Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Apa yang akan kita simak pada lembaran ini adalah kisah tentang sosok „manusia-manusia langit‟. Manusia yang hanya berobesi meraih surga dan meraih kemasyhuran di langit. Dikenal di hadapan Allah dan para malaikat-Nya. Walau tak seorang pun manusia yang mengenalnya di dunia.
Apa yang akan kita baca adalah kisah mempesona. Jika kita baca akan membuat jiwa kita miris dan merasa masih jauh dari Allah, jauh dari surga-Nya dibanding mereka yang jiwanya telah membumbung ke langit, walau kakinya terpijak di bumi. Sebab yang kita punya hanyalah jiwa-jiwa dunia.
Kota Bashrah bukan hanya pusat bisnis kota, tapi kota ini juga terkenal sebagai salah satu pusat ilmu. Jika Anda ingin belajar dan mendalami beraneka ragam disiplin ilmu, maka Bashrah adalah tempat yang tepat untuk itu.
Adalah masjid, dalam tradisi Islam merupakan tempat yang sangat tepat untuk mendalami berbagai ilmu. Bila Anda mendatangi mendatangi masjid manapun di kota Bashrah, hampir bisa dipastikan Anda akan menemukan halaqah „ilmiyah di sana.
Hari itu hari Jum‟at. Seorang alim bernama Ibrahim bin Syabib bin Syaibah sedang duduk bermajlis dengan beberapa rekannya. Pembahasan demi pembahasan mereka kaji dan bahas. Hingga tanpa mereka sadari ada seorang pria datang ke majelis itu dan setelah meminta izin, ia ikut duduk bersama mereka. Mereka sama sekali tidak mengenal pria ini sebelumnya.
Pria itu kemudian menyampaikan masalah demi masalah, kajian demi kajian dalam majlis itu. Mereka semua kemudian larut dalam keayikan pembahasan Fiqih yang dipaparkan tamu itu. Pemaparan pria asing itu membuat mereka kagum. Nampak benar bahwa ilmunya begitu mendalam dan mengakar.
Keasyikan ilmiah itu pun berakhir. Mereka berpisah untuk kembali berjumpa pada Jum‟at yang akan datang.
Waktu berlalu begitu cepat. Tak seorang pun yang kuasa menahannya. Sebab Allah-lah yang menggilirkan hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan dan demikian seterusnya. Hari Jum‟at pun datang ke hadapan mereka. Seperti pekan sebelumnya, hari itu Ibrahim bin Syabib kembali berjumpa dengan para sahabatnya dalam sebuah majlis ilmiah. Tak terkecuali „pria asing‟ itu. Tamu yang membuat mereka kagum. Hari itu majlis yang tercipta pada pekan lalu kembali hadir. Mereka tenggelam dalam dalam keasyikan ilmiah yang dalam. Dan lagi-lagi „pria asing‟ itu bintangnya.
Mereka yang hadir semakin penasaran ingin mengenal lebih jauh siapa sebenarnya pria asing itu.
“Bila Tuan tidak keberatan, bisakah Tuan memberitahukan di mana Anda tinggal?” tanya Ibrahim.
“Oh, aku tinggal di sebuah tempat bernama Al-Harbiyyah,” jawab pria itu.
“Kalau boleh kami ingin mengetahui kunyah Anda,” pinta mereka lagi.
“Panggil saja aku Abu Abdillah,” jawab pria itu seraya tersenyum.
Dari jawabannya, tampak jelas bahwa ia tidak ingin terlalu dikenal. Orang itu tidak perlu terlalu banyak tahu tentang dirinya.
Yang pasti, mereka semua sepakat untuk melanjutlkan majlis itu. Mereka tidak ingin menyia-nyiakan majlis yang dipenuhi ilmu itu hilang begitu saja. Dan Jum‟at-Jum‟at berikutnya kemudian selalu saja menjadi saat-saat yang dinantikan dengan luapan kebahagiaan dan kerinduan.
Hingga suatu ketika, majlis itu kehilangan seorang Abu Abdillah. „Pria asing‟ itu hari itu tidak hadir. Apa sebabnya, mereka juga tidak mengetahuinya.
“Entah bagaimana lagi majlis kita ini. Ketika Abu Abdillah ada, terasa sekali majlis ini begitu meng-gembirkan. Namun, kini saat ia tidak hadir, rasanya begitu suram majlis ini,” keluh Ibrahim bin Syabib.
“Iya juga, kita rasanya kehilangan beliau.” Sahut mereka.
Maka mereka sepakat untuk mencari Abu Abdillah. Besok pagi mereka akan berangkat bersama untuk mencarinya.
Keesokan paginya, mereka pun berjalan bersama menuju tempat bernama Al-Harbiyyah. Begitulah Abu Abdillah menyebut di mana ia tinggal. Namun, setibanya di sana, entah mengapa mereka merasa malu dan segan untuk menanyakan tentang seseorang yang bernama Abu Abdillah itu. Hingga akhirnya, di kejauhan mereka melihat sekumpulan anak-anak baru saja keluar dari Al-Kuttab. Mereka sepakat untuk menanyakannya kepada anak-anak itu.
“Apakah kalian mengenal seorang pria bernama Abu Abdillah?” tanya Ibrahim pada anak-anak itu.
“Hmm, maaf Pak, mungkin yang Bapak maksud adalah AshShayyad itu?” jawab salah seorang anak.
“Iya, mungkin dialah yang sedang kami cari,” kata Ibrahim.
“Kalau dia yang Bapak maksud, maka tunggulah sebentar lagi, biasanya saat-saat seperti inilah ia muncul,” ujar anak itu lagi.
“Terimakasih, Nak.”
“Sama-sama, Pak.”
Mereka pun duduk menunggu. Tak lama kemudian tampak dari jauh „pria asing‟ itu berjalan ke arah mereka. Ia tampak benar-benar seorang pemburu. Sambil berjalan, kedua tangannya menenteng beberapa ekor burung yang sudah disembelih maupun yang masih hidup. Pakaian yang dikenakannya benar-benar berbeda dengan pakaian yang ia pakai ketika hadir dalam majlis. Terlalu sederhana.
Dari kejauhan, ia tampak tersenyum. Dan ketika ia telah tiba di dekat mereka, „pria asing‟ itu bertanya,
“Apa yang membuat kalian jauh-jauh datang ke sini?”
“Kami merasa kehilanganmu. Engkau telah meramaikan majlis kami selama ini. Lalu tiba-tiba saja engkau tidak hadir. Ada apa, wahai Abu Abdil-lah?” tanya Ibrahim bin Syabib.
“Baiklah. Aku harus berterus terang kepada kalian. Selama ini, kami punya seorang tetangga. Darinyalah aku bisa meminjam pakaian yang kukenakan untuk hadir di majlis kalian. Namun tetangga kami itu adalah orang asing di sini. Dan suatu hari, ia pergi meninggalkan kampung ini dan pergi ke kampung halamannya. Sepeninggalnya aku tidak lagi punya pakaian untuk hadir di majlis kalian,” kisahnya. “Ah, sudahlah itu tak perlu jadi masalah. Bila kalian bersedia, maukah Anda semua masuk ke rumahku dan menyantap rizki yang diberikan Allah ini?” ujarnya menawarkan seraya tersenyum gembira.
“Baiklah. Kami tidak mungkin menolak undanganmu,” jawab Ibrahim bin Syabib.
Mereka pun masuk ke rumah yang sesungguhnya lebih tepat disebut gubuk. Dengan cekatan ia mem-bentangkan sebuah alas tikar yang sudah begitu kasar dan tua. Ibrahim bersama kawankawannya pun duduk diatasnya.
“Maaf, aku ada perlu sebentar. Tolong tunggu ya. Aku akan segera kembali, insya Allah,” ujar lelaki itu sembari membawa hasil tangkapannya dan menyerahkannya kepada istrinya. Kemudian ia keluar kembali meninggalkan rumah. Ia pergi ke pasar untuk membeli beberapa potong roti.
Tidak lama kemudian hidangan itu pun siap. Mereka makan dengan lahapnya, sementara Abu Abdillah sibuk melayani mereka. Bolak-balik menyiapkan semuanya dari dapurnya. Dan setiap ia menghilang ke dapur, para tamu itu saling memandang satu sama lain. Mereka saling paham bahwa rumah ini dengan segala perabot dan isinya begitu sederhana.
“Mengapa kita tidak membantunya agar ia bisa memperbaiki isi rumahnya? Bukankah kalian semua termasuk orang terpandang di Bashrah ini?” ujar Ibrahim mengusulkan kepada teman-temannya. Salah seorang mereka berkata, “Kalau begitu aku akan memberinya 500 dirham.”
Mendengar itu yang lain mengatakan, “Aku akan memberinya 300 dirham.” Begitulah seterusnya hingga akhirnya terkumpul sekitar 5000 dirham. Nampaknya, saat itu Abu Abdillah sedang keluar ke pasar.
“Ayo kita pergi mencarinya lalu memberikan uang ini padanya agar ia segera mengganti isi rumahnya,” ujar Ibrahim.
Mereka pun berdiri dan keluar mencari Abu Abdillah di pasar. Namun, ketika mereka berjalan ke pasar, ternyata di tempat itu sang gubernur Bahsrah, Muhammad bin Sulaiman juga sedang berada di situ. Gubernur yang satu ini dikenal sebagai gubernur yang cukup kejam. Bila sudah memerintahkan se-suatu maka harus dilaksanakan. Jika tidak, bahaya besar telah menanti.
Saat rombongan Ibrahim lewat melintasi pasar itu, tanpa sengaja gubernur melihat mereka. Ada sesuatu yang nampaknya luar biasa. Gubernur me-lihat itu dari gerak-gerik mereka. Ia pun segera memerintahkan kepada pengawalnya, “Segera kau panggilkan Ibrahim bin Syabib dalam rombongan itu untuk menghadapku.”
Ibrahim bin Syabib pun menghadap gubernur. Sang gubernur ternyata dapat membaca bahwa sesuatu sedang terjadi. Maka Ibrahim bin Syabib pun tidak punya pilihan lain selain menceritakan hal yang sebenarnya. Usai menyimak semuanya, sang gubernur berkata,
“Aku harus mendahului kalian untuk membantu orang itu. Wahai pengawal, bawakan padaku sekantong dirham dan karpet permadani. Kemudian setelah itu bawakan barang-barang itu bersama orang ini lalu berikan kepada Abu Abdillah.”
Ibrahim begitu gembira. Segera saja ia kembali ke rumah Abu Abdillah. Setelah mengetuk pintu rumah dan mengucapkan salam, Ibrahim tidak perlu terlalu lama menunggu Abu Abdillah. Segera saja ia muncul di balik pintu. Namun ia sungguh-sungguh terkejut. Ia melihat seorang pengawal gubernur yang membawa sekantong dirham dan permadani. Raut muka Abu Abdillah berubah dalam sekejap. Seolah-olah Ibrahim baru saja melemparkan pasir dan debu di wajahnya. Ia begitu nampak sangat marah.
“Ada urusan apa engkau dan pengawal itu denganku? Apakah engkau ingin menimpakan musibah atau fitnah kepadaku?” ujarnya sangat marah.
“Wahai Abu Abdillah, mohon dengarkan dulu penjelasanku. Gubernur memanggilku dan aku pun terpaksa menceritakan apa yang terjadi, dan engkau tahu ia adalah orang yang sangat keras.
Aku khawatir bila engakau tidak menerimanya, gubernur akan sangat marah dan murka,” jelas Ibrahim bin Syabib.
Namun Abu Abdillah menjadi semakin marah. Ia berdiri dan masuk ke dalam rumahnya sembari membanting pintu sangat kerasnya.
Ibrahim sangat terperangah. Entah apa yang harus ia perbuat. Ia bingung apa yang harus ia kata-kan kepada sang gubernur tentang hal ini. Tetapi, ia tidak punya pilihan lain. Ia harus menyampaikan apa adanya kepada gubernur.
Ketika gubernur mendengar hal itu, ia sangat marah. Ia segera memerintahkan pengawalnya untuk memenggal leher Abu Abdillah karena telah melecehkan budi baiknya. Namun, Ibrahim bin Syabib mencoba meredam murka sang gubernur,
“Wahai Tuan Gubernur, biar saya jelaskan kembali kepada Abu Abdillah, barangkali ia sudah berubah pikiran.”
Ibrahim pun kembali mendatangi rumah Abu Abdillah. Namun apa yang terjadi? Di depan pintu rumah itu, ia mendengar suara isak tangis seorang wanita. Itu pasti istri Abu Abdillah. Setelah meminta izin untuk masuk, Ibrahim pun bertanya,
“Wahai Ummu Abdillah, apa yang telah terjadi, kenapa engkau menangis?”
“Begini wahai Ibrahim. Ketika engkau telah pergi, ia masuk ke rumah dengan sangat marah, ia lalu menuju bejana tempat air itu, lalu mengambil air wudhu. Tetapi tidak lama sesudah itu, aku mendengarnya berdoa: “Ya Allah, panggilkan aku ke sisi-Mu dan janganlah Engkau menimpakan musibah dan fitnah dunia padaku.” Ia lalu merebahkan tubuhnya seraya tetap mengucapkan kalimatkalimat itu. Dan tak lama kemudian ia pun meninggal dunia.”
Mulut Ibrahim terkunci rapat. Tiada kata bahkan huruf keluar. Ia hanya berjalan gontai keluar seraya tertunduk dan menitikkan air mata. Ia lalu menyampaikan kepada sang gubernur bahwa Abu Abdillah telah meninggal dunia.
Mendengar berita kematian Abu Abdillah, kemarahan sang gubernur pun hilang tak bersisa. Ia bahkan berkata, “Aku akan segera berangkat sekarang untuk menyalatkan jenazah pria ini.”
Berita itu entah bagaimana menyebar sangat cepat ke penjuru kota Bashrah. Hampir semua penduduk kota itu berbondongbondong menyalatkan jenazah Abu Abdillah yang hingga hari ini belum kita ketahui nama yang sebenarnya.
Abu Abdillah memang hanya seorang pemburu sederhana. Namun kemasyhuran dan dunia menjadi dua hal yang paling ditakutinya. Hingga ia benar-benar pergi menghadap Tuhannya. Jiwanya sungguh jiwa langit. Begitu tinggi, dan terlalu tinggi. Walaupun kakinya berpijak di bumi, namun citanya jauh menembus akhirat dan ruhnya menembus lorong-lorong surga.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#One_Hour_Awardness
#Cintanya_Jauh_Menembus_Akhirat