Digindonews.com, Jakarta — 6 Desember 2025
Perkembangan dunia digital yang semakin kompleks menjadi sorotan dalam webinar “Berbagi Tanpa Bahaya: Etika dan Keamanan Data di Media Sosial” yang diselenggarakan Badan Pengembangan SDM Komunikasi dan Digital bersama Anggota Komisi I DPR RI Prof. Dr. (H.C.) Abdul Halim Iskandar. Acara ini menghadirkan tiga pakar untuk membahas bagaimana masyarakat dapat terlindungi dari bahaya di ruang digital yang semakin tidak mudah diprediksi.
Dalam pemaparannya, Abdul Halim Iskandar menyoroti meningkatnya ancaman manipulasi digital melalui kecerdasan buatan generatif. Ia mengungkapkan bahwa 88% pengguna internet global kini khawatir terhadap penyalahgunaan teknologi AI, sementara mayoritas masyarakat kesulitan membedakan konten asli dan konten buatan mesin.
“Kita memasuki era ketika gambar, suara, dan video bisa dipalsukan dengan sangat meyakinkan. Tanpa literasi kuat, masyarakat mudah terjebak dalam misinformasi,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa Indonesia memiliki landasan hukum jelas melalui UU No. 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi, yang mengatur hak subjek data, kewajiban pengendali data, serta sanksi bagi pelanggar. Menurutnya, kepatuhan terhadap UU ini tidak hanya tanggung jawab negara, tetapi juga masyarakat sebagai pengguna aktif platform digital.
Akademisi Universitas Negeri Surabaya, Dr. Mufarrihul Hazin, menjelaskan bahwa literasi digital kini menjadi fondasi peradaban baru. Ia menyoroti pentingnya netiket, verifikasi informasi, dan empati digital. “Kebebasan berekspresi tidak berarti bebas melukai orang lain. Banyak kasus viral yang sebenarnya merupakan pelanggaran privasi dan dapat dipidana,” ujarnya.
Ia menekankan perlunya prinsip tabayyun dalam memeriksa informasi, terutama di tengah derasnya hoaks yang beredar. Menurutnya, publik harus menyadari bahwa setiap unggahan meninggalkan jejak digital yang dapat berdampak pada reputasi seseorang di masa depan.
Sementara itu, pegiat literasi digital Nasrun Annahar mengingatkan bahwa 221 juta pengguna internet Indonesia, termasuk jutaan anak dan remaja, menghadapi risiko digital yang semakin besar. Berdasarkan survei 2025, disinformasi, ujaran kebencian, konten kekerasan, dan deepfake semakin marak terjadi.
Ia menekankan bahwa keamanan digital harus dimulai dari perlindungan akun dan perangkat. “Aktifkan autentikasi dua faktor, gunakan kata sandi kuat, dan waspadai tautan mencurigakan. Serangan phishing sering kali menyamar sebagai pesan resmi,” terangnya.
Nasrun juga mengingatkan masyarakat agar tidak mengunduh aplikasi sembarangan dan selalu mengelola izin akses aplikasi. Ia menjelaskan bahwa ancaman malware sering tersembunyi dalam file umum seperti undangan daring atau resi paket.
Para narasumber sepakat bahwa membangun ruang digital yang sehat membutuhkan kolaborasi kebijakan publik, literasi masyarakat, dan teknologi yang aman. Edukasi berkelanjutan dinilai menjadi kunci agar masyarakat dapat berbagi informasi secara bertanggung jawab tanpa menimbulkan bahaya.***


