khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Suatu hari, ketika Imam Abu Hanifah sedang berjalan-jalan melewati sebuah rumah yang jendelanya masih terbuka, terdengar oleh beliau suara orang yang mengeluh dan menangis tersedu-sedu sambil berkata, “Aduhai, alangkah malangnya nasibku ini, agaknya tiada seorang pun yang lebih malang dari nasibku yang celaka ini. Sejak dari pagi belum lagi datang sesuap nasi atau makanan pun di kerongkonganku sehingga seluruh badanku menjadi lemah lunglai. Oh, manakah hati yang belas kasihan yang sudi memberi curahan air walau setetes.
Mendengar keluhan itu, Abu Hanifah merasa kasihan, lalu beliau pun balik ke rumahnya dan mengambil bungkusan hendak diberikan kepada orang itu. Setelah sampai ke rumah orang itu, dia terus melemparkan bungkusan yang berisi uang kepada si malang tadi dan meneruskan perjalanannya. Sementara itu, si malang berasa terkejut setelah mendapati sebua bungkusan yang tidak diketahui dari mana datangnya. Lantas ia segera membukanya. Setelah dibuka, nyatalah bungkusan itu berisi uang dan secarik kertas yang bertuliskan, “Hai manusia, sungguh tidak wajar kamu mengeluh sedemikian itu, kamu tidak pernah atau perlu mengeluhkan peruntungan nasibmu. Ingatlah kepada kemurahan Allah dan cobalah berdoa kepada-Nya dengan bersungguhsungguh. Jangan mudah berputus asa, hai kawan, tetapi berusahalah terus sekuat tenagamu.”
Pada keesokan harinya, Abu Hanifah melewati rumah itu lagi dan suara keluhan itu kembali terdengar, “Ya Allah, Tuhan Yang Maha Belas Kasihan dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan bungkusan lain seperti kemarin, sekedar untuk menyenangkan hidupku yang melarat ini. Sungguh jika Engkau tidak memberi, hidupku akan lebih sengsara lagi, duhai peruntungan nasibku.”
Mendengar keluhan itu lagi, maka Abu Hanifah pun kembali melemparkan bungkusan berisi uang dan secarik kertas dari luar jendela itu, lalu dia pun meneruskan perjalanannya. Orang itu begitu riang setelah mendapat bungkusan itu. Lantas terus membukanya.
Sama seperti yang dulu, di dalam bungkusan itu tetap ada secarik kertas, lalu dibacanya, “Hai kawan, bukan begitu caranya berdoa, bukan demikian caranya berikhtiar dan berusaha. Perbuatan demikian „malas‟ namanya. Putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah. Sungguh Tuhan tidak ridha melihat orang pemalas dan putus asa, yang enggan bekerja untuk keselamatan dirinya. Jangan….janganlah berbuat demikian. Kalau ingin hidup senang mesti giat bekerja dan berusaha, karena kesenangan itu tidak mungkin datang sendiri tanpa dicari dan diusahakan. Orang hidup tidak disuruh untuk duduk dan diam, tetapi harus bekerja dan berusaha. Allah tidak akan perkenankan permohonan orang yang malas bekerja. Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang berputus asa. Sebab itu, carilah pekerjaan yang halal untuk kesenangan hidupmu. Berikhtiarlah sedapat mungkin dengan pertolongan Allah. Insya Allah, akan dapat juga pekerjaan itu selama kamu tidak berputus asa. Nah…carilah segera pekerjaan, saya doakan semoga sukses.
Setelah selesai membaca surat itu, dia termenung, dia insaf dan menyadari akan kemalasannya yang selama ini dia tidak giat berikhtiar dan berusaha.
Pada keesokan harinya, dia pun keluar dari rumahnya untuk mencari pekerjaan. Sejak dari hari itu, sikapnya pun berubah mengikuti peraturan-peraturan hidup (sunnatullah) dan tidak melupakan nasihat orang yang memberikan nasihat itu.
Dalam Islam tidak ada istilah pengangguran, istilah ini hanya digunakan oleh orang yang berpikiran sempit dan negatif. Islam mengajak kita optimis untuk maju meraih masa depan dan bukan mengajak kita duduk santai di tepi jalan.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Goresan_Hikmah
#Sang Imam_dan_Seorang_Pemalas