Oleh jafir Halim
Isu Hak Asasi Manusia (HAM) kembali mengemuka di tanah air. Meski sudah lebih dari
dua dekade reformasi bergulir, praktik pelanggaran HAM masih terus terjadi. Dari konflik
agraria, kriminalisasi aktivis lingkungan, hingga pembatasan kebebasan berpendapat
mahasiswa, semua ini menunjukkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya mampu
menegakkan prinsip dasar HAM.
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ratusan konflik agraria masih
berlangsung setiap tahun. Masyarakat adat dan petani menjadi korban utama,
kehilangan tanah yang telah menjadi sumber penghidupan turun-temurun. Ketika
berusaha mempertahankan haknya, mereka tidak jarang berhadapan dengan aparat
hingga berakhir di jeruji besi.
Kondisi serupa dialami aktivis lingkungan. Mereka yang berjuang menolak kerusakan
alam sering kali dihadapkan pada jeratan hukum. Kritik terhadap industri tambang atau
perkebunan kerap berujung pada kriminalisasi. Padahal, perjuangan mereka justru
menyangkut hak masyarakat luas atas lingkungan yang bersih dan sehat.
Sementara itu, kebebasan berpendapat dan kebebasan akademik juga menghadapi
tekanan. Aksi-aksi mahasiswa di berbagai kota kerap dibubarkan secara represif.
Bahkan, muncul intimidasi terhadap akademisi maupun mahasiswa yang bersuara kritis.
Fenomena ini menunjukkan rapuhnya perlindungan terhadap hak-hak sipil yang dijamin
konstitusi.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menilai situasi tersebut tidak bisa dianggap biasa.
Organisasi mahasiswa ini menegaskan perlunya langkah-langkah nyata untuk
memperbaiki kondisi HAM di dalam negeri.
“Krisis HAM hadir di kampung yang digusur, di ruang kelas yang sunyi karena
mahasiswa takut bersuara, dan di hutan yang rusak akibat rakusnya industri. Membisu
berarti mengkhianati amanat sejarah,” ujar Jafir Halim, kader HMI sekaligus penulis
opini.
Menurut Jafir Halim, ada sejumlah rekomendasi yang perlu segera diambil pemerintah.
Pertama, memperkuat advokasi agraria dan lingkungan hidup dengan menyelesaikan
konflik tanah secara adil dan berpihak pada rakyat kecil.
Kedua, perlindungan terhadap kebebasan sipil harus menjadi prioritas. “Aparat tidak
boleh lagi menggunakan pendekatan represif terhadap mahasiswa maupun aktivis.
Suara kritis adalah bagian sah dari demokrasi,” tegas Jafir Halim.
Ketiga, penting untuk meningkatkan literasi HAM di kampus. Menurutnya, pendidikan
HAM perlu menjadi bagian dari kurikulum kaderisasi mahasiswa agar melahirkan
generasi yang peka secara moral dan mampu menyuarakan keadilan berbasis
pengetahuan.
Keempat, kolaborasi dengan lembaga HAM dan organisasi masyarakat sipil harus
diperkuat untuk memastikan suara masyarakat terdampak tetap terwakili.
Kelima, pemerintah didesak untuk menunjukkan transparansi dan akuntabilitas dalam
menangani kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus-kasus berat masa lalu yang belum
pernah tuntas.
“Negara tidak boleh terus menutup mata. Krisis HAM di Indonesia adalah masalah nyata
yang membutuhkan keberanian politik untuk diselesaikan,” tutup Jafir Halim.
HMI Soroti Krisis HAM di Indonesia, Dorong Pemerintah Ambil Langkah Nyata
Leave a comment