khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Kisah ini dituturkan oleh Syaikh Anas bin Said bin Misfar, sebagaimana dikutip Syaikh Sulaiman Ar-Rabii dalam buku Min „Ajaib ad-Dua.
Alkisah, ada seorang laki-laki yang durhaka terhadap ibunya. Ia selalu bersikap keras terhadap ibunya, sering berteriak di depan wajah dan mencaci makinya. Ia telah diberikan Allah kekuatan, namun sangat disayangkan, kekuatan itu ia gunakan untuk berbuat zalim dan aniaya.
Menghadapi kedurhakaan anaknya, sang ibu selalu menasihatinya dengan baik bahwa perbuatan itu sangat dilarang agama. Namun, nasihat itu bukan digubrisnya, malahan sang anak semakin menampak-kan kedurhakaan dan kezalimannya. Sehingga istrinya sendiri minggat dari rumah karena tak tahan dengan sikap suaminya.
Semakin hari sang anak semakin gila. Tanpa merasa berdosa, ia perlakukan ibunya seperti seorang pembantu yang mengurus kebutuhannya. Padahal ibulah yang seharusnya mendapat perhatian dan perawatan dari anaknya. Sikapnya membuat sang ibu sedih bukan main, air mata pun tak kuasa ia bendung menetes keluar.
Meskipun demikian, sang ibu tetap berdoa, semoga Allah membuka pintu hidayah-Nya untuk buah hatinya itu. Karena, bagaimana tidak? Hanya dialah orang yang menjadi temannya dalam kesepian.
Pada suatu hari, laki-laki itu menemui ibunya, dari kedua matanya terlihat amarah dan tanda-tanda yang tidak baik. Sambil memandangi ibunya, laki-laki tadi berteriak dan berkata, “Kenapa kamu tidak menyiap-kan makan siang?”
Mendengar bentakan itu, sang ibu berdiri dengan kedua tangan gemetaran dan tubuh yang sangat lemah dimakan usia. Ia bangkit membuat makan siang untuk buah hatinya.
Namun, ketika sang anak melihat makanan yang disediakan ibunya, ia tidak tertarik dan malah me- lemparkannya ke lantai. Sambil marah dan menggerutu ia berkata,
“Hai Wanita tua bangka, kau hanya mendatangkan malapetaka. Kalau begini lebih baik kau cepat mati saja.”
Sang ibu pun menangis lalu berkata, “Wahai anakku, takutlah kepada Allah, apakah kamu tidak takut dengan api neraka? Apakah kamu tidak takut dengan kemurkaan dan kemarahan Allah ? Tahukah kamu bahwa Allah melarang durhaka kepada orangtua? Apakah kamu tidak takut seandainya aku berdoa atas dirimu?”
Ucapan sang ibu itu bukan menyadarkan anaknya, malah membuat amarah dan kegilaannya menjadi-jadi. Ia pegang baju ibunya, lalu sambil menggoncang-kannya, ia menghardik,
“Dengar, aku tidak butuh nasihat. Aku bukan orang yang dapat ditakut-takuti dengan ucapan, “Takutlah kepada Allah!”
Kemudian ia dengan sekuat tenaga melemparkan ibunya.
Seketika itu, bercampurlah tangisan snag ibu dengan tawa ejekan dan kesombongan anaknya.
“Mari kita lihat, jangan harap Allah akan mengabulkan doa yang kau panjatkan atas diriku,” tantang anaknya sambil mengejek dan mengolok-olok ucapan ibunya, lalu keluar meninggalkannya.
Selama beberapa hari sang ibu hanya menangis, tenggelam dalam kesedihan dan kepedihan yang men- dalam, menangisi masa muda yang telah ia habiskan untuk merawat anaknya itu. Sementara si anak, tanpa sedikit pun merasa bersalah, keluar lalu masuk ke mobilnya. Dengan volume tinggi ia menyalakan musik kegilaan, seakan tidak pernah berbuat jahat terhadap ibunya yang ia tinggalkan dengan hati yang tercabik-cabik, seorang diri memeras kepedihan hatinya.
Keputusasaan telah membakar hati. Sang ibu hanya dapat meratapi tingkah laku anaknya yang begitu memilukan. Akhirnya, kepedihan itu memaksa sang ibu untuk mengangkat kedua tangan, berdoa kepada Allah sembari mengucapkab, “Cukuplah Allah menjadi penolongku dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.”
Suatu hari, ketika anak durhaka itu tengah melakukan perjalanan rutinnya ke daerah yang berdampingan, saat ia melaju dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba ada seekor unta menghalangi jalannya. Kemuculan unta secara tiba-tiba itu membuatnya panik dan tidak dapat mengendalikan mobilnya, dan… terjadilah kecelakaan. Dalam insiden kecela-kaan itu, ia mengalami luka tusuk sebilah besi pada bagian perutnya. Ia memang selamat dari renggutan maut, namun ia mengalami kelumpuhan total, sehingga hanya kepala saja yang dapat ia gerak-gerakkan.
Kian hari kondisi si anak durhaka itu kian parah. Setelah cukup lama menderita kelumpuhan, akhirnya anak durhaka itu pun meninggal dunia.
Kisah ini menjadi pelajaran bagi setiap anak yang durhaka kepada orang tua dan meremehkan doa seorang ibu.