Digindonews.com – Pontianak. Pengamat hukum perbankan dan fidusia dari Universitas Tanjungpura, M. Qahar Awaka, menegaskan profesi debt collector adalah pekerjaan yang halal dan legal. Namun, ada standar operasional prosedur (SOP) yang harus dipenuhi saat menjalankan tugas di lapangan. (13/05/2025)
“Setiap debt collector harus menunjukkan identitas dan surat tugasnya. Ia juga harus mampu menjelaskan tunggakan yang terjadi, berapa lama keterlambatannya, dan berapa jumlah rupiah yang belum dibayarkan kepada lembaga pembiayaan,” jelas Qahar.
Namun, ia menegaskan bila kedua belah pihak terikat dalam perjanjian fidusia, maka penarikan kendaraan tidak bisa dilakukan secara sepihak. Jika perusahaan leasing tidak membuat perjanjian fidusia, maka kesalahan berada pada pihak leasing itu sendiri, dan mereka tidak berhak melakukan penarikan.
“Kalau leasing sudah membuat fidusia, maka penarikan kendaraan tetap harus didahului dengan keputusan inkrah dari pengadilan. Setelah ada keputusan, barulah bisa dilakukan penarikan, dan itu pun harus dilakukan bersama aparat kepolisian minimal dua orang, bukan hanya debt collector bermodalkan surat tugas dari leasing,” jelasnya.
Qahar juga menyampaikan jika konsumen dianggap wanprestasi atau “nakal”, maka berdasarkan putusan MK, pihak yang berwenang melakukan eksekusi adalah pengadilan negeri di wilayah tempat pembuatan fidusia. Misalnya, jika perjanjian dibuat di Pontianak, maka hanya Pengadilan Negeri Pontianak yang berwenang.
“Baru setelah mendapatkan keputusan inkrah, kendaraan bisa ditarik,” imbuhnya.
Sebaliknya, jika leasing yang bertindak nakal, konsumen dapat menempuh jalur hukum sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dijelaskan bahwa baik kreditur maupun debitur memiliki perlindungan hukum yang setara.***