Hengki Refegon, M.A ( Guru SDN 07 Gulai Bancah Kota Bukittinggi / Pengurus BADKO HMI Sumbar 2008 – 2010 )
Anomali netralitas ASN (Aparatur Sipil Negara) dalam pemilihan kepala daerah mengacu pada situasi serta kondisi lingkungannya, di mana ASN yang seharusnya netral sesuai dengan aturan Perundang-undangan Nomor 20 Tahun 2023 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Keterlibatan ASN dalam aktivitas politik praktis atau tidak netral dengan mendukung salah satu calon Kepala Daerah atau partai politik secara langsung atau tidak langsung merupakan menyalahi dan melanggar aturan Perundang-undangan tersebut.
Anomali ini merupakan penyimpangan dari prinsip dasar netralitas ASN, yang bertujuan menjaga profesionalitas, integritas, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan.
Beberapa bentuk anomali netralitas ASN yang sering terjadi berdasarkan hasil kajian dan analisa penulis dari berbagai narasumber, diantaranya ;
1). Menyalahgunakan jabatan dengan menggunakan wewenang atau fasilitas negara untuk mendukung kampanye salah satu kandidat.
2). Keterlibatan langsung dalam kampanye dan hadir atau aktif dalam kegiatan kampanye calon tertentu, baik secara fisik maupun di media sosial.
3). Mobilisasi pegawai atau sumber daya dengan mengarahkan bawahannya atau masyarakat untuk memilih kandidat tertentu.
4). Kampanye terselubung, Mendukung kandidat secara tidak langsung, misalnya dengan memberikan informasi atau akses strategis.
Berdasarkan dari empat poin diatas, Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi salah satu issue krusial dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 mendatang.
Selain itu, suara ASN dalam pilkada tentunya tidak bisa pula diabaikan oleh stakeholder yang ada sebab, para ASN juga punya koneksi dan jejaring sosial yang mungkin bisa jadi penentu kemenangan dari salah satu paslon kepala daerah yang ikut berkontestasi.
Sebagai abdi negara, ASN memiliki kewajiban untuk bersikap netral dan tidak terlibat dalam politik praktis. Namun, pada kenyataannya, terdapat tantangan besar dalam menjaga netralitas ini, terutama ketika petahana (incumbent) ikut serta dalam kompetisi untuk masa periode kedua.
Dilihat dari fenoma yang ada, ada beberapa pertanyaan yang mengusik pemikiran penulis sebagai ASN yaitu; Bagaimana semestinya peran netralitas ASN dalam menjaga kualitas demokrasi..! Dan tantangan yang dihadapi ASN ketika petahana maju..? serta bagaimana sikap yang seharusnya diambil ASN untuk menjaga integritas dan profesionalitasnya..?, tentu jawaban dari semua pertanyaan tersebut sudah ada pada aturan Perundang-undangan Nomor 20 Tahun 2023.
Pilkada serentak 2024 yang akan diikuti oleh petahana (incumbent) yang berpotensi maju dan terpilih untuk periode kedua. Dalam konteks ini, netralitas ASN menjadi penting karena ASN berfungsi sebagai pelaksana kebijakan publik yang harus bebas dari pengaruh politik. Sebagai bagian dari birokrasi yang netral, ASN seharusnya tidak menunjukkan dukungan politik secara terbuka atau tersembunyi, karena hal ini dapat merusak citra birokrasi yang profesional dan mengganggu jalannya pemerintahan yang adil dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat.
Netralitas ASN diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Regulasi ini menggarisbawahi pentingnya sikap netral ASN agar tidak terlibat dalam politik praktis, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kalau dilihat dari sudut pandang penulis tantangan utama dalam menjaga netralitas ASN adalah ketika petahana mencalonkan diri kembali, yang merupakan atasan langsung dari ASN. Tentu hal ini menimbulkan dilema bagi ASN itu sendiri yang disebabkan antara lain :
1). Tekanan Politik dimana ASN bisa berkemungkin menghadapi tekanan politik untuk mendukung petahana yang berpotensi menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi ASN melalui kebijakan, insentif, atau ancaman sanksi.
2). Ketakutan Kehilangan Jabatan: ASN yang saat ini memegang posisi strategis mungkin merasa khawatir akan kehilangan jabatannya jika tidak mendukung petahana. Hal ini terutama terjadi pada ASN yang memiliki kedekatan dengan petahana atau berada dalam tim kerja yang dipimpin oleh petahana.
3). Pengaruh Kebijakan Internal, petahana yang mencalonkan diri kembali sering kali masih memiliki kendali dalam birokrasi. ASN yang tidak mendukung petahana mungkin merasa dipinggirkan dalam pengambilan keputusan atau promosi jabatan.
Nah, dari ketiga tantangan tersebut, ASN harus tetap mengedepankan prinsip-prinsip dasar netralitas dan menjaga integritas serta profesionalitasnya demi tegaknya pilkada yang Jurdil dan Berintegritas.
Dari paparan diatas, penulis mencoba mengajukan solusi bagaimana sikap yang harus diambil oleh ASN, diantaranya ;
1). Menghindari keterlibatan politik praktis, ASN harus menghindari keterlibatan dalam kampanye politik, baik secara langsung maupun melalui media sosial. ASN tidak boleh memberikan dukungan kepada calon kepala daerah, baik secara terbuka maupun tersembunyi.
2). Melindungi Integritas Pribadi dan Organisasi,ASN harus fokus pada tugas dan tanggung jawab profesionalnya, serta tidak terlibat dalam kegiatan yang dapat merusak integritas lembaga. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap birokrasi pemerintahan.
3). Melaporkan tekanan politik, jika ASN merasa ditekan untuk mendukung petahana, ASN memiliki hak untuk melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang, seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hal ini dapat membantu melindungi ASN dari penyalahgunaan wewenang oleh pejabat politik.
4). Memegang teguh prinsip meritokrasi, ASN harus menjunjung tinggi prinsip meritokrasi dalam bekerja, dengan fokus pada kinerja dan kompetensi daripada afiliasi politik. Ini akan memastikan bahwa karier ASN berkembang berdasarkan prestasi, bukan dukungan politik atau tidak netral dalam proses tahapan pilkada.
Apakah ASN takut kehilangan jabatan jika tidak mendukung petahana? Ketakutan ASN akan kehilangan jabatan atau karier sering kali muncul sebagai alasan utama terlibatnya ASN dalam politik praktis. Namun, ketakutan ini dapat diatasi melalui pemahaman yang lebih baik mengenai prinsip perlindungan ASN dan penguatan sistem meritokrasi dalam birokrasi. Berikut beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengurangi ketakutan oleh rekan-rekan ASN dimanapun bertugas :
1). Peningkatan kesadaran regulasi, ASN harus memahami hak dan kewajiban mereka, serta regulasi yang melindungi mereka dari tekanan politik. Sosialisasi mengenai Undang-Undang ASN dan peraturan terkait perlu ditingkatkan.
2). Pngawasan yang ketat dari Bawaslu harus memperkuat pengawasan terhadap pelanggaran netralitas ASN, terutama dalam masa Pilkada. Adanya sanksi tegas bagi pejabat yang menekan ASN akan menciptakan efek jera dan mendorong ASN untuk tetap netral.
3). Jaminan karier dan perlindungan hukum, Pemerintah perlu memastikan bahwa karier ASN tidak terpengaruh oleh sikap politik mereka. Perlindungan hukum bagi ASN yang melaporkan intimidasi politik juga harus diperkuat.
Netralitas ASN merupakan elemen penting dalam menjaga kualitas demokrasi dan pemerintahan yang adil. Dalam Pilkada serentak 2024, tantangan besar bagi ASN adalah bagaimana tetap menjaga netralitas di tengah tekanan politik, terutama ketika petahana maju untuk periode kedua.
ASN harus berani bersikap netral demi menjaga integritas, melaporkan segala bentuk tekanan politik, dan memegang teguh prinsip meritokrasi dalam bekerja. Dengan demikian, ASN dapat membantu memastikan proses Pilkada yang bersih, transparan, dan adil, serta menjaga kepercayaan publik terhadap pemerintahan di masa-masa yang akan datang.