Ekonomi
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
“Orang kreatif adalah ‘orang tanpa batas’ (The Infinitive). Menentang gagasan ‘segala sesuatu serba terbatas’, ia pun berhasil mengelola thought jadi things, sakit jadi duit, sosial jadi komersial.” (Ippho Santosa)
Kreatif Jadi Infinitif
Orang kreatif adalah orang tanpa batas (The Infinitive). Nah, untuk menjadi infinitive, bagaimana caranya?
Tidak perlu repot-repot. Langsung saja saya jawab: cobalah pendekatan-pendekatan teruji yang pernah dilakoni oleh anggota KPK. Maksudnya, anggota Komisi Penegakan Kreativitas, semisal Albert Einstein dan Leonardo Da Vinci. Setidaknya, ada delapan pendekatan dan kebetulan kedelepan pendekatan ini diadopsi dan diadaptasi dari pemikiran Michael Michalko. Mari kita preteli satu per satu.
Pertama, be distinctive. Amati dan cermati persoalan Anda dengan berbagai cara yang berbeda! Jangan sungkansungkan untuk menyingkap perspektif baru yang belum pernah dijamah dan dijelajahi oleh siapa pun. Leonardo da Vinci percaya bahwa untuk memperkaya pengetahuan tentang suatu masalah dimulai dengan menyusun ulang masalah tersebut dengan cara-cara yang berbeda. Seringkali, pengetahuan baru dtemukan setelah menyusun ulang masalah.
Kedua, be imaginative. Kata kuncinya adalah bayangkan! Tatkala Albert Einstein memikirkan suatu masalah, ia selalu mencoba untuk merumuskan, termasuk dengan mencoret-coret diagram. Dengan demikian, ia dapat membayangkan solusisolusinya. Anda pernah mendengar SpaceShipOne? Itu adalah nama pesawat supercepat luar angkasa milik swasta pertama di dunia. Adalah Burt Rutan membayangkan itu semua sebelum menciptakannya. Betul sekali, thought become things.
Ketiga, be productive. Hasilkan! Ciri khas pemangku kreativitas adalah produktivitas. Lihat saja. Dibantu asistenasistennya, Thomas Alva Edison memegang 1.093 paten. Setelah meneliti 2.036 ilmuwan besar sepanjang sejarah, Keith Simonton dari Universitas California menemukan bahwa ilmuwan-ilmuwan yang dihormati itu bukan saja membidani karya-karya terkenal, tapi juga karya-karya yang buruk. Tetapi, mereka sama sekali tidak takut gagal dan takut membuat kesalahan demi memetik hasil yang diidam-idamkan.
Keempat, be combinative. Buatlah perpaduan yang baru! Kombinasikan dan kombinasikan ulang. Apakah itu ide-ide, bayangan-bayangan, atau pikiran-pikiran. Tidak peduli kalau itu berbuntut keanehan atau ketidakwajaran. Ilmu dasar genetika modern berasal dari Grego Mendel, yang dengan nekatnya membaurkan matematika dan biologi. Maka, jadilah ilmu pengetahuan baru.
Kelima, be connective. Bentuklah hubungan-hubungan! Sekalipun antara persoalan-persoalan yang mencolok perbedaannya. Leonardo Da Vinci memergoki hubungan antara suara bel dan batu yang jatuh ke dalam air. Kejadian ini memungkinkan ia menyimpulkan bahwa suara mengalir melalui gelombang-gelombang. Samuel Morse menjelaskan stasiun-stasiun penghubung untuk kuda.
Keenam, be contrary. F. Scott Fitzgerald pernah menulis, ukuran paling tepat untuk mengukur kecerdasan tingkat tinggi adalah kemampuan untuk menyimpan dua gagasan berlawanan sekaligus dalam pikiran, namun kedua-duanya berfungsi. Ahli fisika Niels Bohr juga yakin, jika Anda memegang pertentangan secara bersamaan, nicaya Anda akan bergerak lebih maju. Dialah yang membayangkan secara serentak mengenai partikel dan gelombang, sehingga lahirlah satu konsep yang saling melengkapi.
Ketujuh, be metaphoric. Aristoteles menganggap perumpamaan sebagai tanda kejeniusan. Barangkali ini sukar untuk dipahami. Yang jelas, menurutnya individu itu memiliki bakat khusus seandainya ia sanggup menghubungkan dua hal yang berbeda menjadi satu persamaan. Wright bersaudara melakukannya dengan menghubungkan sepeda, pesawat peluncur, dan pesawat terbang.
Kedelapan, be proactive. Persiapkan diri Anda untuk menerima kegagalan demi kegagalan! Bilamana Anda mencoba sesuatu dan gagal, pastikan Anda mengerjakan sesuatu yang lain. Ini adalah prinsip pertama dari kreativitas. Kegagalan dapat berarti produktif, hanya jika Anda terpaku pada itu-itu saja. Dengan kata lain, Anda harus menganalisis dan terus berproses, sehingga Anda dapat memetik hasil.
Intuitif Jadi Infinitif
Dewasa ini, adalah susah untuk menetapkan keputusan jika hanya mengharapkan otak kiri yang mengharuskan data serba lengkap. Persis seperti seorang jenderal yang tengah menjajaki kekuatan musuh di medan perang. Petunjuk-petunjuk sering tidak komplit. Walhasil, tidak jarang sang jenderal mengirangira berdasarkan intuisinya. Melintas batas. Jadilah ia The Infinitive.
Serupa dengan sepasang suami-istri. Ketika si suami selingkuh, kok bisa-bisanya si istri tahu? Padahal si istri tidak menengok langsung. Saksi tidak ada. Bukti juga tidak ada. Rupa-rupanya intuisi si istri yang mendelik. Secepat kedipan mata! Kurang dari satu detik! Blink! Secara umum dapat dikatakan, wanita memang lebih intuitif daripada pria. Kemampuan intuitif ini juga melekat pada penjual (ketimbang akuntan), pemimpin (ketimbang pengikut), pengusaha (ketimbang birokrat), dan bangsa Timur (ketimbang bangsa Barat).
Intuisi, itu „kan kalau datanya tidak komplit? Lantas, bagaimana kalau sebaliknya? Data tumpah-ruah. Pahamilah, intuisi tetap diperlukan. Mutlak! Ya, Anda mana punya waktu untuk memilah dan memilih? Belum lagi ganasnya persaingan belakang ini. Nah, situasi sedemikian rupa memojokkan Anda untuk membuat keputusan dengan sekali sambar– tidak boleh berlama-lama. Di sini lagi-lagi intuisi diharapkan untuk unjuk kerja dan kinerja. Belakangan ini dunia pemasaran sibuk dengan customer insight. Dan ketahuilah, hanya berbekal intuisi, customer insight dapat digali.
Intuisi sendiri berangkat dari empat titik, yakni natural, rasional, emosional, dan spiritual. Berdasarkan pengalaman kami sebagai entrepreneur, entah berapa kali intuisi membimbing bahkan menyelamatkan kami. Anda tidak percaya? Ya sudah! Sekarang, giringlah orang-orang yang Anda anggap dahsyat ke hadapan kami. Di waktu sama, Anda akan menunjukkan kepada kami orang-orang yang tajam intuisinya. Dengan intuisi yang terasah, mereka mampu menguliti problema demi problema. Ujung-ujungnya, mereka dapat mempercepat kesuksesan. Penguasa sebesar Ted Turner adalah contohnya.
Bagi orang manajemen dan orang pendidikan yang sangat kiri, intuisi dianggap sebagai sesuatu yang terlarang. Tukas mereka, “Indra keenam? Apa-apaan itu?” Padahal berbekal intuisi, Anda bagai melihat sesuatu yang tak terlihat oleh kebanyakan orang. Pasti itu! Tapi, bukan berarti semua riset, analisis dan kalkulasi harus Anda petieskan. Tidak! Semua itu tetap ada gunanya, tetapi lebih sebagai penguat, pelengkap dan pengiring.
Mulailah dengan yang kanan. Barulah dijabarkan dengan yang kiri. Kami perjelas. Itu artinya, intuisi dulu, baru analisis. Blink dulu, baru think. Seorang entrepreneur yang ditawarkan suatu lokasi usaha, detik itu juga hatinya membatin, “Sepertinya di sini cocok buka pujasera.” Yah, intuisinya yang berbicara. Setelah itu, barulah otak kirinya yang berputar. Data-data pun dikumpulkan, dicermati, dan ditimbangtimbang.
Pernahkah Anda menyaksikan entrepreneur membuka bisnis berdasarkan sebuah feasibility study? Langka! Dan tahukah Anda siapa yang paling sering mengotak-atik feasibilitys study? Yah, mereka yang hampir-hampir tidak membuka bisnis sama sekali, sekali mahasiswa, dosen, konsultan, peneliti, dan penulis. Benar „kan?
Bukan cuma dalam bisnis. Dalam keseharian pun, intuisi juga melekat. Seorang wanita yang dipertemukan dengan seorang pria, detik itu juga hatinya membatin. “Sepertinya dia cocok buat saya.” Yap, intuisinya yang berbicara. Setelah itu, barulah otak kirinya yang berputar. Ia pun memikirkan kecocokan karakter, pendidikan, ekonomi, latar belakang keluarga, dan sebagainya. Jelas „kan? Kanan dulu, baru kiri. Menurut kami, kalau awal-awal kanan sudah bilang „no‟.
janganlah memaksa kiri bilang „yes‟. Setuju?
Thought Jadi Things
Alkisah, di sebuah rumah sakit di China, seseorang yang akan dioperasi malah dicekoki lagu yang hingar-bingar semisal It‟s My Life-nya Bon Jovi. Cukupkah sampai di situ? Tidak, tidak. Ruangan operasi juga diisi dengan cahaya warna-warni bak konser. Apakah ini tidak salah? Apa penjelasannya? Benar, orang itu sakit. Tetapi, pihak rumah sakit tidak mau mendramatisir kondisi sakit tersebut.
Alih-alih begitu, pihak rumah sakit malah menggiring orang sakit itu untuk hengkang dari dimensi sakit. Persis seperti orang yang muram diputarkan lagu-lagu ceria Project
Pop. Begitu dong! Yah, tambah muramlah. Iya „kan? Makanya, “Sakit itu jangan dimanjain! Ntar dia ge-er! Makin betah lagi!” Seloroh Ippho.
Coba bayangkan, Anda sakit dan diopname di rumah sakit. Lantas, datanglah dokter dan suster yang berbusana putihputih. Apa yang terlintas di benak Anda?” Ya, ya. Saya ini sakit.” Lalu Anda diinfus atau disuguhi makanan khas rumah sakit. Apa yang terlintas di benak Anda? “Ya, ya. Saya memang sakit.”
Sudah berada di ruangan yang beraroma obat-obatan, kemudian datanglah teman Anda yang menenteng sekantong buah-buahan. Dengan wajah dan suara yang sedih ia berujar,
“Duh, sakit, ya.” Apa yang terlintas di benak Anda? “Ya, ya. Saya ini betul-betul sakit.” Dampaknya, Anda makin terpuruk dalam dimensi sakit, tanpa Anda sadari.
Intinya, hati-hati dengan ucapan Anda sendiri dan ucapan orang-orang di sekitar Anda. Be alert! Beneran! Soal sakitsehat, gagal-berhasil, miskin-kaya, biasa-luar biasa, itu semua bergantung sepenuhnya pada apa yang diucapkan. Dan atas izin-Nya, semesta dengan Law of Attraction-nya akan merealisir apa yang diucapkan tersebut, terlepas dari Anda menyukainya atau tidak. Maka dari itu, perkenankan kami berpesan, “Brainwash creatively!” Yang satu ini tolong dicatat baik-baik. Kami serius.
Seandainya Anda tengah susah, jangan larut dalam dimensi susah. Seandainya Anda pailit, jangan larut dalam dimensi pailit. Salah besar itu! Sebaliknya, Anda justru harus melompat keluar dari dimensi negatif tersebut. Pergilah jalanjalan, jajan, berlibur, berderma, atau apa saja yang membuat Anda lepas dari dimensi negatif itu. Dan inilah cara kanan untuk membereskan semua masalah. Bukankah segala sesuatu itu bermula dari pikiran? Yah, begitulah. Thought become things. Lazimnya, orang-orang kiri tidak akan memahaminya.
Sakit Jadi Duit
Rupa-rupanya, kalau sudah bicara soal kreatif, itu tidak berlaku dalam kondisi sehat saja. Maksudnya? Dalam kondisi sakit sekalipun, kita tetap harus kreatif.
Serupa Amilya Antonentti, yang berjuang mati-matian untuk menemukan penyebab sakit yang diderita oleh bayi kesayangannya, David. Tahu-tahu saja, bayinya mengalami sesak napas dan gangguan kulit. Lha, orang tua mana yang tidak cemas? Seiring perjalanan waktu, ia pun menyimpulkan bahwa sakit David memburuk pada hari Selasa, hari di mana ia beres-beres di rumah.
Lebih lanjut lagi, selidik punya selidik, biang keroknya adalah bahan-bahan sintetis pada produk-produk pembersih yang ada di rumahnya. Ternyata bahan-bahan inilah yang membuat David sesak napas dan gangguan kulit. Nah lho! Dan benar saja, begitu Amilya mencampakkan jauh-jauh semua produk pembersih tersebut, tangis David pun reda seketika.
Kemudian, ia mulai menguji coba produk pembersih rumah tangga yang bebas bahan-bahan sintetis. Mengandalkan unsur tumbuh-tumbuhan, ia pun membesut produk pembersih yang aman dan nyaman untuk digunakan di sekitar David. Tanpa disengaja, lahirlah bisninya sendiri, Soapworks. Ini tidak lain adalah produk pembersih untuk penderita alergi. Keren „kan? Coba saja Anda bayangkan, dalam waktu tiga tahun saja Soapworks dengan segala variannya telah tumbuh menjadi mesin uang senilai 10 juta dolar.
Lha, kalau mereka yang dicekam sakit saja masih bisa kreatif dan produktif, apalagi Anda yang masih sehat? Harusnya Anda lebih daripada itu dong! Iya „kan? Apalagi Anda sudah baca buku ini! Lagi pula, ternyata terselip setumpuk hikmah di balik sakit itu sendiri–yang jarang kita sadari selama ini. Beneran! Masih kurang yakin? Baiklah, mari kita bongkar satu persatu.
Pertama, sakit itu akan menempa pikiran Anda dan ujungujungnya melatih otot sukses Anda. Kedua, menurut pengalaman kami, sakit itu semacam body alarm, sebelum terjadi sesuatu yang lebih fatal terhadap tubuh Anda. Ketiga, sakit itu akan membuat Anda selalu sehat? Salah-salah hati Anda akan membatin, “Hei, lihatlah saya, selalu bugar!” Wah, salah-salah Anda bisa sombong karenanya. Kelima, jarang orang ngeh, sakit itu dapat menjadi penggugur dosa. Tentu saja semua hikmah ini dapat mendekatkan manusia dengan Sang Pencipta. Saudaraku, inilah bonusnya.
Karena itu, simaklah baik-baik pesan berharga dari motivator kelas dunia, Zig Ziglar, “Segala sesuatu akan menjadi terbaik, apabila kita mengambil yang terbaik dari segala sesuatu yang terjadi.” Makanya, mulai sekarang, sikapilah sakit itu sebagai kreatif. Setuju? Nah, kalau sudah begitu, barulah Anda boleh menyebut diri Anda The Infinitive.
Konvensional Jadi Kontroversial
Memasuki bulan Ramadhan, selalu bertebaran dan bertaburan spanduk berbunyi, “Marhaban Ya Ramadhan. Di bulan suci ini, marilah kita meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita.” Atau sejenisnya. Entah itu diucapkan dari institusi maupun dari pribadi. Di mata kami, kalimat itu adalah kalimat yang indah. Sayangnya, karena bejibun tanpa ampun alias terlau banyak, akhirnya kalimat ini kehilangan gregetnya. Sehingga, khalayak yang dituju tidak tertarik untuk mengetahui siapa yang mengucapkan.
Dari sisi pemasaran, ini jelas-jelas sebuah kegagalan–tidak ada istilah lain yang lebih tepat. Sementara itu di sebuah kota kami melihat sebuah spanduk berbunyi, “Andai tahun ini adalah Ramadhan terakhir buat kita, sudahkah kita mempersiapkan diri?” Begitu melihatnya, kami sampai tercenung dan merenung sekian detik. Dan beranilah kami menyimpulkan, ini baru greget!
Di kota lain, kami sempat melirik sebuah spanduk yang bertuliskan, “Ingin mati muda? Coba narkoba!” Mulanya kami terperangah. Namun, selang beberapa saat kami pun mengangguk-angguk sambil tersenyum geli. Sebenarnya, kalimat tersebut adalah imbauan anti narkoba kepada kalangan remaja. Mengena dan bermakna. Ini baru kreatif namanya! Yang unik dan menggelitik, si empunya spanduk lebih memilih kalimat kontroversial ketimbang kalimat konvensional yang biasa bertuliskan, “Demi masa depanmu, jauhi narkoba.” Inilah salah satu bentuk moral marketing alias menyampaikan pesan moral kepada publik.
Moral marketing juga kita temukan di iklan dan bungkus rokok, “Merokok dapat merusak kesehatan.” Moral marketing yang sama juga kita temukan di sepanjang jalan, “Kenakan helm standar demi keselamatan Anda,” atau “Dengan mengenakan sabuk pengaman, berarti Anda menyukseskan program pemerintah.” Kurang lebih, yah, begitulah isinya.
Sosial Jadi Kontroversial
Saudara sekalian, pada kesempatan ini kali ini sedikitbanyak kita akan mengulas dan mengupas soal agama. Tentu saja, dalam konteks bisnis yang universal. Untuk itu, marilah kita main ke Senayan City sejenak. Dengan konsepnya yang jreng dan mentereng, jadilah mal ini sasaran utama baik shopper maupun window shopper di Jakarta. Siapa pun pasti terkagum-kagum melongok dan menengoknya. Luar-dalam. Yang mengagetkan, kendati disesaki tenant-tenant yang serba wah dan mewah, ternyata mal ini dilengkapi dengan mushalla.
Dalam hati Anda mungkin nyeletuk, “Saudara Penulis, kalau cuma mushalla begitu, apa hebatnya? Tidak ada topik yang lain apa?” Buru-buru kami tampik, “Hei, ini bukan sembarangan mushalla!” Melainkan Executive Mushalla yang strategis lokasinya, berkelas desainnya, wangi, adem dan klimis. Berbeda dengan mushalla di mal kebanyakan. Sudah jauh dari mana-mana dan bentuknya seadanya, terus tengik, pengap, dan jorok pula. Bukannya kami melebih-lebihkan, tetapi memang begitulah biasanya. Apa perlu kami tunjukkan satu per satu?
Tiba-tiba saya teringat Kowloon Road di Hongkong, yang menyerupai Orchard Road di Singapura. Di sinilah merekmerek kelas kakap berjejer dari A sampai Z, dari yang mahal sampai yang sangat mahal. Pernak-pernik mungil saja bisa jutaan harganya. Betul-betul hedonis, betul-betul borjuis. Percaya atau tidak, di antara outlet-outlet tersebut, menjulanglah Masjid Kowloon yang ukurannya setara dengan masjid-masjid agung di Indonesia. Sudah begitu, air wudunya hangat pula.
Sekilas dan sepintas tidak masuk akal. Berapa sih umat Muslim di sana? Apakah masyarakat setempat yang jelas-jelas mayoritas non-muslim begitu peduli dengan kemaslahatan umat Muslim? Yang jelas, bukan itu pertimbangan utamanya, melainkan ada hitung-hitungan bisnisnya. Rupa-rupanya otak kanan pemerintah setempat sudah berpikir mencelat jauh ke depan. Anda tahu sendiri „kan, tidak sedikit orang Indonesia, Malaysia, dan Timur Tengah yang shopping di sana. Mereka buang duitnya edan-edanan.
Lha, mayoritas „kan Muslim. Dengan adanya Masjid Kowloon di sana, seolah-olah pemerintah setempat berseru, “Hei, orang Indonesia, Malaysia, dan Timur Tengah, kalau tiba waktu Zuhur, Ashar, Maghrib, tidak perlu balik ke hotel. Tetap saja di Kowloon Road. Ada masjidnya kok. Nah, setelah shalat, silakan shopping lagi. Pokoknya, shop „til you drop.” Begitulah kira-kira. Bukan cuma masjid, tempat ibadah yang lain juga tersedia di sekitarnya. Terhampar pula tempat peristirahatan yang super luas untuk kaum manula.
Sekiranya Anda mau berpikir dalam perspektif sosial, yah, silakan. Tetapi, setidaknya Anda mau berpikir dalam perspektif komersial. Tak pelak lagi, itu semua „kan demi kenyamanan pelanggan Anda, yang buntut-buntutnya demi keuntungan Anda juga. Yah sosial, yah komersial. Betul „kan?
Kalau ahli-ahli manajemen mengistilahkannya dengan Corporate Social Responsibility, maka Bill Gates dalam Forum
Ekonomi Dunia 2008 melabelnya dengan Creative Capitalisme. Di sinilah The Infinitive menunjukkan kesaktiannya. Betapa tidak? Dengan lihai dan piawai, mereka menyulap faktor-faktor sosial yang mulanya tampak mengancam menjadi faktor-faktor komersial yang akhirnya menguntungkan.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Enterpreneur_Mentality
#Jadilah_Orang_Tanpa_Batas