Ekonomi
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
“Jika kita memerhatikan bagaimana alam bekerja, senantiasa memperbaharui diri, tak ada yang bisa dilakukan kecuali belajar.” (Bernie Siegel)
Pentingnya Menggali Titik Tuhan
Dunia bisnis yang penuh persaingan demi pencapaian prestasi indvidu, seringkali berujung pada perasaan tak bermakna bagi para pelakunya. Tampaknya kebahagiaan merupakan sisi emosi yang sering terlupakan, orang merasa sukses tapi tak bahagia. Akhir-akhir ini berkembang konsep kecerdasan spiritual yang dipopulerkan oleh Donah Zohar dan Ian Marshal yang mencoba memahami manusia dari sisi yang paling mendalam, yakni dunia rohani yang biasanya menjadi urusan agama.
Era modern ternyata menyadarkan pentingnya penggalian kecerdasan dan kompetensi yang berasal dari titik Tuhan (God‟s Spot). Selain memberi keuntungan dalam jangka panjang, pendekatan ini lebih akrab dengan lingkungan, berusaha memuaskan semua pihak-pihak yang terlibat (stake holder), dan memberi makna sehingga menciptakan kebahagiaan bagi para pelakunya.
Kita bisa melihat makin maraknya program-program sosial, pemberdayaan masyarakat, serta giatnya beragai acara keagamaan di sela-sela kesibukan kantor. Undangan terus mengalir bagi Deepak Chopra atau Sri Ravi Shankar, spiritualis modern, untuk berbicara di forum-forum bisnis Amerika. Di tanah air, jadwal ESQ Ary Ginanjar Agustian pun tampak selalu padat melayani permintaan pelatihan dari berbagai perusahaan, begitu juga padatnya jadwal dai muda Ustadz Adi Hidayat, Lc., MA. dari berbagai masjid dan juga kantor-kantor yang ingin mendapatkan solusi kehidupan dengan pendekatan Al-Quran dan As-Sunnah.
Apa Perlunya?
“Boro-boro ngerjain yang halal, yang haram saja susahnya minta ampun,” keluh salah seorang rekan yang banyak berkecimbung di dunia pengadaan sarat dengan mark-up, sogok menyogok dan entertainment yang secara moral kurang patut. Barangkali keberanian untuk menyambar bisnis-bisnis bernuans hitam atau abu-abu itu dapat mengantarkan seseorang cepat melejit menjadi pebisnis besar, namun hati-hati dengan luka jiwa yang secara tak sadar telah tergores.
Luka jiwa inilah yang umumnya dapat menimbulkan berbagai penyakit mental seperti stress, depresi, kalut, gelisah, takut, khawatir, dan penyakit psikosomatis lainnya. Belum lagi yang diakibatkan oleh penyakit mental tadi kepada masalah fisik. Banyaknya penelitian akhir-akhir ini yang mengaitkan antara masalah mental spesifik dengan problem-problem organ tubuh tertentu.
Demikian itu pula pertimbangan kemaslahatan usaha tidak hanya untuk pemilik modal, tetapi juga untuk pelanggan, karyawan, masyarakat sekitar dan unsur-unsur public yang tak terkait langsung. Pertimbangan terhadap seluruh stake holder ini tentu dapat menjamin keberlangsungan (sustainability) dan perkembangan usaha dalam jangka panjang.
Apa yang Mesti Dilakukan?
Dalam tradisi Islam, keteladanan berbisnis secara terpuji diberikan oleh Nabi Muhammad Saw yang adalah seorang pedagang ulung. Demikian pula kisah Ordo Ksatria Templar dalam dunia Kristen yang membawa spirit kekristenan pada saat perang maupun damai. Atau kisah Sang Budha Ketawa (Jaelahud) yang meski telah mencapai nirvana, ingin turun ke bumi menebarkan Darma. Jiwa yang sehari-hari menuju sukses diiringi rasa bahagia karena perasaan bernilai di depan Tuhan dan manusia yang member rasa kebermaknaan.
Hendricks dan Ludeman dalam bukunya Corporate Mystics member karakter pebisnis-pebisnis yang berorientasi spiritual yang terdiri dari dua belas karakter di bawah ini.
Kejujuran total, kejujuran menjamin terjalinnya kepuasaan, kesetiaan, dan relasi jangka panjang dengan pelanggan. Bahkan kepada pelanggan yang sangat rentan terhadap pembohongan. Misalnya pembeli produk-produk teknologi- pebisnis akan berkata jujur, kalau perlu member edukasi yang diperlukan.
Fairness, kewajaran dan keadilan. Dalam semua transaksi dilibatkan pertimbangan kepentingan orang lain, seperti pelanggan maupun karyawan. Hasilnya adalah kewajaran dan keadilan. Misalnya dalam penepatan harga, ditentukan harga yang wajar yang member keuntungan bagi semua pihak.
Pengetahuan diri. Kecenderungan para wirausahawan yang sangat sibuk dengan kegiatan bisnisnya, sehingga tak punya waktu untuk diri sendiri. Dengan meluangkan waktu secara teratur untuk mengeksplorasi diri kita lebih paham tentang potensi, intuisi, dan keberanian melihat diri apa adanya.
Fokus pada Kontribusi. Budaya materialism yang berkembang pesat membuat kebanyakan orang hanya memikirkan apa yang akan kuperoleh dari sebuah hubungan? Bukan apa yang akan kuberikan pada orang lain. The Power of Giving ternyata memberi nilai yang luar biasa untuk terbangunnya bisnis dalam jangka panjang. Orang-orang yang merasa sangat, sangat puas akan menjadi pembela-pembela yang tangguh di masyarakat.
Spritualitas non-dogmatik. Spiritualitas sifatnya universal, bersemayam dihati semua orang tak peduli latar belakang agama, tanpa sekat dan tanpa pamrih. Keleluasaan karena memandang semua manusia sama seperti dirinya juga menimbulkan cinta yang tulus terhadap manusia, kemanusiaan dan kehidupan. Lahan bisnis menjadi luas terbentang, karena semua manusia berpotensi menjadi mitra dan pelanggan.
Lebih banyak hasil dengan sedikit usaha. Perhatian yang sangat besar pada masa kini, yakni pekerjaan yang sedang ditangani, membuat kita dapat menyingkirkan benalu-benalu pikiran yang berasal dari masa lalu maupun masa depan. Pekerjaan dapat ditangani dengan fokus, rasa nyaman dan inilah pangkal efisiensi. belum lagi efisiensi yang berlipat ganda, karena dukungan banyak pihak yang pernah bersinggungan dengan layanan kita.
Membangkitkan yang terbaik bagi diri dan orang lain. Keyakinan adanya nsesuatu yang maha sempurna, yang bertahta dalam hati manusia, membuat kita terdorong untuk terus berupaya kearah keunggulan (execellence). Perjalan kea rah kesempurnaan tak pernah berhenti. Perjalanan itulah yang terus menerus diupayakan baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Keterbukaan terhadap perubahan. Kesempurnaan adalah tujuan, tugas kita adalah terus berjalan. Masa kini adalah yang jadi titik perhatian kita. Masa lalu dan masa depan biarlah terjadi. Hanya perubahan yang mungkin dilakukan untuk mencapai tujuan dan menyiasati waktu (masa).
Cita Rasa Humor. Hanya rasa humor yang membuat kita menyadari kesempurnaan idealism, dan keterbatasan kemanusiaan kita dengan cara yang sehat. Tingkat seberapa sering orang bercanda dipercaya merupakan indikasi kesehatan sebuah tim atau bisnis.
Visi jauh ke depan dan Fokus yang cermat. Tak banyak orang yang bisa menggabungkan membuat visi besar di masa depan dan fokus atas pekerjaan di depan mata. Seorang pebisnis spiritual mampu terus memegang visi dan menjalani realitas masa kini, dan menangani kemusykilan yang sering menyertainya.
Disiplin diri ketat. Disiplin yang didorong oleh kegairahan dan semangat yang membara dalam diri, bukan paksaan atau tuntutan dari eksternal. Motivasi yang tercipta oleh tujuan-tujuan yang jelas akan menciptakan disiplin yang adaptif dan tidak kaku.
Keseimbangan antar diri, keluarga, pekerjaan dan masyarakat akan senantiasa dijaga oleh pekerja spiritual. Ketidakseimbangan cepat atau lambat akan menciptakan kekacauan. Yang bila tak terkendali berpotensi menghancurkan usaha. Pertimbangan yang lebih jangka panjang tak pelak lagi harus seimbang seperti simbol Yin-Yang dalam tradisi Tao.
Jelas sudah kita tak perlu ragu-ragu berbisnis dengan basis spiritual, tak ada yang salah secara teori, semuanya mulia karena sesuai hati nurani. Kalau Anda terpeleset atau tergoda karena mengabaikan spiritualias, sebagai entrepreneur jika sedang jatuh inilah saatnya Anda bangkit lagi.apalagi selalu terbuka pintu maaf dan taubat. Anugerah akan kita terima, sekarang juga berupa kebahagian, secara jangka panjang berupa bisnis yang langgeng.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Enterpreneur_Mentality
#Kecerdasan_Spritual_Bagi_Enterpreneur