Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Masih berbicara tentang cinta. Kali ini kita akan mengisahkan cinta seorang penulis terkenal, Kahlil Gibran. Usiaku baru menginjak delapan belas tahun saat cinta membuka kedua mataku dengan pancaran magisnya. Saat itu pula cinta untuk pertama kalinya mengguncangku melalui sentuhan jemari-jemarinya yang berapi. Selma Karami adalah perempuan pertama yang menggugah perasaanku dengan kecantikannya. Ia telah membawaku masuk ke dalam tanah kasih yang agung, di mana hari-hari laksana mimpi dan layaknya pesta pora.
Selma Karamilah yang mengajariku memuji keindahan dengan pancaran kecantikannya dan menguakkan rahasia cinta dengan cintanya. Dia adalah perempuan pertama yang mendendangkan sajak-sajak kehidupan yang sesungguhnya. Setiap pemuda akan senantiasa mengingat cinta pertamanya. Dan, ia akan mencoba menggapai kembali saat-saat yang ganjil itu. Ingatan yang mengubah dasar perasaannya dan membuatnya sedemikian gembira, meskipun kegetiran terasa dalam misteri.
Dalam hidupnya, setiap pemuda akan kedatangan seorang Salma yang dating dengan tiba-tiba pada musim semi kehidupannya. Ia telah mengubah kesepiannya menjadi saat-saat yang bahagia serta mengisi kesunyian malam-malamnya dengan musik.
Aku begitu asyik, larut dalam bayangan dan lamunan, mencoba mengerti makna semesta raya. Aku terlena ketika aku mendengar cinta membisik di telingaku melalui bibir Selma. Hidupku laksana terhenti, hampa seperti Adam di surga ketika aku melihat Selma berdiri di hadapanku laksana mercusuar. Selma adalah hawa bagi hatiku yang penuh dengan rahasia-rahasia dan keajaiban-keajaiban. Dialah yang membuatku paham arti kehidupan.
Adalah Hawa yang menyebabkan Adam keluar dari surga dengan keinginannya. Sementara Selma mengantarkan aku memasuki taman cinta yang murni dengan kebajikan, keanggunan, dan cinta kasihnya. Pedang tajam yang menghalau Adam keluar dari surga adalah semisal yang membuatku takut oleh kilat dan memaksaku menjauh dari surga cintaku tanpa pengingkaran atas segala macam perintah atau merasakan nikmatnya buah pohon terlarang itu, buah Khuldi.
Saat itu setelah tahun-tahun berlalu, aku tidak memiliki apapun. Tak ada yang tersisa dari impian indah itu, melainkan kenangan menyakitkan yang mengepak-ngepak laksana sayap-sayap tak tampak di sekelilingku. Ia melahirkan rintihan kedukaan di dasar hati dan mengucurkan air mata putus asa di kelopak mata. Selma yang anggun sudah tiada. Tiada yang tersisa sekedar mengingatnya selain hatiku yang patah dan seonggok kuburan itu. Hal inilah yang masih tersisa untuk memberi kesaksian tentang Salma.
Kesunyian menjaga kuburan itu, tidaklah mampu menyibakkan rahasia-rahasia yang disimpan Tuhan di dalam gelapnya keranda. Gemercik dahan yang akarnya menyesap bagian tubuh jenazah itu tidaklah menguak misteri tentang kuburan itu. Namun, desah dan ratap di hatiku cukuplah untuk memberi kabar kepada khalayak tentang drama yang meletakkan cinta, keindahan, dan maut telah terjadi.
Wahai sahabat-sahabat muda yang tersebar di kota Beirut, bila kalian melewati kuburan di dekat rimbun vemara itu, masuklah dengan mulut terbungkam. Melangkahlah dengan perlahan agar derap kakimu tidak mengganggu tidur orang yang telah beristirahat. Berhentilah dengan rendah hati di kuburan Selma dan sampaikanlah salamku pada tanah yang menutupi pusaranya. Sebutlah namaku dengan desahan yang dalam lalu katakan pada dirimu, “Di sini segala harapan Gibran, yang ia hidup laksana seorang tawanan cinta di seberang laut, dikebumikan. Dengan serta merta dia kehilangan kegembiraannya, menampakkan air mata dan melupakan senyumannya.”
Di antara kuburan bisu itulah penderitaannya tumbuh bersama pohon-pohon cemara. Di atas kuburan itu rohnya melayang-layang setiap malam mengitari Selma, berkelana mengiringi cabang-cabang cemara dengan rintihan yang menyesakkan. Merasakan kehilangan yang begitu hebat, meratapi kepergian Selma yang sebelumnya menjadi nyanyian begitu indah di bibir kehidupannya yang kini telah menjelma menjadi rahasia bisu di pelukan bumi.
Wahai sahabat-sahabatku, aku mohon kepada kalian atas nama seluruh gadis-gadis yang kepada mereka hati kalian dipertaruhkan, agar meletakkan karangan bunga duka cita di atas makam orang yang kau cintai. Barangkali, bunga-bunga di pelataran kubur Selma menjadi laksana setetes embun yang dititikkan pelupuk sang fajar pada bunga mawar yang layu.
Para tetanggaku, tentu kalian masih ingat masa muda dengan keriangannya dan menyesalkan setelah berlalu. Tetapi, aku mengingat semua itu tak beda dengan seorang tawanan yang menggambarkan kembali jeruji dan belenggu-belenggu kesengsaraan di dalamnya. Kalian menyebut tahun-tahun antara masa kecil dan masa muda sebagai masa keemasan yang terbebas dari aturan dan kungkungan. Namun, bagiku tahun-tahun tersebut sebagai masa kedukaan yang bisu. Ia tumbuh laksana benih di dalam hatiku dan berkembang pula bersamanya. Tak dapat menembus dunia pengetahuan dan kebijaksanaan hingga cinta datang dan membuka pintu-pintu hati serta menyinari sudutsudutnya.
Cinta menganugerahiku bahasa dan air mata. Kalian tentu ingat taman-taman dan bunga-bunga anggreknya, tempat-tempat pertemuan di sisi jalan yang menyaksikan sandiwaramu dan menyaksikan bisik-bisik kalian. Aku yang mengingat tempat yang indah di Lebanon Utara. Setiap kali aku terpejam, aku menyaksikan lembah-lembah penuh keajaiban dan keindahan serta gununggunung yang dikelilingi oleh keagungan dan kemuliaannya yang mencoba merambah langit. Setiap kali aku menutupi pendengaranku terhadap bisingan kota, aku mendengar bisikan gemercik anak sungai dan gemercik sulur pepohonan. Seluruh keindahan yang aku sampaikan sekarang ini dan aku rindukan itu, tak ubahnya laksana bayi yang merindukan tetek ibunya, melukai jiwaku yang terpenjara dalam kekelauan masa muda. Semisal seekor elang menderita sendirian dalam sangkarnya tatkala melihat sekawanan burung terbang bebas di langit yang luas. Seluruh lembah dan bebukitan membakar angan-anganku, namun perasaan gelisah membenamkan hatiku ke jaring keputusasaan.
Setiap kali aku pergi ke perladangan, aku kembali dengan kekecewaan tanpa sedikit pun memahami penyebab kekecewaan itu. Setiap kali menengadah ke langit yang kelabu, aku rasakan hatiku mengerut. Setiap kali aku mendengar nyanyian burungburung dan perbincangan musim semi, aku menderita tanpa mengerti alasan penderitaanku. Konon, kebersahajaan membuat seseorang berada dalam kekosongan. Dan, kekosongan membuatnya riang dan tiada terpikir sedikit pun. Yang demikian barangkali benar bagi mereka yang terakhir bagi mereka yang terakhir sebagai mayat dan hidup sebagai seonggok jasad kaku di atas permukaan tanah. Tapi, bagi seorang anak yang peka serta tahu sedikit tentang sesuatu, dialah makhluk paling sial di bawah matahari sebab dia dicabik-cabik oleh dua kekuatan. Kekuatan pertama mengangkatnya dan mempertontonkan indahnya semesta dari balik kabut mimpi-mimpi. Yang kedua memaksanya turun ke bumi dan memenuhi penglihatannya dengan debu dan menyekapnya dengan segala kekhawatiran dan lamunan.
Kesunyian memiliki tangan-tangan yang lembut, namun dengan jari-jarinya yang kuat, ia merenggut hati dan membuatnya nestapa dengan duka cita. Kesunyian adalah lorong menuju penderitaan sekaligus teman keagungan spiritual.
Jiwa seorang anak yang tak henti dilanda derita adalah seumpama teratai putih yang sedang terapung. Menggigil diterpa semilir angin dan membuka hatinya untuk sang fajar. Lalu melipat daunnya kembali tatkala bayang-bayang malam mulai datang. Manakala anak tersebut tidak punya hiburan atau kawan dalam pergaulan, hidupnya akan menjadi penjara sempit, di mana dia tidak mampu melihat apapun kecuali jaring laba-laba. Tidak mendengar sesuatu pun kecuali suara serangga.
Penderitaan yang menghantuiku selama masa muda bukanlah disebabkan oleh kurangnya hiburan dan permainan. Karena, pada kenyataan aku punya itu semua. Bukan pula teman yang tiada terbilang. Kedukaan itu lebih dikarenakan penyakit batin yang membuatku mencintai kesederhanaan. Ia juga mematikan kecenderunganku pada permainan dan hiburan. Ia pulalah yang mematahkan kemudaanku dari bahuku dan membuatku seperti air di antara gunung-gunungku yang tenang dan memantulkan warnawarni awan dan pepohonan. Tetapi, tidak menemukan sebuah jalan keluar di mana sungai mengalir sampai berdendang ke arah laut.
Begitulah, kehidupanku sebelum usiaku mencapai delapan belas tahun. Tahun-tahun tersebut tak jauh beda dengan puncak-puncak gunung dalam hidupku. Karena, ia menjadikan aku berpikir tentan alam ini dan membuatku memahami perubahan-perubahan pada diri manusia. Di tahun itu akan terlahir kembali, dan bila seseorang dilahirkan kembali, maka hidupnya akan kekal seperti sehelai kertas kosong dalam kitab keberadaan. Di tahun itu aku menyaksikan malaikat-malaikat dari surga memandang ke arahku melalui mata perempuan indah. Aku juga melihat setan-setan penghuni neraka yang mengumpat dan bentakan-bentakan di hati seorang lelaki yang bejat. Barangsiapa tidak melihat malaikatmalaikat dan para setan di dalam keindahan dan kedengkian hidup, maka ia akan terlempar jauh dari ilmu pengetahuan, dan jiwanya akan kosong dari cinta dan kasih sayang.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Energi_Cinta
#Keindahan_dan_Kesunyian_Cinta