Digindonews.com, Jakarta, Sabtu (13/12/2025) — Pegiat Literasi Digital Abdhalul Farizi mengajak masyarakat untuk membangun kesadaran, empati, dan tanggung jawab bersama dalam berinteraksi di ruang digital. Ajakan tersebut disampaikannya dalam webinar Ngobrol Bareng Legislator bertema “Menumbuhkan Budaya Digital yang Positif (Digital Culture)”.
Abdhalul menjelaskan bahwa budaya digital tidak hanya berkaitan dengan kemampuan menggunakan perangkat dan aplikasi, tetapi lebih pada kebiasaan, nilai, dan sikap dalam berinteraksi di dunia maya. Dengan lebih dari 210 juta pengguna internet di Indonesia dan durasi penggunaan harian mencapai 7–8 jam, ruang digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Ia menyoroti masih maraknya ujaran kebencian, perundungan digital, penyebaran hoaks, dan konflik yang dipicu oleh unggahan atau komentar di media sosial. Menurutnya, persoalan tersebut menunjukkan bahwa tantangan utama digital bukan terletak pada teknologi, melainkan pada perilaku penggunanya.
“Budaya digital yang positif dimulai dari kesadaran bahwa setiap unggahan dan komentar meninggalkan jejak digital yang panjang,” kata Abdhalul. Ia mengingatkan bahwa sekali informasi dibagikan, dampaknya bisa bertahan lama meskipun telah dihapus.
Abdhalul juga menekankan pentingnya sikap reflektif di tengah arus informasi yang serba cepat. Ia menyebut bahwa hoaks justru banyak menyebar melalui grup percakapan keluarga dan komunitas, akibat kebiasaan berbagi informasi tanpa verifikasi.
Selain itu, ia mengajak masyarakat untuk lebih menghargai perbedaan pandangan di ruang digital. Menurutnya, tidak semua perbedaan harus direspons dengan perdebatan emosional, dan menahan diri sering kali menjadi pilihan yang lebih bijak.
Ia turut menyoroti aspek keamanan dan privasi digital, mengingat masih banyak pengguna internet yang tanpa sadar membagikan data pribadi dan informasi sensitif. Abdhalul menilai hal tersebut berpotensi meningkatkan risiko kejahatan siber.
Dalam konteks keluarga, Abdhalul menekankan peran penting orang tua dalam mendampingi anak-anak yang tumbuh sebagai generasi digital. Pendampingan dan keteladanan dinilai lebih efektif dibandingkan larangan semata.
Menurutnya, media sosial sejatinya dapat menjadi ruang edukasi, kolaborasi, dan inspirasi apabila digunakan dengan nilai yang tepat. Ia menyebut banyak contoh positif di Indonesia, seperti UMKM yang berkembang dan gerakan sosial yang tumbuh melalui ruang digital.
Menutup paparannya, Abdhalul mengajak masyarakat untuk memulai perubahan dari diri sendiri. “Satu unggahan yang bijak dan satu komentar yang santun mungkin terlihat kecil, tetapi jika dilakukan bersama-sama, itulah fondasi budaya digital yang positif,” ujarnya.***


