Digindonews.com — Pada Jum’at, 24 Oktober 2025, Forum Diskusi Publik bertajuk “Amankan Diri dan Sesama di Ruang Digital” menghadirkan dua narasumber, yakni Gun Gun Siswadi (praktisi komunikasi) dan Didi, S.E., M.Ak., CA., AWM., Cert.IFR., CRMO., AWP. (pegiat literasi digital).
Keduanya menyoroti pentingnya kesadaran etika, budaya komunikasi, dan kecerdasan digital di tengah derasnya arus informasi serta meningkatnya ancaman kejahatan siber di Indonesia.
Gun Gun Siswadi menekankan bahwa keamanan digital bukan hanya soal teknis, tetapi juga menyangkut nilai, etika, dan budaya komunikasi. Ia mengingatkan bahwa setiap pengguna internet adalah “penerbit” sekaligus “penyebar pesan”, sehingga tanggung jawab moral terhadap konten yang disampaikan menjadi hal yang tak bisa diabaikan.
“Ruang digital seharusnya menjadi wadah produktif dan kolaboratif, bukan tempat menyebar hoaks dan ujaran kebencian,” ujar Gun Gun. Ia juga menyoroti maraknya fenomena deepfake, yaitu rekayasa visual dan suara menggunakan AI yang bisa digunakan untuk manipulasi dan penipuan. Menurutnya, masyarakat harus dilatih untuk lebih kritis dalam memverifikasi sumber informasi dan membatasi penyebaran data pribadi.
Ia menambahkan empat kemampuan utama dalam menghadapi tantangan era digital, yakni berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif. “Literasi digital bukan hanya tameng terhadap hoaks, tetapi juga sarana membangun citra positif bangsa,” jelasnya.
Sementara itu, Didi, S.E., M.Ak., CA., AWM., Cert.IFR., CRMO., AWP. menyoroti meningkatnya kejahatan siber di Indonesia. Berdasarkan data Bareskrim Polri, kasus kejahatan siber naik dari 8.636 kasus pada 2022 menjadi 13.913 kasus pada 2024, dengan lebih dari 2,4 miliar serangan siber terjadi hanya dalam enam bulan pertama tahun 2024.
“Jenis kejahatan paling banyak adalah penipuan online, disusul ancaman kekerasan, pencemaran nama baik, dan pencurian identitas,” paparnya.
Ia menekankan pentingnya menjaga tiga pilar keamanan digital: perangkat, data pribadi, dan jejak digital. “Gunakan kata sandi kuat, aktifkan verifikasi dua langkah, hindari Wi-Fi publik, dan jangan pernah membagikan kode OTP kepada siapa pun,” tegasnya.
Didi juga menyoroti fenomena sharenting, yaitu kebiasaan orang tua membagikan foto anak di media sosial. “Tindakan ini terlihat sepele, padahal bisa membahayakan anak dari sisi privasi maupun keamanan,” ujarnya.
Kedua narasumber sepakat bahwa literasi digital harus menjadi gerakan sosial yang dimulai dari keluarga dan lingkungan sekitar. Masyarakat perlu memperkuat empat pilar literasi digital—Digital Skill, Digital Culture, Digital Ethics, dan Digital Safety—sebagai fondasi untuk menciptakan ruang digital yang aman, sehat, dan beretika.
Dalam forum yang diselenggarakan pada Jum’at, 24 Oktober 2025 ini, para peserta juga diajak menjadi pelopor perubahan dengan menerapkan etika dan empati dalam setiap interaksi di dunia maya.
“Keamanan digital bukan hanya soal melindungi perangkat, tapi tentang membangun peradaban baru yang beradab di dunia maya,” tutup Didi. “Ketika kita mampu menjaga diri dan sesama, maka kita sedang membangun ruang digital yang manusiawi bagi semua.”***


