Ekonomi
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
“Kejujuran bukanlah kebijakan yang terbaik, ia adalah satusatunya kebijakan.” (Harian Randolpin)
Mitos Tentang Entrepreneur
Larry C. Farrell dalam bukunya The Entreprenerial Age menyebut, salah satu mitos yang banyak berkembang tentang Entrepreneur adalah anggapan bahwa Entrepreneur itu licik, penuh tipu daya, dan sering mengakali hukum. Para profesional lebih etis dan bermartabat.
Kenyataannya, skandal besar seperti Emeron di AS, Sumitomo di Jepang, sampai kasus BLBI dan korupsi yang eksekutif, yang notabene adalah para profesional di perusahaan tersebut. Bahkan para eksekutif yang menerima gaji gajah kendati perusahaannya berdarah-darah. Sebaliknya, para Entrepreneur sejati memilih bergaya hidup sederhana dan gemi demi menjaga agar usahanya bisa berkembang.
Kendati pun telah banyak kisah kesederhanaan para pebisnis, namun di tengah masyarakat tetap berkembang kuat mitos bahwa banyak pebisnis yang sukses berkat pengabaiannya terhadap etika. Jamak kita mendengar sinisme tentang perilaku pengusaha yang sukses dan memberi stigma “licik, picik, penuh siasat dan tipu daya, raja tega, dingin, muka tebal, dan egois.” Bahkan stereotype ini tidak hanya menjangkiti masyarakat Timur, namun di masyarakat Barat abad pertengahan pandangan serupa pun berkembang.
Jangan Serakah
Sebagai masyarakat yang menganggap agama sebagai sumber nilai-nilai utama, pandangan agama terhadap bisnis sangat penting disimak. Dalam Islam, sikap positif terhadap bisnis banyak diinspirasi oleh Nabi Muhammad sendiri yang awalnya adalah seorang pedagang ulung.
Pada masa awal-awal agama Islam tersebar ke seluruh dunia–termasuk Indonesia– melalui para pedagang. Banyak peringatan tentang penyalahgunaan kekayaan dalam Al-Quran, tetapi mencari kekayaan diperkenankan. Yang dilarang ialah keserakahan dan pamer kekayaan (riya‟). Dalam surat AlBaqarah ayat 275 Allah SWT berfirman, “Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba.”
Pada abad pertengahan, menurut K. Bertens, agama Kristen sering kali melihat perdagangan dengan penuh syak wasangka, oleh sebab itu urusan perdagangan banyak diserahkan kepada kaum Yahudi. Setelah reformasi, dengan munculnya Protestan, pandangan yang lebih positif mulai muncul. Bahkan dalam pandangan Protestan, memeroleh untung dari berdagang dianggap merupakan berkat Tuhan atas kerja orang-orang beriman. Tampaknya mendapatkan untung dari berbisnis banyak mendapat dukungan, yang dianggap tidak etis adalah keserakahan.
Banyaknya sikap sinis masyarakat terhadap pebisnis itu muncul karena banyak melihat perilaku tak terpuji mereka. Harus diakui banyaknya siasat dan permainan dalam bisnis menyebabkan timbulnya masalah-masalah etis yang serius. Lazim dalam tradisi masyarakat Cina, memandang medan pasar perdagangan sebagai medan perang, sehingga berlaku siasat dan strategi perang (Bing-Fa).
Menurut Chin-Ning Chu dalam buku best seller-nya The Asian Mind Game, deretan penderitaan bangsa Cina akibat perang dan bencana alam menyebabkan banyak orang menyanjung nilai-nilai “muka badak hati hitam (thick face black heart)”, sebagai nilai sah untuk memenangkan egoisme dengan kedok nilai-nilai etika. Demikian pula pemujaan terhadap maksimalisasi kesenangan pribadi (hedonisme) sehingga muncul ungkapan “serakah itu baik (greed is good)”, yang kini kian banyak penganutnya.
Kecenderungan pebisnis bersiasat untuk memenangkan pasar serta napsu-napsu yang tak terkendali itu tampaknya memang harus dibatasi oleh nilai-nilai etika, ini demi kemaslahatan bersama. Etika adalah cabang filsafat yang mempelajari baik buruknya perilaku manusia. Etika bisnis berkembang dari timbulnya kebutuhan konkrit masyarakat bisnis tentang ukuran baik buruknya perilaku manusia bisnis pada tingkat individu, organisasi dan makro ekonomi. Konon masyarakat AS lebih menekankan pada etika individu, Jepang pada organisasi, sementara di Erofa perhatian pada etika makro yang lebih banyak mengemuka.
Ketimbang memberi larangan atas perilaku tak terpuji, mungkin lebih diperlukan batasan-batasan konkrit tentang perilaku-perilaku utama yang sebaiknya dipunyai oleh para wirausahawan agar mereka bertindak etis. Maka perilaku ini dapat menjadi teladan dan tuntutan positif bagi mereka yang ingin sukses berkelanjutan.
Empat Keutamaan
Dalam bukunya Ethics and Excellence, Cooperation and Integrity in Bussiness, Robert C. Solomon seperti dikutip oleh K. Bertens, mengembangkan empat sifat keutamaan yang menandai individu pebisnis yakni kejujuran, kewajaran, kepercayaan dan keuletan.
Kejujuran. Kejujuran dianggap sebagai sifat pertama yang harus dimiliki oleh pebisnis. Pebisnis sejati akan bersifat jujur walaupun kesempatan tidak jujur sangat memungkinkan. Banyak bidang yang menyangkut aspek teknis rumit sangat memungkinkan pedagang berbohong, misalnya perdagangan mobil bekas, jasa reparasi elektronik dan komputer. Kejujuran menjamin kelangsungan bisnis dalam jangka panjang. Bisa saja seorang pedagang yang berbohong mendapatkan keuntungan berlipatganda, namun toh pada akhirnya sebagian besar pelanggan tidaklah bodoh. Kejujuran juga memerlukan keterbukaan terhadap informasi.
Kewajaran (Fairness) adalah kesediaan untuk memberikan apa yang wajar–apa yang bisa diterima– kepada semua pihak yang terlibat dalam suatu transaksi. Insider trading adalah contoh tidak adanya fairness. “Berburu di kebun binatang”, mencari pekerjaan/proyek di kantor sendiri, adalah contoh lainnya. Dalam system yang terbuka ketiadaan fairness akan berpotensi mengusir mitramitra yang setia
Kepercayaan (trust), harus ditempatkan dalam hubungan timbal balik, saling percaya. Pebisnis yang memiliki keutamaan ini, bisa mengandaikan bahwa mitranya mempunyai keutamaan yang sama.
Pebisnis yang memiliki kepercayaan ini bersedia untuk menerima mitranya sebagai pihak yang dapat diandalkan. Tanpa kepercayaan, proses bisnis yang normal akan sulit berjalan. Bayangkan! Penjual menerima pembayaran secara kredit setelah barang diserahkan, pembeli menerima barang beberapa waktu setelah pembayaran dilakukan. Pengusaha ekspor-impor berhubungan dengan mitranya yang dipisahkan oleh jarak yang jauh melalui bantuan intermediaries. Kepercayaan yang dibangun karena pengalaman dan reputasi tentu tidak semua orang lantas bisa dipercaya.
Keuletan (toughnes), ketahanan terhadap situasi sulit. Keutamaan ini yang menyebabkan pebisnis bangkit lagi setelah menderita kegagalan berulang-ulang (sebenarnya kata „kegagalan‟ tidak pernah ada dalam rumus bisnis.
Demikian pula pebisnis umumnya amat tahan terhadap situasi yang bergejolak bahkan sering tak terkendali. Kecenderungan pebisnis yang lebih berani mengambil risiko juga disebabkan oleh keutamaan ini. Persis sekali semboyan Om William– pendiri Astra Internasional mengagungkan keutamaan ini, per astra ad astra,” melalui kesulitan menuju ke bintang”.
Pandangan yang lebih positif terhadap bisnis dan perannya dalam masyarakat akhir-akhir ini berkembang pesat di Indonesia. Apalagi dengan situasi sempitnya lapangan kerja formal serta banyaknya PHK akhir-akhir ini, pebisnis sering dianggap sebagai pahlawan karena dapat menyediakan pekerjaan. Bahkan pada periode 2005 banyak pengusaha nasional yang masuk ke dalam partai politik (Soetrisno Bachir di PAN) serta pengangkatan mereka sebagai pejabat-pejabat negara (Jusuf Kalla – Wapres, Aburizal Bakrie – Menko Ekuin kemudian Menko Kesra) menandai penerimaan yang luas dalam masyarakat. Nilainilai bisnis tampaknya berperan positif dalam sendi-sendi kehidupan bangsa. Sebagaimana ungkap Soetrisno Bachir dalam Kompas, 25 Oktober 2005, yang kurang lebih berpendapat bahwa “cara pengambilan keputusan ala pengusaha membantu percepatan proses demokrasi dalam partai”, dan “perlunya dimasukkan pendidikan kewirausahaan dalam partai politik”.
Semakin menyebarnya penularan virus-virus kewirausahaan di segala bidang, seyogyanya tidak hanya membawa pesan terhadap nilai-nilai kesuksesan dan kekayaan, tetapi juga nilai-nilai etika keutamaan yang dapat menjamin kelanggengan usaha dalam jangka panjang. Sebagai seorang wirausaha, nilai-nilai keutamaan yang dapat menjamin kelanggengan usaha dalam jangka panjang. Sebagai seorang wirausaha, nilai-nilai keutamaan di atas seyogyanya tidak dianggap sebagai hambatan melainkan tantangan untuk mencapainya agar bisnis dapat berjalan berkelanjutan dan secara batin kesuksesan bisnis akan diiringi dengan kebahagiaan rohani. Selanjutnya keutamaan ini sebaiknya dikembangkan dalam etika praktis dan fungsional di semua jajaran dan fungsi perusahaan.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Enterpreneur_Mentality
#Menjunjung_Tinggi_Perilaku_Keutamaan_Bisnis
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
“Kejujuran bukanlah kebijakan yang terbaik, ia adalah satusatunya kebijakan.” (Harian Randolpin)
Mitos Tentang Entrepreneur
Larry C. Farrell dalam bukunya The Entreprenerial Age menyebut, salah satu mitos yang banyak berkembang tentang Entrepreneur adalah anggapan bahwa Entrepreneur itu licik, penuh tipu daya, dan sering mengakali hukum. Para profesional lebih etis dan bermartabat.
Kenyataannya, skandal besar seperti Emeron di AS, Sumitomo di Jepang, sampai kasus BLBI dan korupsi yang eksekutif, yang notabene adalah para profesional di perusahaan tersebut. Bahkan para eksekutif yang menerima gaji gajah kendati perusahaannya berdarah-darah. Sebaliknya, para Entrepreneur sejati memilih bergaya hidup sederhana dan gemi demi menjaga agar usahanya bisa berkembang.
Kendati pun telah banyak kisah kesederhanaan para pebisnis, namun di tengah masyarakat tetap berkembang kuat mitos bahwa banyak pebisnis yang sukses berkat pengabaiannya terhadap etika. Jamak kita mendengar sinisme tentang perilaku pengusaha yang sukses dan memberi stigma “licik, picik, penuh siasat dan tipu daya, raja tega, dingin, muka tebal, dan egois.” Bahkan stereotype ini tidak hanya menjangkiti masyarakat Timur, namun di masyarakat Barat abad pertengahan pandangan serupa pun berkembang.
Jangan Serakah
Sebagai masyarakat yang menganggap agama sebagai sumber nilai-nilai utama, pandangan agama terhadap bisnis sangat penting disimak. Dalam Islam, sikap positif terhadap bisnis banyak diinspirasi oleh Nabi Muhammad sendiri yang awalnya adalah seorang pedagang ulung.
Pada masa awal-awal agama Islam tersebar ke seluruh dunia–termasuk Indonesia– melalui para pedagang. Banyak peringatan tentang penyalahgunaan kekayaan dalam Al-Quran, tetapi mencari kekayaan diperkenankan. Yang dilarang ialah keserakahan dan pamer kekayaan (riya‟). Dalam surat AlBaqarah ayat 275 Allah SWT berfirman, “Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba.”
Pada abad pertengahan, menurut K. Bertens, agama Kristen sering kali melihat perdagangan dengan penuh syak wasangka, oleh sebab itu urusan perdagangan banyak diserahkan kepada kaum Yahudi. Setelah reformasi, dengan munculnya Protestan, pandangan yang lebih positif mulai muncul. Bahkan dalam pandangan Protestan, memeroleh untung dari berdagang dianggap merupakan berkat Tuhan atas kerja orang-orang beriman. Tampaknya mendapatkan untung dari berbisnis banyak mendapat dukungan, yang dianggap tidak etis adalah keserakahan.
Banyaknya sikap sinis masyarakat terhadap pebisnis itu muncul karena banyak melihat perilaku tak terpuji mereka. Harus diakui banyaknya siasat dan permainan dalam bisnis menyebabkan timbulnya masalah-masalah etis yang serius. Lazim dalam tradisi masyarakat Cina, memandang medan pasar perdagangan sebagai medan perang, sehingga berlaku siasat dan strategi perang (Bing-Fa).
Menurut Chin-Ning Chu dalam buku best seller-nya The Asian Mind Game, deretan penderitaan bangsa Cina akibat perang dan bencana alam menyebabkan banyak orang menyanjung nilai-nilai “muka badak hati hitam (thick face black heart)”, sebagai nilai sah untuk memenangkan egoisme dengan kedok nilai-nilai etika. Demikian pula pemujaan terhadap maksimalisasi kesenangan pribadi (hedonisme) sehingga muncul ungkapan “serakah itu baik (greed is good)”, yang kini kian banyak penganutnya.
Kecenderungan pebisnis bersiasat untuk memenangkan pasar serta napsu-napsu yang tak terkendali itu tampaknya memang harus dibatasi oleh nilai-nilai etika, ini demi kemaslahatan bersama. Etika adalah cabang filsafat yang mempelajari baik buruknya perilaku manusia. Etika bisnis berkembang dari timbulnya kebutuhan konkrit masyarakat bisnis tentang ukuran baik buruknya perilaku manusia bisnis pada tingkat individu, organisasi dan makro ekonomi. Konon masyarakat AS lebih menekankan pada etika individu, Jepang pada organisasi, sementara di Erofa perhatian pada etika makro yang lebih banyak mengemuka.
Ketimbang memberi larangan atas perilaku tak terpuji, mungkin lebih diperlukan batasan-batasan konkrit tentang perilaku-perilaku utama yang sebaiknya dipunyai oleh para wirausahawan agar mereka bertindak etis. Maka perilaku ini dapat menjadi teladan dan tuntutan positif bagi mereka yang ingin sukses berkelanjutan.
Empat Keutamaan
Dalam bukunya Ethics and Excellence, Cooperation and Integrity in Bussiness, Robert C. Solomon seperti dikutip oleh K. Bertens, mengembangkan empat sifat keutamaan yang menandai individu pebisnis yakni kejujuran, kewajaran, kepercayaan dan keuletan.
Kejujuran. Kejujuran dianggap sebagai sifat pertama yang harus dimiliki oleh pebisnis. Pebisnis sejati akan bersifat jujur walaupun kesempatan tidak jujur sangat memungkinkan. Banyak bidang yang menyangkut aspek teknis rumit sangat memungkinkan pedagang berbohong, misalnya perdagangan mobil bekas, jasa reparasi elektronik dan komputer. Kejujuran menjamin kelangsungan bisnis dalam jangka panjang. Bisa saja seorang pedagang yang berbohong mendapatkan keuntungan berlipatganda, namun toh pada akhirnya sebagian besar pelanggan tidaklah bodoh. Kejujuran juga memerlukan keterbukaan terhadap informasi.
Kewajaran (Fairness) adalah kesediaan untuk memberikan apa yang wajar–apa yang bisa diterima– kepada semua pihak yang terlibat dalam suatu transaksi. Insider trading adalah contoh tidak adanya fairness. “Berburu di kebun binatang”, mencari pekerjaan/proyek di kantor sendiri, adalah contoh lainnya. Dalam system yang terbuka ketiadaan fairness akan berpotensi mengusir mitramitra yang setia
Kepercayaan (trust), harus ditempatkan dalam hubungan timbal balik, saling percaya. Pebisnis yang memiliki keutamaan ini, bisa mengandaikan bahwa mitranya mempunyai keutamaan yang sama.
Pebisnis yang memiliki kepercayaan ini bersedia untuk menerima mitranya sebagai pihak yang dapat diandalkan. Tanpa kepercayaan, proses bisnis yang normal akan sulit berjalan. Bayangkan! Penjual menerima pembayaran secara kredit setelah barang diserahkan, pembeli menerima barang beberapa waktu setelah pembayaran dilakukan. Pengusaha ekspor-impor berhubungan dengan mitranya yang dipisahkan oleh jarak yang jauh melalui bantuan intermediaries. Kepercayaan yang dibangun karena pengalaman dan reputasi tentu tidak semua orang lantas bisa dipercaya.
Keuletan (toughnes), ketahanan terhadap situasi sulit. Keutamaan ini yang menyebabkan pebisnis bangkit lagi setelah menderita kegagalan berulang-ulang (sebenarnya kata „kegagalan‟ tidak pernah ada dalam rumus bisnis.
Demikian pula pebisnis umumnya amat tahan terhadap situasi yang bergejolak bahkan sering tak terkendali. Kecenderungan pebisnis yang lebih berani mengambil risiko juga disebabkan oleh keutamaan ini. Persis sekali semboyan Om William– pendiri Astra Internasional mengagungkan keutamaan ini, per astra ad astra,” melalui kesulitan menuju ke bintang”.
Pandangan yang lebih positif terhadap bisnis dan perannya dalam masyarakat akhir-akhir ini berkembang pesat di Indonesia. Apalagi dengan situasi sempitnya lapangan kerja formal serta banyaknya PHK akhir-akhir ini, pebisnis sering dianggap sebagai pahlawan karena dapat menyediakan pekerjaan. Bahkan pada periode 2005 banyak pengusaha nasional yang masuk ke dalam partai politik (Soetrisno Bachir di PAN) serta pengangkatan mereka sebagai pejabat-pejabat negara (Jusuf Kalla – Wapres, Aburizal Bakrie – Menko Ekuin kemudian Menko Kesra) menandai penerimaan yang luas dalam masyarakat. Nilainilai bisnis tampaknya berperan positif dalam sendi-sendi kehidupan bangsa. Sebagaimana ungkap Soetrisno Bachir dalam Kompas, 25 Oktober 2005, yang kurang lebih berpendapat bahwa “cara pengambilan keputusan ala pengusaha membantu percepatan proses demokrasi dalam partai”, dan “perlunya dimasukkan pendidikan kewirausahaan dalam partai politik”.
Semakin menyebarnya penularan virus-virus kewirausahaan di segala bidang, seyogyanya tidak hanya membawa pesan terhadap nilai-nilai kesuksesan dan kekayaan, tetapi juga nilai-nilai etika keutamaan yang dapat menjamin kelanggengan usaha dalam jangka panjang. Sebagai seorang wirausaha, nilai-nilai keutamaan yang dapat menjamin kelanggengan usaha dalam jangka panjang. Sebagai seorang wirausaha, nilai-nilai keutamaan di atas seyogyanya tidak dianggap sebagai hambatan melainkan tantangan untuk mencapainya agar bisnis dapat berjalan berkelanjutan dan secara batin kesuksesan bisnis akan diiringi dengan kebahagiaan rohani. Selanjutnya keutamaan ini sebaiknya dikembangkan dalam etika praktis dan fungsional di semua jajaran dan fungsi perusahaan.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Enterpreneur_Mentality
#Menjunjung_Tinggi_Perilaku_Keutamaan_Bisnis