Digindonews.com, Sibolga – Kota Sibolga merupakan kota kecil yang terus tumbuh. Di balik geliat ekonomi dan padatnya pemukiman di Kota Ikan ini, terselip sebuah bom waktu yang nyaris dilupakan: keberadaan Depot PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Sibolga yang berdiri kokoh di tengah kawasan padat penduduk.
“Menurut Zaid Irsyah Selaku Pemuda Pasar Belakang bahwa Sudah bertahun-tahun masyarakat, mahasiswa, hingga pemerintah daerah meminta Depot itu dipindahkan. Alasannya bukan tanpa dasar. Cukup dengan berjalan kaki beberapa langkah dari rumah warga di Kelurahan Pasar Belakang, kita sudah sampai di pagar tinggi Depot penyimpanan bahan bakar minyak itu. Jaraknya? Tak lebih dari 14 hingga 25 meter.” (2/7/2025)
“Bayangkan, di balik tembok itu tersimpan ribuan liter bahan bakar, sementara di sekitarnya hidup ribuan jiwa, anak-anak yang bermain, sekolah-sekolah yang berdiri, hingga pasar yang selalu ramai. Satu kesalahan kecil, satu insiden teknis, bisa menjadi malapetaka besar seperti yang pernah terjadi di Plumpang, Jakarta. ungkap Zaid”
Permen ESDM Nomor 32 Tahun 2016 sudah jelas mengatur soal zona penyangga. RTRW Kota Sibolga pun menetapkan kawasan itu sebagai wilayah perdagangan dan pemukiman, bukan area industri berisiko tinggi. Tapi entah mengapa, Depot itu masih berdiri, masih beroperasi, seolah-olah semua peraturan hanya deretan tulisan di atas kertas.
Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Sibolga-Tapteng kembali mengingatkan soal ini. Bukan sekadar aksi turun ke jalan atau seremonial penyerahan surat. Mereka datang dengan kajian, data, dan rekam jejak surat resmi yang sudah berulang kali dilayangkan oleh Pemerintah Kota Sibolga sejak 2017. Namun, realisasi relokasi yang dijanjikan tak kunjung terlihat.
PT Pertamina Patra Niaga berdalih soal keterbatasan lahan. Tapi publik bertanya, bagaimana mungkin di wilayah seluas Kabupaten Tapanuli Tengah yang masih banyak lahan kosong, persoalan lahan menjadi penghalang? Apalagi, rencana pembangunan Integrated Terminal BBM dan LPG di wilayah itu sudah sempat dibahas di internal Pertamina sejak 2021.
Masyarakat tak ingin menunggu bencana datang baru semua pihak bergerak. Bukankah keselamatan warga seharusnya lebih utama dari kepentingan bisnis atau kenyamanan operasional? Bukankah Plumpang cukup menjadi pelajaran, agar tidak ada lagi deretan karangan bunga belasungkawa dan wajah-wajah duka menghiasi halaman depan media?
Ironisnya, di sisi lain, anak-anak sekolah dasar belajar tak jauh dari barisan truk tangki Pertamina yang hilir mudik. Proses belajar yang seharusnya tenang, terusik oleh deru kendaraan besar dan bayang-bayang kecelakaan.
“Kini, masyarakat Sibolga hanya berharap pemerintah pusat, termasuk Kementerian BUMN dan PT Pertamina, mau membuka mata. Relokasi Depot BBM bukan sekadar desakan, tapi kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa geliat pembangunan kota ini tidak dibayangi potensi,Tutup Zaid”.
Keselamatan warga adalah harga mati. Kota ini terlalu berharga untuk dipertaruhkan hanya demi alasan efisiensi atau kelalaian birokrasi.***