Medan, DigIndonews – Gagasan “Rakyat Memilih, Rakyat Menentukan” dalam konteks Marxisme menawarkan kritik mendalam terhadap demokrasi formal, yang sering kali hanya menjadi alat bagi kelas penguasa untuk mempertahankan dominasi mereka atas masyarakat. Marx dan Engels menegaskan bahwa negara dalam sistem kapitalisme tidak netral, melainkan berfungsi sebagai alat untuk mengatur dan mempertahankan kekuasaan borjuis. Negara dianggap sebagai produk kontradiksi kelas yang tidak dapat didamaikan, di mana institusi-institusinya dirancang untuk melanggengkan kepentingan kelas dominan. Transformasi masyarakat membutuhkan penghapusan hierarki kelas melalui revolusi sosial yang memungkinkan rakyat, terutama kelas pekerja, untuk menguasai alat produksi dan mengatur dirinya sendiri (Marx & Engels, 1848)
Lenin memperluas analisis ini dengan menyatakan bahwa demokrasi dalam kapitalisme tidak pernah benar-benar merepresentasikan kepentingan rakyat. Ia menekankan bahwa negara borjuis tidak dapat digunakan oleh kelas pekerja untuk mencapai emansipasi, karena struktur negara itu sendiri dirancang untuk mempertahankan status quo. Oleh karena itu, ia mengusulkan perlunya penghancuran negara borjuis dan pembentukan diktatur proletariat, yang memungkinkan rakyat pekerja secara langsung mengatur kehidupan sosial dan politik mereka tanpa perantara elit politik yang korup atau terkooptasi (Lenin, 1917)
Gramsci menambahkan dimensi hegemoni ideologis sebagai elemen kunci dalam dominasi kelas. Ia menunjukkan bahwa demokrasi formal sering kali disertai dengan pengaruh ideologi kapitalis yang membatasi kemampuan rakyat untuk sepenuhnya menyadari potensi kolektif mereka. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya membangun counter-hegemony, yaitu aliansi ideologis dan politik yang mampu melawan dominasi ideologi kapitalis dan membuka jalan bagi demokrasi sejati yang mengakar pada kepentingan rakyat banyak (Gramsci, 1971).
Di Indonesia, demokrasi formal telah diadopsi melalui pemilu reguler sejak era Reformasi pada 1998. Namun, praktik demokrasi ini sering kali terjebak dalam kerangka politik elektoral yang didominasi oleh elit politik dan oligarki. Partai politik, yang seharusnya menjadi alat representasi rakyat, sering kali lebih mewakili kepentingan segelintir kelompok pemodal dibandingkan rakyat banyak. Menurut laporan Transparency International, tingginya tingkat korupsi dalam sistem politik Indonesia menunjukkan bahwa institusi-institusi negara kerap dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, bukan untuk melayani kepentingan publik.
Selain itu, fenomena politik uang dan patronase dalam pemilu menunjukkan bahwa akses rakyat untuk benar-benar menentukan nasib mereka masih terbatas. Dalam sistem seperti ini, pilihan rakyat sering kali dimanipulasi oleh propaganda politik yang didukung modal besar, sehingga proses demokrasi tidak mencerminkan kehendak sejati masyarakat. Seperti yang disoroti Gramsci, dominasi ideologis oleh kelompok elite membuat rakyat kesulitan menyadari potensi kolektif mereka untuk menciptakan perubahan yang mendasar.
Kondisi ini semakin diperburuk dengan meningkatnya ketimpangan ekonomi yang menciptakan jurang antara kelas menengah-atas dan kelas pekerja. Ketimpangan ini tidak hanya terjadi dalam distribusi sumber daya ekonomi, tetapi juga dalam akses terhadap kekuasaan politik. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah yang sering kali menguntungkan korporasi besar, seperti dalam kasus eksploitasi sumber daya alam, menunjukkan bahwa demokrasi formal gagal mencerminkan keadilan sosial dan ekonomi bagi rakyat kecil.
Di tengah situasi ini, penting untuk mengkaji bagaimana konsep “Rakyat Memilih, Rakyat Menentukan” dapat diaktualisasikan dalam konteks Indonesia. Hal ini mencakup upaya membangun kesadaran kolektif rakyat untuk melampaui batasan demokrasi formal dan mendorong partisipasi politik yang lebih substantif.
Melihat hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsep “Rakyat Memilih, Rakyat Menentukan” dalam perspektif Marxisme sebagaimana dirumuskan oleh Marx, Lenin, dan Gramsci. Penelitian ini juga berusaha mengkaji relevansi konsep tersebut dengan kondisi demokrasi di Indonesia, terutama dalam menghadapi tantangan seperti dominasi oligarki, korupsi politik, dan ketimpangan sosial-ekonomi. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan strategi politik yang mampu membangun kekuatan politik rakyat secara sejati dan menciptakan transformasi sosial yang berkeadilan.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode literature review sebagai pendekatan utama untuk menganalisis konsep “Rakyat Memilih, Rakyat Menentukan” dalam perspektif Marxisme. Pendekatan ini dilakukan dengan mengkaji secara mendalam literatur primer seperti Manifesto of the Communist Party karya Marx dan Engels (1848), State and Revolution karya Lenin (1917), serta Selections from the Prison Notebooks karya Gramsci (1971). Ini memberikan pemahaman yang komprehensif tentang keadaan pengetahuan saat ini, mengidentifikasi kesenjangan, dan membantu dalam merumuskan pertanyaan dan hipotesis penelitian (Snyder, 2019). Selain itu, penelitian ini juga memanfaatkan literatur sekunder berupa artikel jurnal, buku, dan laporan yang relevan dengan tema demokrasi formal, dominasi kelas, dan dinamika politik di Indonesia.
Proses penelitian dimulai dengan pengumpulan data dari berbagai sumber yang memiliki kredibilitas tinggi. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara kritis untuk mengevaluasi keabsahan, relevansi, dan kontribusinya terhadap penelitian. Fokus analisis adalah menggali argumen teoritis yang diajukan oleh tokoh-tokoh utama dalam Marxisme dan menghubungkannya dengan realitas demokrasi formal di Indonesia. Proses ini juga mencakup perbandingan antara konsep-konsep teoretis dalam literatur dengan kondisi empiris di Indonesia.
Setelah itu, analisis tematik dilakukan untuk mengidentifikasi tema-tema utama, seperti kritik terhadap demokrasi formal, pentingnya counter-hegemony, dan relevansi diktatur proletariat dalam membangun kekuatan politik rakyat. Tema-tema ini kemudian diintegrasikan dengan konteks sosial-politik Indonesia untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam. Tahap akhir dari metode ini adalah sintesis temuan, di mana hasil analisis dikaitkan dengan tujuan penelitian, yaitu mengkaji penerapan konsep “Rakyat Memilih, Rakyat Menentukan” dalam konteks demokrasi di Indonesia.
Melalui metode literature review ini, penelitian diharapkan dapat memberikan wawasan yang mendalam dan menyeluruh mengenai relevansi konsep Marxis dalam membangun kekuatan politik rakyat di tengah tantangan demokrasi formal di Indonesia. Analisis ini juga diharapkan mampu memberikan kontribusi baik secara teoretis maupun praktis dalam merumuskan strategi politik yang lebih berkeadilan.
Diskusi dan Pembahasan
Kritik Marxis terhadap Demokrasi Formal
Demokrasi Formal sebagai Alat Dominasi Kelas
Marx dan Engels memberikan analisis mendalam tentang bagaimana demokrasi formal dalam sistem kapitalisme tidak lebih dari sarana untuk memperkuat dominasi kelas borjuis atas proletariat. Dalam The Communist Manifesto, mereka menjelaskan bahwa negara di bawah kapitalisme berfungsi sebagai “komite untuk mengurus kepentingan seluruh kelas borjuis,” yang menegaskan bahwa peran negara adalah melindungi kepentingan ekonomi dan politik kelas penguasa (Marx & Engels, 1848). Demokrasi formal, dalam pandangan mereka, hanyalah fasad yang menutupi kenyataan bahwa kekuasaan politik tetap dikuasai oleh segelintir elit yang menguasai alat produksi. Dengan demikian, meskipun pemilu diadakan secara reguler, pemilihan tersebut tidak mencerminkan kehendak rakyat secara sejati; melainkan hanya mempertahankan kekuasaan kelompok dominan melalui proses yang tampak demokratis namun sesungguhnya sangat terkontrol.
Lenin memperluas pandangan ini dalam State and Revolution, di mana ia menekankan bahwa negara borjuis tidak bisa digunakan oleh kelas pekerja untuk mencapai emansipasi. Struktur negara itu sendiri dirancang untuk melindungi status quo dan mencegah perubahan yang dapat mengancam kekuasaan kelas penguasa. Dalam konteks ini, sistem politik yang mengklaim mendukung “demokrasi” hanya berfungsi sebagai sarana untuk membungkam perlawanan rakyat dan mempertahankan kekuasaan yang sudah ada (Lenin, 1917). Dengan demikian, Marx dan Lenin berargumen bahwa demokrasi formal harus dihapus dan digantikan dengan bentuk pemerintahan yang lebih radikal, seperti diktatur proletariat, di mana rakyat pekerja memiliki kendali langsung atas struktur politik dan sosial.
Demokrasi Formal dalam Praktik Politik Indonesia
Dalam konteks Indonesia, kritik Marxis terhadap demokrasi formal sangat relevan. Sejak era Reformasi pada 1998, Indonesia telah mengadopsi demokrasi formal dengan pemilihan umum yang digelar secara reguler. Namun, praktik demokrasi ini sering kali terjebak dalam siklus oligarki di mana kekuasaan politik lebih banyak dimiliki oleh segelintir elit politik dan pengusaha besar. Fenomena politik uang dan patronase menjadi bukti nyata bagaimana modal besar mendikte hasil pemilu. Pemilih sering kali dipaksa untuk memilih berdasarkan insentif materi, bukan berdasarkan visi politik atau program kebijakan yang akan memperjuangkan kepentingan rakyat secara luas.
Transparency International telah mencatat tingginya tingkat korupsi dalam sistem politik Indonesia, yang semakin memperjelas bahwa demokrasi formal di negara ini lebih melayani kepentingan kelompok kecil yang memiliki akses ke kekuasaan dan sumber daya, bukan rakyat banyak. Kekuasaan politik yang terpusat pada elite mengakibatkan terjadinya kebijakan-kebijakan yang cenderung menguntungkan pemodal besar dan merugikan rakyat, seperti eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan dan pengabaian hak-hak kelompok miskin. Hal ini mempertegas bahwa meskipun ada mekanisme demokratis, seperti pemilu, rakyat tetap tidak memiliki kendali nyata atas keputusan politik yang mempengaruhi hidup mereka.
Kesenjangan Representasi dan Partisipasi Politik
Demokrasi formal sering kali tidak mencerminkan partisipasi politik yang inklusif. Dalam teori Marxis, representasi rakyat hanya menjadi ilusi dalam sistem kapitalisme, di mana keputusan politik tetap dikendalikan oleh kelas dominan (Marx & Engels, 1848). Lenin menegaskan bahwa sistem ini tidak mampu mewujudkan partisipasi sejati karena rakyat teralienasi dari proses politik (Lenin, 1917).
Di Indonesia, kesenjangan representasi terlihat jelas dalam rendahnya keterlibatan kelompok marginal, seperti buruh dan petani, dalam pengambilan keputusan politik. Sebagai contoh, kebijakan yang merugikan kelompok tani, seperti pembukaan lahan untuk perkebunan korporasi besar, mencerminkan minimnya pengaruh mereka dalam proses legislasi. Partai politik lebih banyak mewakili kepentingan pemodal besar daripada kepentingan konstituennya.
Gramsci menyatakan bahwa keterlibatan rakyat tidak akan meningkat tanpa adanya counter-hegemony. Kesadaran kolektif harus dibangun melalui organisasi-organisasi rakyat yang mampu menantang narasi dominan yang disebarkan oleh media dan institusi negara (Gramsci, 1971). Dengan demikian, partisipasi politik yang inklusif memerlukan perubahan baik dalam struktur maupun budaya politik.
Membangun Kekuatan Politik Rakyat
Strategi Counter-Hegemony
Gramsci menjelaskan bahwa perubahan sosial hanya dapat terjadi jika rakyat membangun hegemoni alternatif melalui aliansi ideologis yang kuat (Gramsci, 1971). Proses ini melibatkan pembentukan organisasi rakyat yang mampu menciptakan narasi tandingan terhadap ideologi kapitalis. Dalam hal ini, pendidikan politik menjadi elemen kunci dalam meningkatkan kesadaran kolektif.
Di Indonesia, beberapa gerakan sosial telah mencoba membangun counter-hegemony melalui advokasi kebijakan dan kampanye publik. Misalnya, organisasi tani yang memperjuangkan hak atas tanah sering kali mengedepankan narasi alternatif tentang keadilan agraria. Namun, keberhasilan strategi ini sering kali dibatasi oleh kurangnya dukungan institusional dan tekanan dari kekuatan politik dominan.
Lenin menekankan bahwa tanpa organisasi politik yang terstruktur, perjuangan rakyat akan kehilangan arah dan momentum (Lenin, 1917). Oleh karena itu, membangun kekuatan politik rakyat memerlukan organisasi yang mampu mengintegrasikan aksi kolektif dengan strategi jangka panjang untuk mengubah struktur kekuasaan.
Peran Pendidikan dan Kesadaran Kelas
Marx menegaskan bahwa kesadaran kelas adalah langkah awal bagi rakyat untuk menyadari posisinya dalam hierarki sosial dan ekonomi (Marx & Engels, 1848). Pendidikan politik memainkan peran penting dalam membangun kesadaran ini, memungkinkan rakyat memahami mekanisme eksploitasi dan dominasi yang mereka hadapi.
Di Indonesia, upaya meningkatkan kesadaran kelas sering kali dilakukan melalui pendidikan nonformal, seperti lokakarya dan diskusi komunitas. Misalnya, gerakan buruh sering kali mengadakan pelatihan tentang hak-hak pekerja untuk memperkuat posisi tawar mereka terhadap pengusaha. Namun, tantangan utama adalah keterbatasan akses terhadap informasi yang obyektif, mengingat dominasi media oleh korporasi besar.
Gramsci menambahkan bahwa pendidikan politik harus bersifat organik, artinya diintegrasikan ke dalam aktivitas sehari-hari masyarakat (Gramsci, 1971). Dengan demikian, pendidikan politik bukan hanya transfer pengetahuan, tetapi juga proses pemberdayaan yang memungkinkan rakyat terlibat secara aktif dalam menentukan nasib mereka sendiri.
Transformasi Sosial melalui Partisipasi Kolektif
Model Demokrasi Partisipatoris
Lenin mencita-citakan model demokrasi yang melibatkan rakyat secara langsung dalam pengambilan keputusan melalui soviet atau dewan pekerja (Lenin, 1917). Model ini menawarkan alternatif terhadap demokrasi liberal yang terbatas pada pemilu lima tahunan. Partisipasi langsung memungkinkan rakyat untuk mengontrol proses politik dan memastikan keputusan mencerminkan kebutuhan mereka.
Di Indonesia, implementasi demokrasi partisipatoris dapat dimulai dari tingkat lokal melalui musyawarah desa atau forum warga. Misalnya, beberapa komunitas telah berhasil memanfaatkan anggaran desa untuk program pemberdayaan ekonomi berdasarkan musyawarah bersama. Model seperti ini menunjukkan potensi demokrasi partisipatoris dalam menciptakan tata kelola yang lebih inklusif.
Namun, tantangan utama adalah resistensi dari kelompok dominan yang merasa terancam oleh perubahan ini. Sebagai contoh, beberapa upaya desentralisasi telah menghadapi kendala dari pemerintah pusat atau elite lokal yang khawatir kehilangan kontrol atas sumber daya. Oleh karena itu, transformasi sosial membutuhkan dukungan kolektif yang kuat untuk mengatasi hambatan tersebut.
Rekonstruksi Institusi Negara
Marx dan Engels menyatakan bahwa negara kapitalis tidak dapat diubah dari dalam, melainkan harus direkonstruksi secara radikal (Marx & Engels, 1848). Proses ini melibatkan penghancuran struktur lama dan pembentukan institusi baru yang benar-benar merepresentasikan rakyat.
Dalam konteks Indonesia, rekonstruksi institusi negara dapat dimulai dengan reformasi birokrasi untuk mengurangi korupsi dan meningkatkan transparansi. Selain itu, perlu dibentuk mekanisme akuntabilitas yang memungkinkan rakyat mengawasi kinerja pejabat publik. Reformasi ini harus disertai dengan langkah-langkah untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam proses legislasi dan pengambilan keputusan.
Gramsci mengingatkan bahwa perubahan institusional hanya akan berhasil jika didukung oleh transformasi budaya dan ideologi (Gramsci, 1971). Oleh karena itu, rekonstruksi negara harus disertai dengan upaya membangun kesadaran kolektif yang mendukung nilai-nilai keadilan sosial dan demokrasi sejati.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa konsep “Rakyat Memilih, Rakyat Menentukan” dalam perspektif Marxisme sangat relevan untuk memahami dan mengatasi tantangan yang dihadapi oleh demokrasi formal di Indonesia. Melalui kritik yang diajukan oleh Marx, Lenin, dan Gramsci, jelas bahwa demokrasi dalam kapitalisme sering kali hanya berfungsi sebagai alat bagi kelas dominan untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Transformasi sosial yang sejati memerlukan pembangunan kesadaran kolektif, strategi counter-hegemony, dan partisipasi langsung rakyat dalam proses politik. Ini penting untuk mengatasi dominasi elit, korupsi, dan ketimpangan sosial yang melanda sistem politik di Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, penerapan gagasan Marxisme dapat membantu membangun kekuatan politik rakyat yang sejati, di mana rakyat memiliki peran aktif dalam menentukan nasib mereka. Melalui pendidikan politik yang berkelanjutan, partisipasi kolektif, dan rekonstruksi institusi negara yang lebih transparan dan inklusif, perubahan yang signifikan dapat dicapai. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk menginspirasi pengembangan strategi politik yang dapat mengurangi ketidakadilan, memperkuat representasi rakyat, dan memastikan demokrasi yang lebih adil dan berkelanjutan di Indonesia.***
Penulis Oleh : Ahmad Sayyidulhaq Arrobbani Lubis
Daftar Pustaka
Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. (Q. Hoare & G. Nowell Smith, Eds.). New York: International Publishers.
Lenin, V. I. (1917). State and Revolution. Moscow: Progress Publishers.
Marx, K., & Engels, F. (1848). Manifesto of the Communist Party. In Marx/Engels Selected Works, Vol. 1, pp. 98-137. Moscow: Progress Publishers.
Snyder, H. (2019). Literature review as a research methodology: An overview and guidelines. Journal of Business Research, 104(1), 333–339. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2019.07.039
Transparency International. (2021). Corruption Perceptions Index.