Digindonews.com-Pinjaman online ilegal dan investasi bodong terus menghantui masyarakat Indonesia dengan dampak yang tidak main-main. Tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga mengancam aspek sosial, psikologis, hingga keamanan digital bangsa. Banyak korban dari kalangan masyarakat rentan terjerat dalam praktik haram ini karena tergoda proses mudah dan janji keuntungan besar dalam waktu singkat.
Dalam sebuah forum diskusi publik bertema “Penguatan Pemahaman Bahaya Pinjaman Online dari Investasi Ilegal”, para narasumber menegaskan perlunya langkah sistematis, kolaboratif, dan berkelanjutan untuk memberantas praktik-praktik keuangan ilegal di ruang digital.
Rabu, 03 September 2025 menjadi saksi bagaimana pertemuan ini mengungkap realitas pahit. Menurut data OJK dan Satgas Waspada Investasi, hingga pertengahan 2025, terdapat lebih dari 7.200 entitas pinjol ilegal yang diblokir sejak 2018, namun praktik serupa terus bermunculan dengan modus baru. Bahkan, sepanjang dua tahun terakhir, ada lebih dari 3 juta pengaduan masyarakat terkait pinjol ilegal yang diterima OJK, Kominfo, dan lembaga terkait lainnya.
Didi, S.E., M.Ak., seorang pegiat literasi digital, mengungkapkan bahwa fenomena pinjol ilegal muncul akibat kebutuhan ekonomi masyarakat yang tidak tertopang oleh akses formal ke lembaga keuangan. Proses pencairan dana yang cepat membuat masyarakat mudah tergoda, padahal di baliknya tersembunyi bunga tinggi, penyalahgunaan data pribadi, hingga praktik penagihan yang melanggar hak asasi manusia.
Lebih memprihatinkan lagi, investasi ilegal juga menjamur dengan berbagai bentuk. Skema ponzi, binary option palsu, arisan online, hingga robot trading ilegal terus menjerat masyarakat dengan janji keuntungan besar tanpa risiko. Menurut catatan OJK, kerugian akibat investasi ilegal sejak 2011 mencapai lebih dari Rp140 triliun. Angka ini menjadi sinyal darurat bagi bangsa.
Dalam diskusi, Rachel Maryam Sayyidina, anggota Komisi I DPR RI, menekankan bahwa penegakan hukum saja tidak cukup. Menurutnya, regulasi yang diperkuat lewat revisi UU ITE dan UU Perlindungan Data Pribadi memang penting, namun yang lebih mendesak adalah upaya masif meningkatkan literasi digital dan keuangan masyarakat. Ia menambahkan, literasi harus menjadi gerakan bersama lintas sektor yang menyasar komunitas, sekolah, perguruan tinggi, bahkan rumah ibadah.
Hal senada disampaikan Dr. Rulli Nasrullah, pakar komunikasi dan kebudayaan digital. Menurutnya, akar masalah ini tidak terlepas dari ketimpangan digital dan lemahnya budaya kritis masyarakat. Banyak masyarakat yang lebih percaya broadcast WhatsApp atau testimoni di TikTok dibandingkan informasi resmi dari pemerintah. Oleh karena itu, edukasi harus dilakukan dengan pendekatan komunikasi kreatif yang mampu menyentuh sisi emosional masyarakat.
Didi juga menekankan perlunya intervensi pendidikan. Materi literasi digital dan keuangan harus masuk dalam kurikulum pendidikan sebagai bagian integral dari pendidikan karakter abad 21. Selain itu, negara harus berkolaborasi dengan platform digital global untuk mempercepat proses pemblokiran situs dan aplikasi ilegal.
Diskusi ini menutup dengan seruan agar semua pihak ikut menjadi agen literasi digital di lingkungannya masing-masing. Upaya pemberantasan pinjol dan investasi ilegal bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat.
Dengan sinergi antara regulasi, teknologi, pendidikan, dan komunikasi publik, diharapkan ekosistem digital Indonesia dapat menjadi ruang yang lebih aman, adil, dan beradab bagi seluruh warganya.***


