
11 Maret 2025 Jakarta – Di negeri yang kaya akan budaya dan sumber daya alam, ada satu “kompetisi” yang terus berlangsung tanpa henti—Liga Korupsi Indonesia. Bukan pertandingan sepak bola atau turnamen olahraga, tetapi sebuah permainan kekuasaan yang melibatkan para elite politik, pejabat, dan pengusaha yang saling berebut keuntungan dari uang rakyat.
Setiap tahun, daftar “pemain” dalam liga ini terus bertambah. Ada yang baru masuk ke arena, ada pula yang merupakan wajah lama dengan strategi yang lebih canggih. Mereka datang dari berbagai sektor yaitu mulai dari pemerintahan, lembaga legislatif, dunia bisnis, bahkan aparat penegak hukum itu sendiri “Ujar Rheynald”
Bentuknya pun beragam, mulai dari penggelapan anggaran, suap proyek, hingga pencucian uang melalui jaringan bisnis gelap. Seolah tak pernah belajar dari sejarah, para koruptor ini terus berlomba-lomba mengakali sistem demi keuntungan pribadi.
Di dalam Liga Korupsi Indonesia ada sebuah peraturan yaitu Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo. UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pertandingan yang adil, wasit harus memiliki kekuatan untuk menegakkan aturan dan memberi sanksi bagi pelanggar. Namun, dalam Liga Korupsi Indonesia, “wasit” yang terdiri dari lembaga penegak hukum sering kali dipermainkan oleh mereka yang berkuasa.
Ada kalanya wasit mencoba bersikap tegas, menangkap pemain yang curang dan menjatuhkan hukuman berat. Namun, tak jarang pula mereka ditekan, diintimidasi, bahkan diganti oleh sistem yang lebih menguntungkan bagi pelaku korupsi. Beberapa peraturan yang seharusnya memperkuat pemberantasan korupsi justru direvisi agar lebih “ramah” bagi para pelakunya. contoh peraturan yang direvisi adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Masyarakat, yang seharusnya menjadi penonton sekaligus penjaga moral dalam pertandingan ini, semakin jenuh. Setiap tahun mereka disuguhi drama penangkapan pejabat tinggi, kasus mega korupsi yang terungkap, serta sidang-sidang yang disiarkan di berbagai media. Namun, hasil akhirnya sering kali mengecewakan. Hukuman ringan, remisi yang diberikan dengan mudah, hingga koruptor yang tetap hidup mewah di balik jeruji membuat kepercayaan masyarakat sebagai penonton semakin menurun.
Namun, meski banyak yang lelah dan skeptis, masih ada sekelompok masyarakat yang terus berjuang. Mulai dari aktivis antikorupsi, jurnalis investigasi, serta individu yang berani mengungkap kejahatan ini terus berusaha menjaga agar api perlawanan terhadap korupsi tidak padam.
ertanyaannya, apakah Liga Korupsi Indonesia akan berakhir? Ataukah ini akan terus berulang seperti siklus yang tak pernah putus?
Jawabannya ada pada setiap individu dalam negeri ini. Jika masyarakat memilih untuk diam dan pasrah, maka liga ini akan terus berjalan tanpa hambatan. Namun, jika kesadaran kolektif semakin tumbuh, jika aturan diperketat, dan jika keberanian untuk menegakkan keadilan semakin besar, maka lambat laun, sistem ini bisa dihentikan.
Korupsi bukan sekadar pencurian uang negara, melainkan perampasan hak-hak rakyat. Ini bukan hanya tentang hukum, tetapi juga tentang moral, keadilan, dan masa depan bangsa. Liga ini hanya bisa dihentikan jika seluruh elemen masyarakat bersatu dan memastikan bahwa tak ada lagi tempat bagi mereka yang ingin bermain curang dengan uang rakyat. Terutama, sah-kan peraturan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP) dengan segera.
Pertandingan melawan korupsi belum usai. Siapkah kita menjadi pemain yang benar di lapangan ini? Satu hal yang pasti, yaitu pertandingan melawan korupsi belum berakhir “Pungkas Rheynald”