DigIndonews.com, Jakarta — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali mendapat sorotan sebagai salah satu instrumen penting dalam penanganan bencana. Dalam kegiatan Ngobrol Bareng Legislator bertema “Program Makan Bergizi Gratis (MBG) Menjadi Dapur Darurat Saat Bencana Sumut” yang digelar secara daring pada Rabu (17/12/2025), program ini dinilai mampu menjawab kebutuhan pangan bergizi masyarakat terdampak banjir bandang dan longsor di Sumatra Utara dan Sumatra Barat.
Anggota Komisi I DPR RI, Sabam Rajagukguk, menyampaikan bahwa bencana besar yang terjadi pada November 2025 menyebabkan lumpuhnya aktivitas masyarakat di sejumlah wilayah. Akses jalan terputus, listrik dan air bersih terganggu, serta dapur rumah tangga tidak dapat difungsikan. Dalam kondisi tersebut, pemenuhan makanan bergizi menjadi kebutuhan mendesak agar masyarakat dapat bertahan dan mulai memulihkan diri.
Menurut Sabam, Program MBG yang selama ini dikenal sebagai program pemenuhan gizi bagi anak-anak dan kelompok rentan, justru menunjukkan relevansi paling nyata ketika dihadapkan pada situasi darurat. Infrastruktur dapur, jaringan distribusi, dan standar menu yang telah dimiliki MBG dapat dengan cepat dialihkan menjadi dapur darurat yang melayani pengungsi di berbagai titik.
“Ketika dapur rumah tangga hilang akibat bencana, negara harus hadir memastikan makanan tetap tersedia, aman, dan bergizi. MBG memberi contoh bahwa program sosial bisa berfungsi ganda sebagai respons kemanusiaan,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam pengelolaan dapur darurat MBG. Di lapangan, dapur MBG bekerja sama dengan pemerintah daerah, relawan, TNI-Polri, serta UMKM lokal. Selain mempercepat distribusi bantuan, pendekatan ini turut menjaga roda ekonomi masyarakat sekitar lokasi bencana agar tidak berhenti sepenuhnya.
Sementara itu, Charles MT Sitohang, S.E., Pemilik Dapur Aek Natalu Jaya, memaparkan pengalaman praktis mengelola dapur MBG di wilayah terdampak. Ia menjelaskan bahwa dapur darurat tidak hanya bertugas memasak dalam jumlah besar, tetapi juga menjaga kualitas gizi makanan di tengah keterbatasan sarana dan kondisi lapangan yang sulit.
“Dalam situasi darurat, makan bukan hanya soal kenyang, tetapi soal bertahan hidup. Menu harus sederhana, aman, dan bergizi, terutama bagi anak-anak, ibu hamil, dan lansia,” kata Charles.
Menurutnya, dapur MBG mampu menjadi simpul logistik terdekat dengan memanfaatkan bahan pangan lokal dan jaringan relawan setempat. Transparansi distribusi juga dijaga melalui pencatatan jumlah porsi, menu, serta penggunaan anggaran, sehingga bantuan benar-benar tepat sasaran.
Diskusi tersebut juga menyoroti pentingnya kesiapsiagaan pangan sebagai bagian dari sistem penanggulangan bencana nasional. Pengalaman di Sumatra Utara dan Sumatra Barat menunjukkan bahwa program yang telah berjalan secara rutin jauh lebih siap beradaptasi ketika terjadi krisis.
Melalui forum ini, para narasumber sepakat bahwa penguatan Program MBG perlu terus dilakukan agar tidak hanya berfungsi sebagai program gizi di masa normal, tetapi juga menjadi dapur darurat yang andal saat bencana melanda. Dengan perencanaan yang matang dan kolaborasi lintas sektor, MBG diharapkan mampu memperkuat ketahanan pangan dan kemanusiaan di Indonesia.


