Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Wail namanya. Ia telah lulus SLTA. Kedua orang tuanya begitu senang dan bahagia saat membayangkan masa depannya yang sukses. Setelah itu keluarga itu pun bermusyawarah dengan anak semata wayangnya tentang bidang ilmu dan jurusan yang diinginkannya, sehingga ia bisa memperoleh hasil yang memuaskan dan bermanfaat.
“Nak, kamu rencana mau kuliah di mana dan ngambil jurusan apa?” tanya orang tua Wail.
“Saya ingin masuk jurusan kedokteran di Univer-sitas Sourbon di Paris ibukota Perancis.”
“Kalau memang itu keinginanmu, kami sebagai orang tua setuju-setuju saja.”
Ayah Wail adalah seorang pedagang sukses dan hidup bahagia dengan keluarganya. Ia laki-laki saleh, jujur dan terpercaya. Ia tidak terbiasa berdusta seperti sebagian pedagang lainnya. Karenanya, orang-orang pun menyukainya, mempercayainya dan senang ber-bisnis dengannya.
Tibalah saatnya Wail untuk melanjutkan studinya di Universitas idamannya. Maka sang ayah mempersiapkan semua biaya untuk studi buah hatinya dan harapan hidupnya tersebut.
Hari-hari pun terus berjalan. Waktu terus berlalu. Setiap tiga bulan sekali orang tuanya mengirimkan sejumlah uang untuk biaya hidup Wail; untuk asrama, makan dan lainnya. Wail hidup di sebuah flat dekat kampus yang ia sewa dari sebuah keluarga berkebangsaan Perancis.
Selama di flat tersebut, Wail berkenalan dengan seorang gadis Perancis yang terkenal kecantikannya dan semampainya. Dengan berganti hari demi hari, hubungan keduanya semakin kuat dan semakin bertambah pula rasa cintanya.
Tetapi manusia tetaplah manusia. Seorang gadis tetaplah seorang gadis, dan setan akan terus mengikuti manusia di manapun ia berada. Ia akan terus membuat indah segala bentuk penyimpangan dan kemaksiatan di mata manusia.
Si gadis itu pun hampir setiap waktu datang ke flat Wail. Ia mulai terbiasa ngobrol dan bercanda dengan-nya, sebagaimana si gadis pun mencintainya. Mulai saat itu, Wail biasa memanjakan gadisnya itu dengan berbagai hadiah dan pemberian. Dan benarlah orang yang mengatakan, “Barangsiapa mengambil suatu bangsa tanpa ada perlawanan, maka mudah baginya menguasai bangsa tersebut.”
Dasar tak tahu diri ! Orang tua bersusah payah membanting tulang, berpeluh keringat, sedangkan sang anak tenggelam dalam kesesatan, hura-hura dan keharaman. Ibarat tempat pembuangan kotoran, tidak ada
sedikit pun harta yang tersisa. Pikirannya sibuk me- mikirkan kekasihnya, sementara studinya berantakan. Maka setiap satu tahun waktu belajar, ia tempuh dua tahun. Adapun keluarganya tidak mengetahui sama sekali apa yang telah dan tengah terjadi. Sedangkan keluarga si gadis tidak pernah ambil peduli dan cuek dengan apa yang terjadi. Ini semua karena budaya materialisme telah memberikan mereka kebebasan tanpa batas, sehingga melahirkan pola hidup hura dan rendah. Kepedulian dan Kecemburuan sirna atas nama modernitas.
Pada suatu pagi, Wail terbangun karena mendengar tangisan dan rintihan kekasihnya. Dengan penuh ketakutan dan kecemasan, ia langsung beranjak dari tempat tidurnya. Ia usap air mata kekasihnya yang mengalir di kedua pipinya. Dengan kedua tangannya ia memegang pundak kekasihnya, menenangkan tangis dan kesedihannya dengan penuh kelembutan. Dengan kata- kata yang lembut Wail meredakan gemuruh hati kekasihnya. Setelah tangisnya mulai reda dan tenang kemudian Wail bertanya kepada kekasihnya,
“Wahai kekasihku yang kucinta, kalau Kanda boleh tahu apa apa yang telah terjadi pada dirimu?”
“Kanda, orang tuaku memberitahuku, bahwa aku telah sampai pada usia yang secara undang-undang mereka sudah tidak berkewajiban lagi memberikan biaya hidup kepada putrinya, dan mereka juga memintaku untuk keluar meninggalkan rumah atau aku harus membayar seratus Frank sebagai biaya tinggal.”
“Kanda, sudah berulang kali dinda meminta kepada mereka agar meringankan biaya tersebut, tapi selalu ditolak. Begitupun berbagai cara sudah lakukan, tapi mereka tetap tidak mau menerima malah mereka mengatakan, “Bayar dulu, atau kamu keluar dari rumah ini dan tidak usah kembali lagi !”
“Wahai dinda, jangan cemas. Kalau pun kamu diusir dari rumahmu, Kanda bersedia untuk menampungmu, tapi dengan satu syarat, maukah dinda kawin denganku?”
“Wahai Kanda, jiwaku sudah kuserahkan untukmu, aku siap menjadi isterimu.”
Maka keduanya pergi ke pengadilan melangsungkan perkawinannya. Dengan itu berakhirlah sudah kesedihan dan kesusahan gadis itu. Persoalan si gadis selesai untuk memulai permasalahan baru bagi si pemuda Wail. Kini ia harus ber- tanggung jawab memenuhi kebutuhan isterinya. Dan tentunya ia meminta kepada keluarganya tambahan biaya hidup yang dikirimkan, dengan alasan naiknya semua harga kebutuhan dan kondisi yang buruk. Ayahnya pun memenuhi keinginannya dengan menambah biayanya sampai semua hartanya habis. Ayahnya mulai kebingungan dan tidak tahu dari mana lagi bisa memenuhi biaya anaknya. Ayahnya menyampaikan keadaan yang terjadi kepada isterinya, mendengar itu, ibunya pun tidak pelit. Ia segera menjual semua perhiasannya demi memenuhi ke-butuhan anak dan permata hatinya, Wail, serta demi mewujudkan masa depannya yang cemerlang. Walaupun sudah begitu banyak harta yang dikeluarkan, si anak masih terus meminta tambahah biaya. Dan ternyata Wail menggunakan itu semua biaya yang dikirimkan dengan boros dan tidak sedikit pun terbesit dalam benaknya apa yang dirasakan kedua orang tuanya demi memberikan biaya kepada dirinya.
Bagaimana kedua orang tuanya mampu memberikan itu semua, sedangkan kondisi ekonominya semakin memburuk, dan sumber-sumber penghasilannya menurun, sedangkan putranya tetap lupa dan gelap mata.
Sudah bertahun-tahun waktu belajar yang dijalani Wail, sementara kedua orang tuanya menunggu-nunggu kelulusannya dengan penuh kesabaran. Angan-angan terus mempermainkan khayalan mereka. Harapan-harapan indah terus mengalir dari hati keduanya. Lebih-lebih ibunya, ia selalu menguatkan suaminya, menghilangkan kesedihannya dan menghiburnya bahwa sebentar lagi Wail akan lulus menjadi seorang dokter yang sukses, yang akan memberikan kebaikan yang berlipat ganda kepada keluarganya, juga mengangkat derajat mereka.
Kedua orang tuanya semakin bingung, dan hatinya merintih dari beratnya beban. Tetapi sang anak terus dan terus meminta tambahan biaya dengan membohongi keduanya bahwa ia akan segera lulus. Tiada jalan bagi kedua orang tua itu selain menjual rumah demi menuruti dan memenuhi kebutuhan anaknya. Keduanya rela menyewa rumah selama anak semata wayangnya bisa lulus, dan akan membangunkan kembali kesuksesan untuk keduanya dari awal. Kedua orang tuanya terus mengirimkan uang sampai uang penjualan rumahnya itu pun habis. Tapi perjalanan itu belum berakhir.
Sementara sang anak terus menerus menghambur- hamburkan uangnya. Seakan-akan ia anak seorang menteri atau pedagang besar. Ia terbiasa meminta tambahan biaya dalam setiap surat yang dikirimnya, seakan uang yang dimintanya datang begitu saja tanpa susah payah dan kerja keras. Padahal, orang tuanya sekarang sudah jatuh miskin, sebuah kondisi yang layak dikasihani bahkan ditangisi.
Kedua orang tua Wail semakin bingung di depan kesulitan yang akut dan menumpuk. Keduanya tidak bisa menahan tangis dari beratnya ujian, kesedihan dan kepedihan. Akhirnya ayahnya mengirim surat kepada putranya, Wail memberitahukan bahwa hartanya telah habis, rumahnya telah dijual, dan perhiasan ibunya juga habis. Karena itu berpikirlah untuk mencari jalan keluar dan uruslah urusanmu sendiri. Tetapi sang anak Wail tidak percaya. Ia mulai berburuk sangka. Hatinya sudah mengeras. Ia telah jauh dari Tuhan-nya dan telah menyimpang dari jalan-Nya yang lurus yang telah digariskan oleh Penciptanya; Allah Al-Hakim. Dan tiada jalan lain bagi Wail selain berusaha sendiri untuk menyelesaikan studinya dan memperoleh ijazah kelulusan. Setan laknatullah „alaih terus membisikinya agar menumpahkan bara kemarahan kepada orang tuanya, dan berlepas diri dari keduanya seperti ular terlepas dari kulitnya dengan memutus hubungan selama-lamanya. Setan membisikkan dalam hatinya, “Wail, orang tuamu telah mengkhianati janji, menyia-nyiakan masa depanmu,
dan memutus tali harapanmu.”
Akhirnya, selesailah studi Wail dengan memperoleh gelar dokter (dr). Tetapi, hal ini tidak lantas membuatnya puas. Ia terus bekerja untuk mewujudkan angannya dan mengumpulkan harta untuk membuka praktek di negerinya saat kembali nantinya.
Segala angan dan harapannya pun terwujud. Ia segera kembali bersama isterinya ke negaranya tanpa sepengetahuan orang tua dan kerabatnya. Ia pulang dengan hati yang lebih keras dari batu, lebih gelap dari kegelapan malam, dan lebih sesat dari para durjana.
Bersama isterinya, Wail hidup tanpa hati seorang mukmin yang penuh kasih. Ia tidak lebih seperti binatang liar atau setan yang tersesat. Akan tetapi Allah senantiasa mengawasi keduanya, tidak pernah sedikit pun lalai dari urusan hamba-Nya, dan tidak pula tertidur dari mengatur alam semesta, karena Ia Suci dan Bersih dari segala kesia-siaan atau kelalaian. Ia mengulur tali untuk Wail agar bertambah kesesatannya, dan tidak men- cegahnya dari kesesatan, kezaliman dan kebejatannya. Ia memperoleh ijazah dokternya, tapi ia menyia-nyiakan ijazah dari Rabb-nya. Memang ia telah memperoleh dan mendapatkan budaya dan pola pikir Barat, juga wanita asing, tapi ia kehilangan agama, akhlak dan prinsip- prinsip yang agung, sehingga ia berada dalam kesesatan setelah hidayah, dan tenggelam dalam lautan kemaksiatan dan penyimpangan yang tidak berujung.
Takdir pun menentukan lain. Salah seorang teman ayahnya datang ke tempat prakteknya. Begitu melihat Wail, ia sangat kaget dan terkejut, secepat kilat ia pulang menemui ayah Wail untuk menyampaikan kabar gembira dari apa yang dilihatnya barusan. Bahwa anaknya telah menjadi seorang dokter dan membuka praktek. Mendengar itu ayah Wail berkata,
“Temanku, janganlah menghina, biarkanlah kami dalam kesedihan dan kegundahan kami.”
Mendengar penuturan temannya yang seolah tak percaya dengan apa yang dikatakannya, ia berkata,
“Wahai temanku, pernah aku berbohong kepadamu? Kalau memang engkau tidak percaya maka aku bersumpah kepada Allah. Demi Allah, sungguh aku melihat anakmu tadi.”
Maka percayalah ayah Wail terhadap penuturan temannya, lalu ia berkata,
“Kalau begitu, mari kita pergi ke tempat praktek Wail.” Ayah Wail melangkahkan kakinya berjalan bersama temannya antara percaya dan tidak, sedang dalam hatinya ada perasaan kagum sekaligus heran yang tidak terkirakan oleh siapapun. Angan-angan mendorongnya, sehingga ia mempercepat langkahnya dan menepis keraguannya. Kemudian ia berdoa kepada Allah sepenuh hatinya. Sampai akhirnya kedua matanya melihat sebuah papan nama anaknya yang tertulis di atasnya dan mencium aromanya, kedua matanya telah bercucuran air mata menyapu segala kesedihan, air mata kegembiraan dengan
hilangnya segala kesulitan dan derita.
Keduanya menaiki tangga tempat praktek ter-sebut, dan hampir-hampir kedua mata ayahnya tidak percaya, dan berkata „apakah saya sedang bermimpi atau tersadar. Tangga pun sampai pada ujungnya. Dan sebelum kegembiraan datang, ia melihat Wail dengan kedua matanya. Tetapi sungguh, putranya telah benar-benar berubah. Ia berjalan seakan tidak mengenal ayahnya, bahkan ia tidak ingin melihat ayahnya apalagi mengenalnya sebagai balasan darinya atas “kekejaman” ayahnya yang ia kira selama ini. Maka ia berkata kepada ayahnya dengan kasar,
“Hai tua bangka, enyahlah dari sini dan tetaplah di rumahmu agar isteriku tidak melihatmu. Aku tidak ingin direndahkan olehmu setelah kehormatan yang aku peroleh, dan aku tak ingin dijatuhkan martabatku dengan keberadaanmu sekarang. Saya ingin memberikan apapun kepadamu, asal kamu mau menjauh dari tempat praktek ini, bahkan aku akan memberikan apa yang kamu inginkan, tapi dengan syarat jangan kamu akui aku sebagai anakmu.”
Mendengar itu, berguncanglah tubuh ayah Wail karena menahan kemarahan dan kesedihan yang luar biasa. Semua harapannya sirna. Ia tak menyangka bahwa anaknya akan berubah 180 derajat. Maka, dengan serta merta sang ayah berkata,
“Semoga laknat Allah dan seluruh manusia me- nimpamu, juga kemurkaan Allah sampai hari kiamat, dan semoga kecelakaan menimpamu selama-lamanya. Sungguh, kami tidak membutuhkanmu lagi.”
Kemudian ia meludahi wajah anaknya untuk sedikit meringankan kepedihan hatinya.
Sang ayah segera pulang menemui isterinya dengan penun kesedihan yang luar biasa. Kesedihan telah merobek-robek hatinya. Kegagalan terukir jelas di kerut- kerut dahinya.
Sesampainya di rumah, ia memberitahu isterinya berita yang menyedihkan itu dengan air mata yang berurai di kedua pipinya. Kesedihan dan kedukaan sang ibu mendengar itu tidak kalah besarnya. Ia menangis tersedu mengungkapkan kesedihan dan kepedihannya.
Inilah hasil menyekolahkan anak ke negeri Barat yang jauh dari nilai-nilai akhlak. Kedua orang tua itu telah menuai apa yang telah mereka tanam, dan memperoleh balasan dari apa yang mereka lakukan. Akan tetapi sebuah keharusan bagi orang zalim menerima balasan dari kezalimannya. Maka apa gerangan balasan yang diterima Wail si anak durhaka itu?
Saat liburan, Wail bersama isterinya dengan mengendarai mobil keluar kota untuk berlibur. Saat berada di sebuah tikungan tajam, tiba-tiba mobil yang dikendarainya mundur, hingga oleng dan menimpa diri dan isterinya, dan keduanya mati seketika. Berita kematiannya itu pun disampaikan kepada kedua orang tuanya. Maka keduanya semakin yakin kepada Allah bahwa Ia tidak menolak doa orang yang terzalimi.
Akhirnya keduanya mewarisi semua kekayaan yang ditinggalkan putranya, Wail.