Digindonews.com — 8 Oktober 2024, KPU adakan kegiatan Sosialisasi Pendidikan Pemilih Pasca Pemungutan Suara Untuk Pemilih Strategis Dan Rentan Di Daerah 3T di Banggai, Sulawesi Tengah.
Salah satu narasumber yaitu; Arif Susanto (Analis Politik Exposit Strategic) Pilkada serentak 2024 merupakan momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Suksesnya penyelenggaraan Pilkada ini tidak hanya bergantung pada kesiapan teknis penyelenggara, tetapi juga pada pemahaman dan partisipasi aktif masyarakat. Sebagai analis politik, saya ingin menekankan bahwa pemilu yang berintegritas adalah fondasi utama bagi tercapainya demokrasi yang sehat. Beberapa poin kunci yang harus kita pahami dalam mewujudkan Pilkada yang sukses antara lain meliputi kerangka hukum yang komprehensif, administrasi yang transparan, serta partisipasi yang meluas dari seluruh kalangan masyarakat.
Pilkada 2020 memberikan beberapa pelajaran penting bagi kita. Partisipasi pemilih saat itu mencapai angka 76,9%, yang menunjukkan antusiasme masyarakat yang cukup tinggi. Ini adalah bukti bahwa keterlibatan masyarakat sangat penting. Namun, kita juga harus waspada terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi selama masa kampanye, seperti yang dicatat oleh Bawaslu, terdapat 1.448 pelanggaran dalam kampanye tatap muka. Hal ini menandakan bahwa meskipun antusiasme tinggi, aturan main yang jelas dan sanksi yang tegas harus tetap diterapkan.
Pada Pilkada 2024, tantangan yang kita hadapi semakin kompleks. Di antaranya adalah keserentakan penyelenggaraan, netralitas penyelenggara negara, politik uang, hingga politik kebencian. Semua ini adalah ancaman nyata bagi integritas demokrasi kita. Keserentakan dalam penyelenggaraan dapat menjadi tantangan besar karena menyatukan banyak daerah dalam satu waktu memerlukan kesiapan infrastruktur, logistik, serta sumber daya manusia yang mumpuni. Begitu juga netralitas penyelenggara negara yang harus dijaga, agar hasil pemilihan benar-benar mencerminkan suara rakyat, bukan hasil dari intervensi pihak-pihak tertentu.
Politik uang dan politik kebencian juga masih menjadi momok dalam setiap pemilu. Politik uang merusak esensi demokrasi karena mengubah pemilih menjadi objek transaksi politik. Kita harus mengedukasi masyarakat bahwa suara mereka tidak bisa dibeli dan bahwa pemimpin yang baik tidak akan menggunakan uang untuk mendapatkan dukungan. Politik kebencian, di sisi lain, membahayakan persatuan kita sebagai bangsa. Penyebaran isu-isu yang memecah belah, berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), harus ditindak tegas karena ini adalah cara termudah untuk merusak kohesi sosial.
Penguatan teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan Pilkada juga menjadi isu strategis. Teknologi dapat memudahkan proses pemungutan suara, penghitungan hasil, hingga penanganan perselisihan. Namun, kita juga harus waspada terhadap risiko keamanannya. Serangan siber dan penyebaran informasi palsu (hoaks) dapat merusak proses demokrasi. Oleh karena itu, perlu ada langkah-langkah pencegahan yang ketat dan sistematis agar teknologi benar-benar berperan sebagai alat bantu yang memudahkan, bukan sebagai ancaman baru.
Senada dengannya, Dr. Nisbah, M.Si. (Komisioner KPU Provinsi Sulawesi Tengah) Pemilu dan Pilkada adalah wujud nyata dari kedaulatan rakyat. Melalui mekanisme pemilihan ini, masyarakat secara langsung memilih pemimpin mereka. Penting untuk dipahami bahwa Pemilu bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang menciptakan kesempatan yang setara bagi seluruh warga negara untuk berpartisipasi aktif, termasuk perempuan. Di sinilah peran penting perempuan dalam politik harus kita dorong lebih kuat lagi.
Berdasarkan data, perempuan sering kali menjadi mayoritas dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di berbagai daerah. Ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki kekuatan politik yang signifikan dan bisa menjadi penentu hasil Pemilu. Namun, tantangan yang kita hadapi adalah bagaimana memastikan bahwa perempuan tidak hanya berpartisipasi sebagai pemilih, tetapi juga turut serta sebagai calon yang bisa mewakili kepentingan mereka sendiri.
Sistem politik yang ada saat ini, meskipun sudah memberikan hak yang sama kepada perempuan, masih belum sepenuhnya mengakomodasi kepentingan perempuan.
Kita masih melihat adanya ketimpangan gender dalam pengambilan keputusan politik. Oleh karena itu, KPU terus mendorong agar partai politik mematuhi kebijakan afirmasi, yaitu dengan mencalonkan minimal 30% perempuan dalam daftar calon legislatif. Ini adalah langkah awal yang penting untuk meningkatkan representasi perempuan di parlemen.
Keterlibatan perempuan ini sangat spenting, Karena dalam banyak isu seperti kesehatan reproduksi, kesejahteraan keluarga, dan pendidikan anak, perempuan memiliki perspektif yang berbeda dan sering kali lebih mendalam. Ketika perempuan memiliki peran dalam pengambilan keputusan, kebijakan yang dihasilkan akan lebih inklusif dan berpihak pada kesejahteraan seluruh masyarakat, bukan hanya sebagian golongan.
Namun, tentu saja ada tantangan yang harus hadapi. Hambatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik tidak hanya berasal dari kurangnya dukungan partai politik, tetapi juga dari budaya politik yang masih patriarkal. Banyak perempuan yang merasa terpinggirkan dalam sistem yang cenderung didominasi laki-laki, baik dalam proses seleksi kandidat maupun dalam penempatan posisi strategis di partai.
Untuk itu, penting bagi kita semua, baik penyelenggara Pemilu, partai politik, maupun masyarakat, untuk bersama-sama menciptakan lingkungan yang mendukung partisipasi perempuan. Ini bisa dilakukan dengan meningkatkan akses perempuan terhadap pendidikan politik, memperluas jaringan pendukung perempuan di politik, serta mendorong partai politik untuk lebih tegas dalam mengimplementasikan kebijakan keterwakilan perempuan.***