Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
“Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mampu memberi tahu kepada manusia tentang arti kehidupan. Arti kehidupan itu bisa dipelajari melalui spiritualitas.” (John Neisbitt)
Sebuah majalah terkemuka di Amerika Serikat, Times, beberapa tahun lalu melaporkan adanya kecenderungan pada masyarakat Amerika Serikat untuk kembali kepada Tuhan. Dari hasil polling yang mereka buat, majalah itu menyimpulkan bahwa pada saat ini lebih banyak orang Amerika Serikat yang berdoa ketimbang berolahraga, pergi ke bioskop, ataupun (maaf) berhubungan seks. Kecenderungan ini makin lama ternyata makin meningkat.
Secanggih apa pun manusia modern, sedahsyat apa pun penemuan ilmiah yang dihasilkan, sehebat apa pun teknologi yang diproduksi, sesuai fitrahnya, manusia tetap membutuhkan Tuhan. Spiritualisme akan menjadi kebutuhan dan naluri manusia yang mungkin saja manusia dapat menangguhkannya sekian lama, bahkan boleh jadi sampai dengan menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum roh meninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan dan naluri itu.
Ketika pasukan Soviet yang komunis akan berangkat berperang pada Perang Dunia II, sebagian di antara mereka melakukan desersi. Alasan mereka sangat realistis, “Tidak ada bedanya apakah kami mati sebagai patriot pembela negara atau sebagai pecundang yang bersembunyi di kolong ranjang. Karena kami tak punya Tuhan yang akan membalas kami baik kami di kehidupan selanjutnya!”
Kehidupan mereka terasa gelap dan sempit. Kekosongan jiwa dan roh dari petunjuk Ilahi membuat mereka bingung mencari pelarian di saat masalah datang. Ketidakpercayaannya pada Tuhan menjadikan hidupnya hampa. Saat gagal, ia bingung ke mana harus menumpahkan resah. Saat ia berada di puncak kesuksesan, harta berlimpah, popularitas melangit, pangkat sudah tinggi, ia pun tetap bingung, untuk apa lagi hidupnya di dunia ini.
Seorang komunis mungkin bisa berkata, “Demi Tuhan, saya ateis, tak percaya Tuhan maupun agama. Di hati saya agama hanya membuat kehidupan mandeg. Manusia sebenarnya mampu berbuat banyak untuk kehidupan. Tapi karena adanya aturan-aturan yang mereka anggap sebagai firman Tuhan sehingga energi mereka banyak terserap hanya untuk melakukan ritual-ritual kosong, tanpa menghasilkan apa pun.”
Coba Anda menyelami pikiran dia. Pikiran seseorang yang merasa bisa hidup tanpa percaya Tuhan, tanpa agama. Apa yang mereka pikirkan jika mereka mati, siapa yang akan dijadikan sandaran dan harapan terakhir saat tidak ada lagi jalan untuk mengatasi permasalahan hidup? Apa yang mereka pikirkan tentang hakikat hidup dan kehidupan? Pasti sangat sempit, ruwet, dan gelap.
Orang-orang yang jauh dari agama terus-menerus menderita perasaan tidak nyaman, khawatir, dan stres. Hal ini terjadi karena bertentangan dengan fitrah manusia yang harus hidup dengan agama.
Dalam pandangan Islam, keberagamaan adalah fitrah (sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya). Setiap manusia akan melihat nilai-nilai kesamaan dalam jiwanya saat merasakan kebenaran yang hakiki. Ketika Anda dalam suatu perjalanan melihat seorang pemuda yang sedang menjambret tas seorang wanita tua. Perasaan apa yang muncul saat itu? Saya yakin suara hati Anda akan berkata, “Tolong wanita tua itu.” Jawaban itu secara sadar akan muncul meskipun Anda tidak berusaha memunculkannya. Dalam Spiritual Quotient, ini yang disebut sebagai anggukan universal. Semua orang akan mengangguk saat melihat, mendengar ataupun merasakan kebenaran hakiki.
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS. As-Sajdah [32]: 9).
Sifat-sifat Ilahi (ketuhanan) akan senantiasa memancar bagai suara hati manusia. Manusia akan mencela suatu pandangan, sikap, ucapan, maupun perbuatan yang tidak baik dan menghormati segala hal yang baik. Ketika melakukan perbuatan yang tercela, hatinya akan berusaha melarangnya. Begitu usai berbuat, ia akan menyesalinya. Mac Scheler mengatakan rasa penyesalan itu merupakan
‘tanda kembalinya’ manusia kepada Tuhan. Inilah bentuk pengakuan manusia terhadap fitrahnya sebagai makhluk spiritual.
Hidup Tanpa Agama
Apakah manusia mutlak butuh agama? Apa manusia tidak bisa hidup tanpa agama? Apakah agama masih relevan dengan kehidupan masa kini?
Agama sangat dominan keterkaitannya dengan perkembangan sains dan teknologi. Ketika pengaruh gereja di Eropa menindas para ilmuwan akibat penemuan mereka yang dianggap bertentangan dengan kitab suci, bagaimana Anda memandang Nicolaus Copernicus, Kepler, dan Galileo Galilei yang dihukum dan ditentang karena menemukan teori Heliosentris? Bagaimana mereka memandang agama yang telah memiliki kitab suci bertentangan dengan fakta yang terjadi dan terbukti secara sains? Yang terjadi ternyata para ilmuwan itu mencoba meninggalkan agama, padahal dari pembahasan sebelumnya dikemukakan bahwa agama merupakan fitrah, ia tetap ada dalam diri manusia. Tidak mungkin bisa ditinggalkan.
Benar. Ternyata kecenderungan meninggalkan agama tidak berlangsung lama. Mereka menyadari akan kebutuhan adanya pegangan sejati dalam hidup. Pegangan pasti yang sangat stabil, tidak terbentuk oleh lingkungan dan latar belakang pendidikan, budaya, serta kondisi sosial kemasyarakatan. William James menegaskan, “Selama manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu ia beragama.”
Selama manusia tetap ingin menjadi manusia, dia harus tetap berpegang pada satu nilai yang tetap, nilai yang akan menemani jiwanya kapan pun, yang memberi tujuan, ajaran, jalan, serta pijakan untuk menempuh kehidupan yang terarah. Se-komunis apa pun, seseorang pasti membutuhkan agama. Baik dia mengaku beragama atau tidak.
Apalagi alam modern sebagai produk kemajuan sains dan teknologi telah melahirkan pola hidup yang materialistis, konsumtif, hedonis dan individualis. Pola hidup seperti ini akan berpotensi menghilangkan jati diri dan ketenangan batin bagi masyarakat. Sehingga wajar jika John Neisbitt dalam Ten New Direction The 1990 Megatrend 2000 meramalkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mampu memberi tahu kepada manusia tentang arti kehidupan. Arti kehidupan itu bisa dipelajari melalui spiritualitas.
Jajak pendapat yang sempat diadakan oleh BBC dan dipublikasikan pada 20 April 1998 menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Barat masih membutuh-kan agama. Dihadapkan pada pertanyaan, “Apakah sekarang ini agama telah kehilangan maknanya?” Responden yang menjawab “Tidak” ternyata lebih besar daripada yang menjawab “Ya”. Satu lagi, dalam buku Calestine Prophecy diceritakan bahwa akan terjadi pembalikan budaya umat manusia di abad ke-20 secara besar-besaran, dari budaya materialistik menjadi budaya spiritualistik. Hal ini terjadi karena adanya rasa sepi di tengah keberlimpahan materi yang terdapat di masyarakat yang telah maju.
Ketika manusia dengan kemampuannya yang luar biasa telah mencapai kesuksesan, acapkali ia disergap dengan adanya perasaan kosong dan hampa dalam batinnya. Ia acapkali bingung saat telah meraih puncak kesuksesan dan kejayaan kariernya. Ia sering kehilangan pijakan, ke mana harus melangkah, untuk apa semua prestasi yang telah diraihnya itu. Di sini agama berperan memberi bimbingan, jalan akan stabil dan menuju ke tujuan akhir dari hidup manusia, dalam bahasa William James disebut sebagai The Great Socious. Dialah Tuhan.