DigIndonews.com– Hal ini dimulai dengan Standing Point Eji Aminullah bahwa sejak awal berdirinya negara Indonesia, indonesia merupakan negara yang bersifat rechstsstaat (negara hukum dan konstitusional) bukan machtstaat (negara kekuasaan) atau state of power apalagi Obrigkeitsstaat (negara yang didasarkan pada penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang), maka dari itu hukum dan pelaksanaannya menjadi salah satu dasar dan kesimpulan baik buruknya suatu negara. Namun lagi-lagi melihat situasi, polemik dan dinamika politik antar lembaga saat ini, tampaknya amanah konstitusi hanyalah dirasakan sebagai retorika dan daftar sajian semu (terlihat kosong dan bohong) dari pada sebagai perintah konstitusi yang imperatif (mengharuskan) kepada para penyelenggara negara.
Eji Aminullah selaku Ketua Bidang Demokrasi dan Politik BADKO HMI Sumatera Utara mengatakan bahwa para elit politik harusnya sadar dan bersikap adil sejak dalam pikiran mereka sehingga dalam menggunakan kekuasaannya, setiap pengambilan keputusan harus berdasarkan prinsip demokrasi yang konstitusional dengan transparan serta melibatkan partisipasi publik melalui seluruh elemen atau lapisan masyarakat sehingga tidak menimbulkan reaksi kekecewaan pada lembaga trias politika seperti yang terjadi pada DPR RI saat ini melalui upaya sepihak dan sewenang-wenang melakukan Revisi UU Pilkada melalui Baleg DPR RI pada Rapat panitia kerja beberapa hari lalu . Banyaknya aksi demonstrasi yang dilakukan secara besar-besaran oleh masyarakat sipil di berbagai wilayah kota hingga saat ini nyatanya adalah bentuk kekecewaan yang telah lama melekat dalam pikiran yakni terhadap tingkah laku politik yang buruk berbagai penyelenggara negara yang jika kita lihat pada beberapa waktu lalu sebelumnya seperti adanya dualisme Power and policy antara Putusan MK dengan DPR dalam hal perbedaan pendapat mengenai aturan mengenai syarat usia versi MK dengan DPR pada UU Pilkada.
Eji Aminullah mengatakan meskipun DPR saat ini telah melakukan klarifikasi dan menyatakan sikap terkait proses pilkada 2024 yang akan tetap menggunakan putusan MK, tetapi tetap saja berdasarkan riwayat aktivitas DPR, lembaga ini tetap saja terlihat mencoba untuk bermain-main dengan kekuasaannya sebagai legislator.
Adanya niatan untuk menggunakan putusan MA atau dengan melibatkan dan berlindung dibalik kekuasaan putusan MA, hal ini merupakan indikasi buruknya proses demokrasi yang konstitusional. Dimana kita mengetahui bahwa secara yuridis pada Ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU MK terkait putusan MK pada dasarnya bersifat final. Meskipun perubahan putusan dapat dilakukan dengan berbagai mekanisme hukum seperti gugatan melalui MK (judicial review) terkait UU Pilkada yang dilakukan oleh partai buruh dan gelora sebelumnya maupun JR yang akan dilakukan kedepannya berdasarkan seberapa rasionalnya keputusan atau peraturan yang akan diadopsi atau dijalankan KPU kedepannya ( Ujarnya )
Kilas balik mengenai Putusan mahkamah Konstitusi No 60/ PUU-XXII/2024 dan terkhusus pada putusan untuk perkara nomor 70/PUU-XXI/2024 pada Selasa (20/8) kemarin juga bisa dikatakan bentuk tidak tegasnya MK terhadap adanya dua pemohon dari mahasiswa yang menggugat terkait pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 tentang Pilkada yang bertujuan untuk menambahkan frasa di akhir huruf pasal yaitu “terhitung sejak penetapan Pasangan Calon” dari isi pasal yang sebelumnya hanya berbunyi “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”.
Eji menilai bahwa Hal ini bisa saja yang menjadi salah satu dari sekian banyaknya alasan dibalik putusan (rasio desidendi) pada rapat panja revisi uu pilkada yang dilakukan Baleg DPR RI beberapa waktu lalu, hal ini terlihat dari bagaimana DPR dapat dengan sewenang-wenangnya melakukan Revisi UU Pilkada yang serba instan dengan dalih (berlindung) dibalik kata darurat yang dibuat-buatnya sendiri jika mengacu dari resume, alur dan proses yang sebelumnya disampaikan oleh Ahmad badowi selaku wakil ketua baleg serta pimpinan dari rapat panja Revisi UU Pilkada.
Tentunya segala bentuk penolakan policy dari legislatif tidak hanya digugat melalui judicial review melaikan proses keterbukaan dan keterlibatan masyarakat dalam menanggapi berbagai peraturan perundang-undangan yang akan berdampak bukan hanya hari ini melaikan sampai bertahun-tahun kedepannya. Maka dari itu saya mengajak seluruh masyarakat untuk terus mengkawal bukan hanya dari putusan MK, melaikan bagaimana proses pelaksanaannya peraturan KPU (PKPU) dalam menjalankan proses Pilkada 2024 yang transparan dan konstitusional.
Kemudian Eji dalam hal ini sepakat dengan statement Mahkamah Konstitusi bahwa syarat usia dihitung saat penetapan pasangan calon. pasangan calon kepala daerah yang tidak memenuhi syarat usia saat penetapan pasangan calon bisa dinyatakan tidak sah saat ada sengketa hasil Pilkada di MK. Maka dari itu saya meminta KPU sebagai penyelenggara PILKADA 2024 kedepannya dapat menindaklanjuti pertimbangan atau putusan MK yang sesuai dengan prinsip demokrasi konstitusional.
Dampak pasca Dinamika Politik terkait PILKADA 2024 saat ini
tidak dapat dipungkiri Bahwa berdasarkan proses berjalannya dinamika politik terkait revisi UU Pilkada ini, tetap saja meninggalkan impresi (kesan) dan citra yang semakin buruk terkhusus pada lembaga legislatif (DPR) dan Eksekutif (Presiden Jokowi dodo) atas sikap tidak konsistennya dalam menanggapi situasi politik kelembagaan saat ini sehingga menimbulkan kegaduhan dan kerusuhan (chaos) di tengah masyarakat. Dengan adanya upaya dan niatan yang telah dilakukan oleh Badan legislasi DPR RI pada rapat panja (Panitia kerja) terkait revisi UU Pilkada beberapa hari lalu, dalam hal ini menurut saya tetap saja DPR telah mencoba untuk mengabaikan yurisprudensi putusan mahkamah Konstitusi yang bersifat final and binding (mengikat) sehingga apa yang dilakukan DPR RI melalui Badan Legislasi sebelumnya merupakan tindakan yang inkostitusional, penyelewengan terhadap kekuasaaan dan perbuatan yang melawan hukum. Maka dari itu, menurut saya dinamika politik bukanlah hanya sekedar soal kepentingan di tataran elit partai politik melainkan kepentingan seluruh bangsa Indonesia sebagai negara yang demokrasi konstitusional.
Adanya indikasi demokrasi yang terdegradasi dapat dilihat dimana ketika suara hati nurani tidak lagi dihargai, Ketika rakyat tidak lagi memiliki hak dan kesempatan untuk berbicara dan berpendapat, Ketika rakyat tidak lagi diperhitungkan, ketika suara rakyat digantikan dengan manipulasi dan ketika penguasa hanya mementingkan dirinya sendiri maka disanalah demokrasi menemukan ajalnya.***