Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Hari itu, debu-debu Badar masih bergumpal-gumpal di udara. Angin gurun berhembus membawa hawa panas. Sisa -sisa pertempuran masih terlihat jelas. Jejak-jejak kuda perang perlahan tertutup pasir-pasir gurun.
Pria itu memacu kudanya sekencang mungkin. Padang Badar semakin lama semakin jauh. Ia adalah salah satu yang selamat dari kilatan pedang pasukan Rasulullah Saw. Tapi hari Badar itu menyisakan kesedihan mendalam di hatinya. Ia hanya pulang sendirian. Putra tercintanya menjadi tawanan kaum muslimin.
“Duhai, bagaimana gerangan keadaan putraku? Mungkinkah ia sedang mengalami penyiksaan tak terperi?” begitulah pertanyaan yang terngiang-ngiang di sepanjang perjalanannya ke Mekkah.
Pagi itu, tanpa disengaja ia bertemu dengan Shafwan bin Umayyah di depan Ka‟bah. Mereka sempat berbicara dan mengenang kepahitan yang mereka terima di padang Badar. Ah hatinya semakin gundah. Ia teringat putranya. “Jika saja aku tidak memiliki hutang yang banyak dan keluarga yang aku khawatirkan kesengasaraannya, aku pasti telah berangkat ke Yatsrib (Madinah) untuk membunuh Muhammad1” gumamnya dengan hati yang luka.
Sebuah kesempatan emas! Begitulah pekik Shafwan bin Umayyah mendengar keluhan pria itu. “Apakah engkau benar-benar ingin membunuh Muhammad?”
“Ya, jika saja aku tidak mempunyai beban seperti ini.”
“Kalau begitu aku akan menanggung semua pembayaran hutangmu dan biarlah keluargamu menjadi tanggunganku pula. Dan engkau tidak usah khawatir, selama aku masih hidup takkan kubiarkan mereka menderita, dan engkau berangkatlah ke Yatsrib, habisilah Muhammad dan bawa kembali putramu ke Mekkah.” Kata Shafwan bin Umayyah menawarkan.
“Benarkah apa yang engkau katakan itu?” tanya pria itu tak percaya.
“Ya, percayalah padaku.” Tegas Shafwan.
“Kalau begitu, jangan ada seorang pun yang tahu tentang kesepakatan kita ini. Hanya kita berdua; aku dan kau yang tahu hal ini,” pinta pria itu pada Shafwan.
“Engkau bisa memegang janjiku.” Jawab Shafwan.
Hatinya benar-benar terbakar api kebencian. Segalanya telah siap. Termasuk pedang yang telah dilumuri racun mematikan. Ia akan menikam Muhammad dengan pedang itu. Kaki kudanya kencang berderap. Perjalanan yang jauh tidak lagi dirasakannya. Setelah berhari-hari ia memacu kudanya, hari itu ia memasuki Yatsrib. Segera ia berjalan menuju masjid sang Nabi.
Tetapi dari bilik salah satu pintu masjid itu, Umar bin Khattab yang sedang duduk dengan para sahabat yang lain melihatnya. “Kurang ajar, orang itu adalah musuh Allah. Pasti ia datang dengan maksud jahat. Pergilah kalian dan jaga Rasulullah Saw.” ujarnya pada sahabat yang lain.
Tidak lama kemudian, Umar telah memegang leher pria itu. Tanpa banyak basa-basi, ia menyeretnya menemui Rasulullah Saw.
Melihatnya diperlakukan seperti itu, beliau berkata kepada Umar,
“Lepaskanlah dia, wahai Umar!”
Beliau kemudian mendekatinya.
“Mengapa engkau datang ke tempat ini?” tanya Rasulullah penuh selidik.
“Oh, pedang jelek ini. Alangkah buruknya ia. Ia tidak berguna sama sekali,” jawabnya seolah ingin menutupi tujuannya yang sesungguhnya.
“Jujurlah padaku, apa sebenarnya yang membuatmu ke sini?”
“Aku benar-benar hanya ingin meminta pembebasan putraku.”
“Tidak ! Bukankah engkau telah bersepakat dengan Shafwan bin Umayyah di depan Ka‟bah bahwa ia akan menanggung semua hutang dan keluargamu agar engkau dapat membunuhku? Namun, sayang sekali. Allah telah menghalangimu untuk melaksanakan niat itu”. Kata Nabi Saw. dengan mantap.
Mendengar penuturan Nabi yang begitu jelas, laki-laki itu terkejut bukan kepalang. Kata-kata tidak lagi bisa mengungkapkan betapa terhenyaknya ia. Bagaimana mungkin Muhammad bisa mengetahui kesepakatannya dengan Shafwan bin Umayyah? “Bukankah kami tidak ada yang mendengar pembicaraan itu? Dan kau telah sepakat untuk tidak membicarakannya dengan siapapun?” bisik hatinya penuh heran. Tidak mungkin. Pasti laki-laki yang di hadapannya bukan laki-laki biasa. Ia pasti benar-benar seorang Nabi dan bukan pendusta.
Saraf-saraf kesadarannya timbul, cahaya hidayah menerangi hatinya yang selama ini gelap. Padamlah kedendamannya, dan mengalirkan kecintaannya kepada Rasulullah. Ia sekarang benarbenar yakin, bahwa orang yang di hadapannya benar-benar kekasih Allah, utusan-Nya yang membawa kebenaran dan jalan
keselamatan. Maka keluarlah pengakuan dari mulutnya,
“Wahai Rasulullah, aku bersaksi bahwa engkau benar-benar utusan Allah. Sungguh, wahai Rasululullah, dahulu aku mendustakan berita langit yang engkau bawa, tapi kisahku dengan Shafwan tidak ada seorang pun yang tahu selain aku dan dia. Sekarang aku benar-benar yakin bahwa apa yang engkau bawa benar-benar dari Allah.”
Asyhadu alla ilaha ilallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.”
Pria Mekkah itu masuk Islam. Ya pria dengan pedang beracun yang mengekang tali kudanya dengan debu-debu padang pasir menuju Yatsrib itu…hanya untuk membunuh Muhammad hatinya takluk. Laki-laki itu tiada lain adalah Umair bin Wahab.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Energi_Cinta
#Dendam_Yang_Berujung_Cinta