
Di tengah dinamika kampus yang semakin kompleks, mahasiswa kini mulai mempertanyakan ulang makna keberadaan organisasi eksternal seperti HMI. Bagi sebagian orang, HMI tak lagi menjadi simbol perjuangan intelektual seperti yang digambarkan dalam sejarahnya. Justru, banyak mahasiswa melihatnya sebagai organisasi yang terlalu politis, penuh hierarki, dan kerap kali terjebak dalam kepentingan pribadi. Idealisme yang selama ini digaungkan, bagi mereka, terasa seperti slogan kosong jauh dari kenyataan di lapangan.
Sebagai generasi yang tumbuh dalam era keterbukaan informasi, mahasiswa kini lebih kritis, bahkan skeptis. Mereka tak lagi mudah percaya pada narasi besar atau romantisme sejarah tanpa melihat realitasnya secara langsung. Tapi benarkah anggapan miring itu selalu berdasar pada pengalaman pribadi? Ataukah lebih banyak dibentuk oleh opini publik, viralnya kasus-kasus negatif, atau asumsi yang menyebar di media sosial?
Memang, kita tak bisa menutup mata dari fakta bahwa HMI punya sejarah panjang dalam dunia pergerakan. Banyak tokoh penting bangsa lahir dari proses kaderisasi organisasi ini. Tapi realitas zaman terus berubah, dan sayangnya, tidak semua organisasi mampu mengikuti perubahan itu. Isu-isu kontemporer seperti lingkungan, digitalisasi, hingga inklusivitas sering kali luput dari perhatian. Tak sedikit mahasiswa yang merasa bahwa HMI terlalu sibuk menjaga warisan masa lalu, tapi kurang relevan dengan persoalan hari ini.
Namun begitu, saya percaya bahwa tidak adil jika kita hanya menilai sebuah organisasi dari sisi negatifnya saja. HMI seperti organisasi lain diisi oleh orang-orang dengan berbagai karakter. Ada memang yang membuat citra organisasi tercoreng, tapi banyak juga kader yang bekerja dalam senyap: berdiskusi, mengabdi, dan tetap menjunjung nilai keislaman dan keindonesiaan dengan sungguh-sungguh. Hanya saja, kisah-kisah baik seperti ini jarang sekali terdengar.
HMI bukan organisasi yang sempurna, dan memang tak perlu jadi sempurna. Yang lebih penting adalah keberanian untuk terus mengevaluasi diri dan membuka ruang bagi kritik.Bagi mahasiswa yang masih peduli pada nilai-nilai idealisme, mungkin sekarang saatnya tidak hanya mengkritik dari luar, tapi juga mulai membuka ruang dialog dan keterlibatan aktif. Karena ketika semua hanya sibuk saling menyalahkan, maka ruang transformasi itu akan hilang. Dan organisasi seperti HMI akan terus berjalan, tapi kehilangan relevansinya bukan karena tak punya sejarah, tapi karena gagal menjawab masa depan.