
Reformasi menjadi titik tolak perubahan kebijakan otonomi daerah di Indonesia ke arah yang nyata. Perubahan Orde Baru ke Era Reformasi secara langsung memberikan dampak bagi daerah untuk menikmati otonomi daerah yang sesungguhnya.
Pada masa Orde Baru, pemerintahan daerah terkekang dengan Pemerintahan Pusat. Sebab dalam menjalankan kebijakan Pemerintah Daerah bertangungjawab penuh kepada Pemerintah Pusat.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Universitas Nasional, Dr Hamrin, otonomi daerah paska reformasi semakin kuat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Atas Undang-Undang ini, asas desentralisasi dilaksanakan di kabupaten/kota dan telah terang benderang memberikan keleluasaan penuh kepada daerah untuk mengurus ‘rumah tangganya’ sendiri.
“Implementasi dari Undang-Undang Nomor 22 isi di lihat dari keleluasan daerah untuk berprakarsa sendiri secara relatif mandiri dalam mengatur dan mengurus kepentingannya,” kata Hamrin, Kamis (21/11/2024).
Ia menyatakan, lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan luas kepada daerah dalam melakukan pemekaran daerah. Utamanya pada prinsip otomomi yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab.
Kewenangan dimaksud dengan otonomi yang seluas-luasnya adalah daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengelola rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Disebutkan juga bahwa Pemerintahan Pusat dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah sejak tahun 1999, dalam pembentukan daerah otonomi mulanya diilhami Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945.
“Bahwa Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah Kanupaten, dan Kota mengurusi sendiri urusan pemerintahan menurut asas dan tugas pembantuan,” pungkas Hamrin.
*Harus Memenuhi Syarat
Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Konstitusi (PusDeKon) itu menegaskan prosesur pembentukan daerah otonomi baru khususnya pembentukan Kabupaten/Kota dengan cara pemekaran wilayah (daerah).
Dalam pemecahan Kabupaten/Kota menjadi dua daerah atau lebih, maka Kabupaten/Kota Induk yang akan mekar harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan,” kata dia.
Syarat Administrasi Pembentukan Daerah Kabupaten/Kota tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007.
Pertama, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota Induk tentang persetujuan pembentukan calon Kabupaten/Kota.
Kedua, Keputusan Bupati/Walikota Induk tentang persetujuan pembentukan calon Kabupaten/Kota. Ketiga, Keputusan DPRD Provinsi tentang persetujuan pembentukan calon Kabupaten/Kota.
Keempat, Keputusan Gubernur tentang persetujuan pembentukan calon Kabupaten/Kota; dan Kelima, Rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
Di sisi lain, lanjut Dr Hamrin, pembentukan Daerah Kabupaten/Kota juga harus memenuhi syarat teknis. Mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, dan sosial politik.
“Selanjutnya menyangkut faktor kependudukan, luas daerah, pertahanan dan faktor keamanan juga menjadi syarat yang harus di perhatikan,” jelas pria kelahiran Muna, Sulawesi Tenggara itu.
Namun lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, maka Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 otomatis tidak berlaku sebagai syarat pemekaran daerah.
Begitu pula Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007, sudah sepatutnya diganti dengan aturan yang baru agar arah pemekaran daerah benar-benar mampu menjawab kesejahteraan masyarakat.
“Bukan sebaliknya, menjadi ajang perlombaan karena pemekaran daerah menyangkut kepentingan bangsa dan negara,” demikian Dr Hamrin.