Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
“Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah di antara keduanya itu yang lebih baik bagiku.” (Umar bin Khaththab)
Alkisah, ada seorang raja yang selalu hidup sejahtera tanpa merasa kekurangan, tiada rasa sakit, resah bahkan gelisah sekalipun. Ia memiliki seorang penasihat kerajaan yang bijak bestari. Sang penasihat mengatakan bahwa takdir Allah pasti yang terbaik untuk kita. Nasihat ini selalu terpatri di hati sang Raja. Betul saja seumur hidup Raja ia selalu merasakan keindahan, kemewahan, dan kebahagiaan. Maka Raja pun makin percaya akan nasihat itu.
Hingga suatu saat ia mengupas sebuah apel untuk dimakan olehnya. Suatu pekerjaan yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Akhirnya teririslah jarinya yang lentik nan lembut itu. Karena tak pernah merasakan kesakitan maka jarinya yang terluka itu amat menyiksanya. Maka dipanggillah sang penasihat seraya ia menanyakan perihal musibah yang menimpanya.
“Wahai penasihat, terangkanlah padaku apa yang terjadi dengan diriku hingga terluka?” ujar Raja. “Dengan luka ini, apakah memang benar bahwa takdir Allah itu yang terbaik untuk kita?,” lanjut sang Raja. Menanggapi hal itu sang penasihat pun tetap mengatakan bahwa takdir Allah pasti yang terbaik untuk kita.” Lalu mengapa aku begitu kesakitan? Apa memang ini takdir yang baik?” timpal sang Raja. Akhirnya penasihat itupun dijebloskan ke penjara.
Dengan kejadian yang menimpa Raja, apakah kita masih berpikir bahwa takdir Allah pasti yang terbaik untuk kita? Bagaimana dengan musibah-musibah yang kita alami? Apakah kita tetap yakin bahwa hal itu memang yang terbaik dari Allah untuk kita?
Untuk itu, mari kita simak kelanjutan kisah Raja itu. Beberapa waktu berselang, Raja pun melakukan kegiatan rutinnya berburu ke hutan. Namun kali ini ia hanya ditemani para prajuritnya tanpa kehadiran sang penasihat. Seiring berjalannya waktu rupanya sang raja tersesat di hutan dan terpisah dengan rombongan prajuritnya. Hingga ia masuk ke wilayah hutan yang dihuni sekumpulan suku pedalaman. Saat itu suku pedalaman hendak memberikan persembahan untuk dewa berupa tumbal.
Melihat ada seorang rupawan masuk ke wilayah mereka, serta merta sang Raja yang tersesat ditangkap dan akan dijadikan tumbal. Berkatalah salah seorang sesepuh kepala suku kepada kepala suku, “Wahai Baginda, aku menemukan seorang rupawan yang sangat pantas untuk kita jadikan persembahan bagi Dewa Agung kita.” “Bawalah kemari dan perlihatkan kepadaku,” ujar Kepala Suku. Maka digiringlah sang Raja dalam kondisi terikat ke hadapan Kepala Suku.
Kepala Suku itu pun melihat dengan saksama tubuh sang raja sambil tersenyum puas. Apa pasal? Ia begitu bahagia karena bisa memberikan tumbal kepada Dewa orang yang tampan rupawan serta berkulit bersih dan mulus. Namun, ketika ia melihat luka di jari sang Raja, senyumnya langsung memudar. Ia tak ingin tumbalnya memiliki cacat sedikitpun. Sambil berkata menggelegar, “Orang ini cacat! Kita tak bisa mem-berikannya untuk Dewa Agung kita.”
“Tapi Baginda, orang ini hanya memiliki cacat sedikit saja di tangannya,” timpal salah seorang yang lain. “Tidak bisa! Ia memiliki cacat! Ia tak bisa dijadi-kan tumbal!” tegas kepala suku. Akhirnya sang Raja dibebaskan dan dengan terbirit-birit ia berlari menjauh sambil mencari jalan menuju kerajaannya.
Berkat izin Allah, ia pun sampai di kerajaannya. Hal pertama yang dilakukan adalah berlari menuju penjara tempat sang penasihat dikurung. Lalu ia membebaskannya. “Wahai sahabatku, engkau benar! Engkau benar!” ucap sang Raja sambil terengah-engah. “Apa maksud Tuanku?” tanya sang penasihat sambil keheranan. Raja pun menceritakan kejadian yang ia alami. Berkat lukanya, berkat kesakitan yang ia rasakan, berkat darah yang menetes dari jarinya, berkat kesemuanya itu ia terbebas dari malapetaka. Ya benar, takdir Allah pasti yang terbaik untuk kita.
Sang penasihat langsung mengucapkan hamdalah. “Wahai Raja, sungguh aku pun mengalami hal yang terbaik dari Allah,” kata penasihat. “Apa maksudmu, bukankah kau mengalami kesengsaraan selama di penjara?” tanya Raja. “Bukankah dengan aku di penjara maka aku tak ikut berburu bersama Tuan? Lalu bila aku ikut niscaya akulah yang akan mereka pilih untuk menjadi tumbal mereka” jelas penasihat. Sekali lagi takdir Allah pasti yang terbaik untuk kita.
***
Ada sebuah ungkapan, ”sometimes accident is not accident at all.” Kadangkala kecelakaan itu sama sekali bukan kecelakaan. Kesulitan itu sama sekali bukan kesulitan. Umar bin Khaththab r.a. pun pernah berkata, “Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah di antara keduanya itu yang lebih baik bagiku.” Dari kalimat itu terlihat benar ketenangan dan kedamaian jiwa yang dimiliki Umar bin Khaththab karena pemahaman yang baik dan kokohnya keyakinan pada Allah Swt.. Keyakinan bahwa Allah Swt. yang paling tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Bahwa Allah Swt. adalah Penghulu kasih sayang dan kebijaksanaan. Dan bahwa beserta kesulitan ada kemudahan.
Banyak kesulitan dalam hidup ini. Banyak pula manusia yang gagal karenanya. Tak ada perjalanan hidup yang seratus persen mulus. Tetapi Allah Swt. menegaskan bahwa di dalam kesulitan itu ada unsur-unsur kemudahan. Ia bahkan tidak mengatakan “Sesudah kesulitan ada kemudahan” tapi “sungguh, beserta kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6). Ayat itu bahkan diulang dua kali dalam satu surat, yang menunjukkan sebuah penegasan. Dengan mengguna-kan logika terbalik, kita bisa menghayati dan merasa-kan, bahwa unsur-unsur yang ada pada kesulitan itu pada saat yang sama ada yang menjadi simpul-simpul jalan bagi kemudahan yang datang menyertainya. Atau bahkan jika kita cermati, secara tersirat kita dapati bahwa kesulitan bisa menjadi pintu mendatangkan kemudahan.
Contoh mudah saja. Begitu banyak orang, saat melamar suatu pekerjaan, berharap untuk mendapatkan panggilan tes. Karena mendapatkan panggilan tes adalah salah satu pintu yang jika bisa melewatinya maka akan bisa diterima sebagai pegawai. Jika tidak mendapatkan panggilan tes, bisa jadi si pelamar tidak layak atau telah tersisih dengan kandidat lain. Tes di sini bisa menjadi analog bagi sebuah kesulitan yang harus dilewati. Sedangkan mendapatkan pekerjaan atau diterima sebagai pegawai bisa menjadi analog bagi kemudahan.
Mungkin sejauh ini kebanyakan manusia belum meresapi atau menemukan ’formula’ ini karena mem- persepsi kesulitan sebagai hal yang negatif. Sedangkan bagi orang-orang yang terbiasa bertafakur, kadangkala berdoa, ”Ya Allah, beri aku duka” adalah hal yang biasa. Karena dengan duka atau kesulitan itu bisa lebih mendekatkan dirinya dengan Allah Swt. sehingga Allah Swt. pun senantiasa ’melihat’nya. Bagi mereka kesulitan adalah kebahagiaan, kemudahan adalah bagian dari kebahagiaan. Mereka memahami bahwa apapun ketetapan Allah Swt. adalah bagian dari kasih-Nya. Bagian dari cara Allah Swt. untuk membawa manusia ke dalam keadaan dan derajat yang lebih baik. Apapun–baik tentang kemudahan ataukah kesulitan– ujungnya akan selalu dijumpai ’wajah’ Allah Swt. saja. Karena mereka telah menemukan-Nya.
Bagi orang-orang yang ‘menemukan’ Allah Swt. sangatlah pantas mendapatkan kemenangan. Yaitu jika seseorang mampu menemukan maksud Allah Swt. atas kesulitannya, sehingga dia bersabar. “Hai orang-orang yang beriman, berlakulah sabar dan perkuat kesabaran diantara sesama kalian, dan bersiagalah kalian serta ber-takwalah kepada Allah, supaya kalian memeroleh kemenangan.”(QS. Ali Imran [3]: 200).
Dengan kata lain kesulitan justru bisa menjadi satu kesempatan untuk menang. Tentu saja jika orang tersebut bersabar. Dalam sebuah hadis Qudsi telah dituturkan, “Apabila telah Kubebankan kemalangan (ben-cana) kepada salah seorang hamba-Ku pada badannya, hartanya, atau anaknya, kemudian ia menerimanya dengan sabar yang sempurna, Aku merasa enggan menegakkan timbangan baginya pada hari kiamat atau membukakan buku catatan amalan baginya.”(HR. Al-Dailamiy, dari Anas r.a)
Dan orang-orang yang menemukan hakikat kesulitan inilah, yang kemudian ‘ketagihan’ akan kemenangan. Orang- orang seperti ini dalam dunia motivasi disebut dengan The Climbers (para pendaki). Mereka adalah orang-orang yang beristirahat sejenak setelah selesai satu pekerjaannya, lalu akan berkemas lagi memulai pekerjaan baru (faidza faroghta fanshob, wa ilaa robbika farghab). Dengan kesadaran akan tantangan dan kesulitan baru yang akan mereka jumpai. Dan tentu saja dengan kesadaran akan banyaknya pertolongan Allah Swt. atau kemudahan yang ternyata turut menyertai.