khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
“Musa berkata kepada Khidir, ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab, ‘Sesungguhnya kamu sekali- kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ Musa berkata, ‘Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun’. Dia berkata, ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu’. (QS. Al-Kahfi [18]: 66-70)
Suatu hari Nabi Musa a.s. menjadi khatib di hadapan bani Israil, lalu ia ditanya, “Siapakah orang yang paling alim?” Nabi Musa a.s. menjawab, “Saya.” Kemudian Allah mencela Nabi Musa a.s. karena dia belum memberikan ilmu kepadanya. Allah Swt. lalu mewahyukan kepada Nabi Musa a.s., “Aku memiliki seorang hamba yang tinggal di pertemuan dua laut. Dia lebih alim daripada kamu.”
Berangkatlah Nabi Musa a.s. dengan saudaranya, Yusya’ bin Nûn. Ketika keduanya sampai di sebuah batu besar, mereka melihat seseorang yang sedang merapikan pakaiannya. Nabi Musa a.s. mengucapkan salam kepadanya dengan ucapannya, “Aku datang kepada engkau, dengan harapan engkau sudi mengajariku apa-apa yang telah diajarkan kepada engkau berupa ilmu yang benar.”
Nabi Khidir a.s. menetapkan syarat kepada Nabi Musa a.s. agar tidak bertanya tentang apa pun hingga Nabi Khidir a.s. sendiri yang akan menjelaskannya. Berlalu sebuah bahtera yang mengangkut mereka. Nabi Khidir a.s. mencopot sebuah papan kapal, namun Nabi Musa a.s. tidak setuju. Nabi Khidir a.s. lalu mengingatkan Nabi Musa a.s. akan janjinya, Nabi Musa a.s. pun meminta maaf. Keduanya lalu keluar dari bahtera. Nabi Khidir a.s. melihat seorang anak yang sedang bermain bersama anak-anak sebayanya yang lain, kemudian Nabi Khidir a.s. membunuhnya. Nabi Musa a.s. menentang apa yang dilakukan Nabi Khidir a.s. dengan lebih keras daripada penolakannya pada kejadian yang pertama, maka Nabi Khidir a.s. mengingatkan Nabi Musa a.s. akan janjinya. Nabi Musa a.s. pun terdiam dengan menahan kesedihannya. Nabi Musa a.s. berjanji bahwa dirinya bersedia—jika bertanya yang ketiga kalinya mengakhiri kebersama-annya dengan Nabi Khidir a.s.
Mereka masuk ke suatu kampung. Mereka meminta makanan kepada penduduk kampung itu, namun mereka menolak. Nabi Khidir a.s. melihat dinding yang miring, ia pun memperbaikinya. Nabi Musa a.s. berkata kepadanya, “Tidakkah engkau meminta upah perbaikan dinding?” Nabi Khidir a.s. menjawab, “Habislah masa kebersamaan.”
Nabi Khidir a.s. lalu menjelaskan semua kejadian yang mengundang keheranan Nabi Musa a.s. Ia mencopot papan sebuah kapal agar tidak dirampas oleh seorang raja yang zalim. Anak yang ia bunuh adalah seorang anak kafir, sedangkan kedua orang tuanya adalah orang mukmin. Nabi Khidir a.s. khawatir jika kecintaan keduanya kepada anaknya akan membawa keduanya kepada agama anaknya.
***
Kalau kita mengamati tentang perbuatan yang dilakukan Nabi Khidir a.s., melubangi perahu, membunuh seorang anak dan meluruskan dinding rumah yang mau roboh tanpa meminta upah, semuanya merupakan ‘ciri khas’ dari tindakan Allah Swt. kepada manusia karena dilakukan tanpa bisa dilihat penyebabnya oleh kita. Kalaulah kita berimajinasi berada pada posisi Nabi Musa
a.s. waktu itu, adalah hal yang wajar kalau kita juga akan mengajukan pertanyaan dan protes mengapa Nabi Khidir
a.s. melakukan tindakan yang tidak berdasar tersebut. Apa reaksi Anda ketika melihat teman Anda dengan tanpa sebab membunuh seorang manusia yang kebetulan lewat di depan Anda..? Apa sikap Anda ketika mendapati seorang teman yang dengan sengaja merusak sebuah alat pencari nafkah seperti perahu sehingga membahayakan penumpangnya, tanpa alasan yang jelas?
Ketika Allah Swt. ‘memindahkan’ perbuatan-Nya kedalam perbuatan seorang manusia, maka seolah-olah Dia mau memberitahukan kita bagaimana nyatanya tindakan Allah Swt. dalam kehidupan. Allah Swt. menggambarkan bahwa tindakan seorang manusia yang diberi ‘sedikit’ kemampuan ilmu Allah untuk melihat hikmah dibalik suatu kejadian yang ditetapkan, akan ‘mengusik’ kesabaran kita sehingga membuat kita mengajukan pertanyaan yang bernada menggugat dan memprotes.
Apakah Anda mengetahui kalau apa yang dilakukan Nabi Khidir a.s. di sepanjang perjalanan, sebenarnya suatu kejadian yang sangat akrab yang bisa kita temukan dalam kehidupan kita sehari-hari..? Berapa kali Anda pernah merasakan ketika Allah Swt. tiba-tiba ‘melubangi’ perahu Anda, mengempiskan rezeki, membangkrutkan usaha, memunculkan kerugian, mendatangkan kesengsaraan, nestapa dan penyakit, menciptakan keresahan, kegundahan dan ketakutan. Apa reaksi Anda ketika menghadapi semuanya..? Saya pikir, apa yang dilakukan Nabi Musa a.s. sangatlah wajar dan manusiawi, dan saya beranggapan bahwa sangat wajar dan manusiawi juga kalau Anda akan melontarkan pertanyaan yang sama: Mengapa? Lalu, apa reaksi Anda kalau pada saat menetapkan ketetapan-Nya tersebut ternyata Allah Swt. memberitahukan apa alasannya? Apa yang akan dilakukan Nabi Musa a.s. kalau pada saat Nabi Khidir a.s. melubangi perahu, beliau memberitahukan apa alasannya? Saya pastikan bahwa Anda akan melakukan sujud syukur dan berterima kasih dalam- dalam. Apa yang akan Anda perbuat ketika Allah Swt. mendatangkan penyakit dan kesengsaraan sekaligus dengan menjelaskan bahwa Dia melakukan hal tersebut karena kasih-sayang-Nya kepada Anda? Bahwa Allah Swt. bermaksud menyelamatkan Anda dari keadaan yang lebih buruk yang bisa membuat Anda semakin menjauh dan tersesat? Anda akan bertindak seperti orang gila karena Anda akan berteriak keras-keras, “Alhamdulillâh yâ Allâh…, Engkau telah mendatangkan kesengsaraan buat saya, saya mohon kalau bisa datangkanlah kesengsaraan yang lebih hebat lagi..”, tetangga Anda yang mendengar teriakan Anda tersebut akan menganggap Anda sudah tidak waras karena mengira Anda sudah tidak tahan menanggung kesengsaraan Anda tersebut.
Saya pastikan bahwa Anda pernah mengalami saat Allah Swt. mengambil nyawa orang-orang dekat Anda yang sangat Anda cintai, bahkan mungkin dengan mendadak dan tidak Anda perkirakan sebelumnya, persis seperti perbuatan Nabi Khidir a.s. membunuh seorang anak yang kebetulan lewat di depannya. Saya pastikan bahwa di saat Anda mengalami musibah tersebut Anda tidak tahu apa alasannya, lalu bertanya: mengapa? Apa sikap yang akan Anda demonstrasikan kalau pada saat Allah Swt. ‘mewafatkan’ orang-orang terdekat Anda, Dia mem- beritahukan bahwa itu dilakukan untuk menyelamatkan Anda dan sekaligus nasib orang yang Anda cintai tersebut? Lalu Dia memunculkan perasaan yang nyata dalam diri Anda tentang akibat yang akan Anda terima nantinya? Apa yang akan Anda perbuat kalau disaat Allah Swt. melenyapkan nyawa orang terdekat Anda, Dia lalu mendatangkan keyakinan dalam hati bahwa itu dilakukan karena kasih sayang-Nya bagi Anda? Anda mungkin akan melompat-lompat kegirangan, sehingga rekan-rekan di sekeliling Anda akan menganggap Anda sudah ‘miring’ karena tertekan mendapat musibah.
Setelah menyampaikan kisah kejadian yang berbau ‘kesengsaraan dan keburukan’, Allah Swt. mengakhirinya dengan menceritakan kejadian tentang kebaikan. Nabi Khidir a.s. melakukan kebaikan dengan menegakkan dinding rumah yang hampir roboh tanpa meminta upah, padahal mereka pada kondisi ingin mendapat makanan dan jamuan, kalaulah beliau mau meminta upah atas kebaikan yang dilakukan, maka tentu saja upah tersebut bisa dipergunakan untuk mendapatkan makanan. Bahkan kebaikan terhadap penduduk kota yang kikir tersebut dilakukan Allah Swt. melalui tangan anak-anak seorang penduduk yang saleh, yang telah meninggal dunia. Apa yang akan Anda lakukan kalau Anda diberitahu oleh Allah Swt. tentang manfaat kebaikan yang ditetapkan-Nya, berupa rezeki yang disiapkan untuk Anda sekalipun lingkungan Anda banyak melakukan kemungkaran dan kemaksiatan, hanya karena adanya perbuatan baik dari seorang penduduk yang sudah mati, dan itu dilakukan-Nya tanpa meminta imbalan apapun?
Satu kata yang bisa digunakan untuk merangkum ketiga kejadian ini: kesabaran. Hal ini berlaku pada perundingan antara Nabi Khidir a.s. dan Nabi Musa a.s., kejadian-kejadian yang terjadi sepanjang perjalanan, dan penjelasan nabi tentang tingkah lakunya. Ketika kita membaca cerita ini secara keseluruhan, kita menemukan bahwa kesabaran tidak bergantung pada jenis kejadian yang kita hadapi; kita bisa mengalami kebahagiaan atau kesedihan, kemiskinan atau kekayaan, atau kemalangan. Sebaliknya, kesabaran adalah sesuatu yang harus kita praktikkan, dan apa pun yang terjadi pada kita, gagasan bahwa ini semua bermanfaat bagi kita dan bahwa Allah SWT dengan tulus menunjukkan kasih sayang-Nya kepada kita harus tertanam dalam pikiran kita. Kemampuan kita untuk menyimpan gagasan ini di dalam hati kita dan menanggapinya dengan penuh syukur, apa pun yang terjadi pada kita, menguji kesabaran kita. Bertanya “mengapa” juga menunjukkan ketidaksabaran kita, yang menjadi tolak ukur keimanan kita terhadap kasih sayang Allah SWT, yang memang sudah terpuruk hingga ke inti semua yang terjadi dalam hidup kita. Alternatifnya, Anda bisa mengatakan sesuatu yang lebih pelan seperti, “Aku tahu semua ini pasti ada manfaatnya bagiku, tapi aku hanya tidak mengerti…” Ungkapan ini juga secara halus menyampaikan bagaimana perasaanmu saat beriman kepada cinta Allah SWT. mulai berkurang. Terlepas dari pemahaman kita tentang penyebab kejadian tersebut, yang kita tahu hanyalah satu kalimat yang tertanam dalam hati kita:
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’” (QS. Ali Imran [3] :191)
Mungkin Anda sudah familiar dengan kelakuan anak kecil saat ayahnya memukulinya, mungkin karena kelakuannya yang membuat sang ayah kecewa. Balita tersebut justru semakin memeluk kaki ayahnya sambil memohon ampun usai dipukul. Pelukan anak itu dan tangisan minta maafnya semakin kuat dan mendesak seiring dengan setiap pukulan. Sang anak percaya bahwa hanya ayahnya yang bisa menyelamatkannya dari penderitaan tersebut, padahal sang anak juga percaya bahwa ayahnyalah yang menjadi sumber rasa sakitnya. Apa yang akan kamu lakukan bila Allah SWT. berulang kali “mengalahkan” Anda dengan suka dan duka? Apakah Anda akan berusaha lari atau malah membungkukkan badan dalam shalat, ‘mencengkeram kaki’ Allah SWT, memeluk-Nya erat-erat, lalu memohon ampun kepada-Nya, atau malah berbalik dan bersyukur kepada-Nya? Jika itu yang Anda lakukan, maka Anda mungkin sedang menunjukkan keyakinan Anda yang teguh pada saat itu juga, yaitu keyakinan yang berasal dari kesabaran Anda.