyak sekali manfaat di balik kepuasan yang sedemikian.
Pertama, pengukuhan kredibilitas (credibility enchancement) di mana perusahaan dipercaya oleh pelanggan. Sebenarnya, kredibilitas adalah awal dari segala-galanya. Mudah dipahami, jika kredibilitas telah terbukti, barulah pelanggan sudi membeli ulang dan membeli silang, yang pada akhirnya menyebarkan kabar positif dari mulut ke mulut dan enggan pindah pada pesaing. Sebaliknya, minusnya kredibilitas–cepat atau lambat– akan memporak-porandakan perusahaan dan menggiring pelanggan pada pesaing. Punah dan musnahnya raksasa besar Arthur Andersen, Enron, dan Global Crossing adalah contoh konkretnya.
Kami ulangi sekali lagi. Pelanggan yang delighted akan membeli ulang (continous purchase). Dari pedagang kaki lima hingga pengelola swalayan paham betul, hanya kondisi delighted-lah yang mampu membuat pelanggan datang dan datang lagi ke tempat mereka. Dan hal ini telah teruji belasan tahun di Matahari dan Kem Chicks.
Selain itu, pelanggan delighted juga akan membeli silang (cross purchase). Yah, seandainya Anda merasa sreg dengan sepatu Nike, bukan mustahil Anda mau mengenakan produk Nike yang lain, semisal t-shirt, topi dan kacamatanya. Begitu „kan? Karena itulah, Grup Kalbe dan Grup Wings meluncurkan berbagai produk. Dengan harapan, pelanggan delighted-nya akan membeli silang.
Kemudian, kabar positif mengenai perusahaan pun tersebar. Pelanggan delighted yang meniupkankannya dengan senang hati. Tanpa diminta sekalipun. Bukankah buzz sedemikian merupakan bentuk komunikasi yang luar biasa jitunya? Kami menamakannya dengan constructive buzz. Tetapi, hati-hati, pelanggan yang kecewa akan menjadi pembawa kabar negatif yang tidak kenal ampun. Memang, tidak semudah menghitungnya berapa rupiah. Namun sebagai pakar kepuasan pelanggan Handi Irawan coba mengumpamakan, untuk perbankan yang breast lebih dari 1 triliun, maka perbedaan 10 persen dalam jumlah pelanggan delighted dapat bernilai puluhan miliar.
Berikutnya, pelanggan delighted akan enggan terhadap pesaing (competitor resistance). Ketika menonton mobil F 1, seorang fans setia Michael Schumacher pastilah tidak mau mengalihkan pandangan pada pembalap lainnya. Penumpang setia Garuda Indonesia pastilah tidak mau beralih pada maskapai lainnya. Pembaca setia Republika pastilah tidak mau berlanggan surat kabar lainnya.
Keenam, pelanggan yang delighted rela membayar dengan harga premium. Kami menyebutnya dengan cost intensitivity. Taksi Blue Bird di Jakarta sudah membuktikan hal ini, di mana pelanggannya siap membayar 30-40 persen lebih tinggi. Teman kami sangat menyukai batere Panasonic, padahal untuk itu mau tak mau ia mesti merogoh uang ekstra.
Ketujuh, perusahaan yang dikelilingi pelanggan delighted, maka program pemasarannya akan jauh lebih efektif. Istilahnya, cutting effort. Tidak percaya? Perbedaan tingkat kepuasan sekitar 10 persen saja, akan menyebabkan perbedaan efektivitas iklan sekitar 30 persen. Artinya, perusahaan yang dikelilingi pelanggan yang kecewa, terpaksa mengucurkan biaya iklan lebih besar agar iklannya sama efektif. Misalnya, Garuda Indonesia punya pelanggan delighted 60 persen, sedangkan maskapai yang baru hanya 50 persen. Maka, iklan dari maskapai yang baru sebanyak 1 miliar akan sama efektifnya dengan iklan Garuda sebesar 750 juta.
Perusahaan yang menggandeng pelanggan delighted, umumnya lebih efisien biaya operasinya. Ini adalah bentuk lain cutting effort. Kami paham, sepintas skenario ini sulit dipahami. Yah, bukankah untuk menjadi pelanggan delighted dibutuhkan investasi fasilitas, insentif, dan pelatihan memadai? Itu benar. Tapi, banyak studi menunjukkan, dalam jangka panjang seluruh investasi itu akan memangkas biaya pengulangan (re-do). Bayangkan seorang penjahit tiap hari menerima 5 orderan. Apabila sehari-hari rata-rata seorang pelanggan kembali gara-gara keteladanan si penjahit, maka berapa besar biaya dan waktu tambahan yang mesti dikorbankan? Selain itu, si penjahit akan kehilangan peluang meladeni pelanggan yang lain (opportunity cost).
Kedelapan, pelanggan yang delighted akan solider dan atas musibah yang menimpa perusahaan (crisis tolerance). Mau bukti? Saat krisis 1998, BCA sempat dilanda rush. Namun apa yang diidam-idamkan dibisikkan oleh nasabahnya, “BCA, berbenahlah! Ketika you sudah siap nanti, kami akan datang kembali.” Dan, benar. Setelah restrukturisasi dan sosialisasi ke publikm terbukti bank itu kembali berjalan normal.
Dampak lain dari pelanggan yang delighted adalah dukungan dari jalur distribusi (channel support). Amatilah Kacang Garuda, Indomie, dan Dji Sam Soe. Tak disangkal, mereka dianugerahi pelanggan yang delighted. Dan tak disangka pula, mereka juga didukung oleh distributor. Logikanya sederhana saja. Distributor dengan antusias akan menyediakan produk yang mampu membuat pelanggan merasa delighted.
Kesepuluh, stakeholder yang komitmen (committed stakeholder). Sepengetahuan kami, begitu perusahaan diiringi pelanggan yang delighted, maka seluruh pihak yang terkait (stakeholder) akan komit terhadap perusahaan tersebut. Termasuk karyawan, investor, supplier, konsultan, pemerintah, media, akademisi, sampai masyarakat awam. Lihat saja bagaimana Grup Astra Internasional dan Grup Agung Pedomoro diperlakukan oleh stakeholder-nya. Namun demikian, hal sebaliknya juga bisa terjadi. Tanpa pelanggan yang delighted, jangan harap stakeholder akan komit terhadap perusahaan. Kebetulan kesepuluh manfaat ini diawali dengan huruf C. Karena itu, kami melabelinya dengan 10 C’s Phenomena of Customer-in-Love.
Bangunlah Asas Manfaat untuk Sesama
Sekarang, sampailah kita pada bagian akhir buku ini. Syahdan cerita, senator bernama Evan diperintahkan Tuhan membuat bahtera (ark) layaknya Nabi Nuh demi menyelamatkan orang-orang dan hewan-hewan di sekitarnya. Evan pun menuruti perintah tersebut dan jadilah ark yang juga singkatan dari Act of Random Kindness alias kebaikan di mana saja. Inilah cuplikan film Evan Almighty yang sarat akan pesan moral di sana-sini.
Saudaraku sekalian. Adapun topik yang akan kita bahas adalah mengenai kepedulian sosial dan kaitannya dengan bencana alam. Seperti yang kita maklum, belakangan ini negara kita tidak henti-hentinya ketiban bencana alam. Apa yang kita lihat, sungguh memprihatinkan nasib saudara-saudara kita yang kehilangan keluarga serta harta-bendanya.
Namun ada sinyal cerahnya juga. Paling tidak simbol solidaritas sosial dengan serta-merta, baik itu dari kalangan masyarakat, artis, LSM, perusahaan dan lain. Tanpa menunggu komando dari pemerintah, bantuan berupa materi dan tenaga pun mengalir dan bergulir untuk korban bencana. Tentu saja, ini juga tidak terlepas dari anjuran dan ajaran agama untuk banyak-banyak beramal.
Tetapi, setelah bencana berlalu, akankah kepedulian sosial ini terus berlanjut? Sungguh, hal ini pantas Anda renungkan. Apabila Anda adalah pengelola atau pemilik perusahaan, sudahkah Anda memasukkan charity program dalam anggaran perusahaan? Apabila Anda adalah marketer independen, sudahkan Anda memasukkan sumbangan dalam daftar pengeluaran pribadi? Istilahnya, tanggung-jawab sosial (boleh juga diasosiasikan dengan creative capitalism).
Hati-hati, tidak sedikit bisnis mengalami kemandekan karena mengabaikan dan melalaikan kepedulian sosial. Perusahaan atau individu yang pelit menyumbang lamakelamaan akan terkesan negatif oleh berbagai kalangan. Akhirnya, mereka pun kehilangan dukungan bahkan bukan mustahil lenyap ditelan bumi.
Asal tahu saja, ternyata aksi-aksi sosial dapat mendongkrak nama perusahaan atau marketer di mata stakeholder (brand awareness). Di samping itu, ia juga bisa memoles citra (brand image). Sehingga, perusahaan atau marketer dianggap lebih manusiawi dan tidak lagi dituding sebagai mesin pengeruk laba semata. Dengan kondisi sedemikian, pastilah perusahaan atau marketer akan lebih leluasa memutar roda bisnisnya.
Mau contoh? Yoplait, salah satu merek yoguhrt, sibuk dengan kampanye, “Selamatkan penutup untuk menyelamatkan jiwa.” Sebenarnya mereka memerintahkan, “Beli yoghurt, lalu bersihkan dan kirimkan tutupnya.” Dengan mengirimkan tutupnya, berarti Anda telah menyumbang sepuluh sen untuk Yayasan Kanker Payudara Susan Komen. Terang saja Anda merasa bersalah apabila tidak menuruti, karena mereka juga berpesan, “Bila obatnya sudah ada di tangan Anda, akankah Anda membuangnya begitu saja?” Demikianlah cara mereka, bukan saja kreatif, tapi juga arif. Bukan saja kanan, tapi juga berkenan.
Contoh lain, Microsoft. Konon, raksasa software ini sangat disirikin pesaing-pesaingnya karena dominasinya di pasar sudah kelewatan. Bahkan, beberapa tahun yang lalu Microsoft sempat geger karena tuduhan monopoli dari pemerintah Amerika. Nah, apakah setelah itu ujug-ujug Microsoft tamat riwayatnya? Ngggak juga. Sampai detik ini, Microsoft masih hidup dan sehat-walafiat. Percaya atau tidak, itu semua berkat dukungan stakeholder-nya.
Apa sih yang telah dilakuakan Microsoft selama ini, sehingga ia tidak mungkin dilupakan oleh stakeholder-nya? Tak pelak lagi, perusahaan yang berdiri sejak 1970-an ini terkenal murah hati perihal sumbang-menyumbang. Sudah puluhan miliar dolar yang mengucur dari kasnya atas nama program pendidikan dan kesehatan.
Malah Bill Gates, sang perintis perusahaan, sudah menyisihkan lebih dari 10 persen dari kekayaan pribadinya untuk yayasan sosial yang ia dan istrinya dirikan. Bill and Melinda Gates Foundation. Gosip terakhir, Bill Gates tengah mendedikasikan 80 persen waktunya untuk yayasan tersebut, bukan lagi untuk Microsoft. Jadi, jangan heran, isu apa pun yang menerjang Microsoft, perusahaan ini tetap berdiri tegar. Makanya, seorang motivator pernah mewanti-wanti, “The more you give, the more you get.” Semakin banyak memberi, semakin banyak pula menerima.
Jelas, Anda tidak memiliki kekuatan laiknya Nabi Nuh. Jelas, Anda tidak memiliki kekayaan laiknya Bill Gates. Namun, toh Anda memiliki kemampuan untuk memberi manfaat kepada sesame (benefits). Inilah nilai tambah Anda sebagai marketer.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Enterpreneur_Mentality
#Membangun_Integritas