Jakarta – Peristiwa ambruknya atap lapangan padel di kawasan Anwa Racquet Club, Jakarta Barat, memantik sorotan pakar hukum tata ruang dan bangunan gedung. Pakar Hukum Tata Ruang dan Bangunan Gedung dari Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta, Zaki Mubarrak, menilai kejadian itu tidak bisa semata-mata dikategorikan sebagai “musibah alamiah” sebagaimana klaim pemilik, melainkan harus diuji secara hukum dan teknis melalui audit kelaikan fungsi bangunan.
“Dalam perspektif hukum tata ruang dan bangunan, setiap gedung yang digunakan untuk kegiatan publik wajib memenuhi dua instrumen utama, yaitu Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF), sederhananya, bangunan itu harus dilakukan audit administrtaif dan teknis sebelum difungsikan” ujar Zaki dihubungi, Selasa (28/10).
Ia menjelaskan pentingnya PBG dan SLF tersebut dalam menjamin keselamatan pengguna bangunan.
“Dua dokumen ini bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk tanggung jawab hukum atas keamanan dan keselamatan pengguna bangunan,” tambahnya.
Menurut Zaki, meski penyebab awal disebut akibat angin kencang dan hujan deras, faktor cuaca ekstrem tidak dapat dijadikan alasan peniadaan tanggung jawab. “Kalau atap terlepas hanya karena terpaan angin, artinya ada potensi kekeliruan dalam perencanaan teknis atau pelaksanaan konstruksi. Standar bangunan publik seharusnya memperhitungkan beban angin, sambungan rangka, dan pemeliharaan berkala. Dalam perencanaan bangunan gedung perlu memperhatikan kondisi alam yang semua datanya telah tersedia secara teknis baik by riset maupun by standar SNI, dari mulai debit air, debit curah hujan hingga kondisi tanah,” ujarnya.
Ia menjelaskan, di wilayah DKI Jakarta, penyelenggaraan bangunan gedung diatur secara ketat melalui Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Gubernur dan Nomor 20 Tahun 2024 tentang Ketentuan Tata Bangunan. Aturan tersebut menegaskan bahwa bangunan nonrumah tinggal seperti sarana olahraga wajib memiliki SLF sebelum digunakan.
“Apabila SLF belum diterbitkan atau tidak diperbarui, bangunan tersebut sebebnarnya secara hukum belum dinyatakan laik fungsi. Jika mau jujur, kondisi lapangan kadang membuka banyak peluang permakluman atas bangunan-bangunan baru yang akan di fungsikan. Faktor “biasanya” aman seringkali menjadi penyebab secara tradisional dari insiden pada bangunan. Pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang DKI Jakarta, seharusnya melakukan pengawasan berkala dan sistematis terhadap bangunan-bangunan publik dengan risiko tinggi,” tegas Zaki.
Lebih lanjut, Zaki menilai penting dilakukan audit teknis independen terhadap kondisi struktur atap, sambungan rangka, dan sistem drainase bangunan gedung hingga uji lab struktur tanah ditempat bangunan itu berdiri. Pemeriksaan ini, katanya, menjadi dasar untuk menentukan apakah ambruknya atap murni akibat cuaca atau karena kelalaian dalam perencanaan dan pemeliharaan.
“Jika ditemukan bahwa struktur tidak memenuhi standar, maka pemilik atau pengelola dapat dimintai pertanggungjawaban hukum, baik secara administratif maupun perdata, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Jo. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021. Paling tidak, peristiwa tersebut tidak sampai menimbulkan korban jiwa dan dapat memberi pelajaran berharga bagi para pemilik bangunan gedung publik,” ungkapnya.
Zaki juga mengingatkan bahwa penggunaan bangunan untuk kegiatan turnamen nasional menuntut standar keselamatan yang lebih tinggi. “Bangunan yang digunakan publik tidak boleh hanya layak secara estetika, tapi harus benar-benar aman dan teruji secara struktural,” pungkasnya.


