Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Aku adalah seorang pemuda Persia. Tepatnya di kota Ishfahan. Di sana ada sebuah desa kecil bernama Jayyan. Di situlah aku bersama keluargaku bermukim. Ayahku kebetulan seorang kepala desa. Keluarga kami dapat dikatakan sebagai keluarga terhormat dan terkaya di desa ini. Dan aku menjelma menjadi orang yang paling disayangi oleh ayahku. Hingga tiba suatu ketika kecintaan ayahku memperlakukannya seperti seorang gadis perawan. Ia memingitku. Demikianlah, aku tumbuh.
Dan persia ketika itu adalah tempat di mana Anda dapat mengetahui segala sesuatu tentang agama Majusi. Maka tidaklah mengherankan aku tumbuh menjadi orang yang begitu taat pada ajaran Majusi. Bahkan aku diangkat menjadi juru kunci tempat di mana api yang kami sembah. Aku diharuskan menjaganya agar tetap menyala sepanjang hari. Begitulah hari-hariku berlalu. Aku hampir tidak pernah tahu tentang apa yang terjadi di luar sana.
Hingga pada suatu ketika, ayahku memenuhi suatu urusan. Namun ada urusan lain yang lebih mendesak untuk diselesaikannya di desa kami. Maka dengan terpaksa ia memintaku untuk menyelesaikan urusan itu. Dan itulah untuk pertama kalinya aku keluar rumah. Itulah pertama kalinya aku pergi jauh meninggalkan desaku. Bisakah Anda bayangkan betapa hatiku melonjak-lonjak?
Aku takjub sepanjang jalan. Semuanya begitu baru. Hingga di sebuah jalan, aku mendengar suara-suara yang menarik hatiku. Aku mencari. Suara itu berasal dari sebuah gereja. Itu suara orang-orang Nashrani sedang beribadah. Sungguh-sungguh menarik perhatianku.
Aku tidak pernah mengetahui sedikitpun tentang ini semua. Maka ketika aku mendengar suara itu, aku berusaha untuk masuk ke dalam gereja itu. Aku melihat cara mereka beribadah. Begitu mengagumkanku. Aku jatuh cinta pada agama yang baru kukenal beberapa saat yang lalu ini. ”Sungguh, agama ini jauh lebih baik daripada agama kami saat ini,” bisik hatiku.
Dengan sabar, aku menanti hingga mereka selesai. Aku tidak memenuhi perintah ayahku. ”Dimanakah gerangan asal agama ini?” tanyaku pada salah seorang pendeta saat ia selesai dari ibadah mereka itu. “Di negeri Syam.” jawabnya.
Malam tiba. Aku pun beranjak pulang. Setibanya di rumah, ayahku menanyakan semua yang kulakukan hari itu. Semua yang kualami tidak satupun kusembunyikan darinya. Kuceritakan padanya dengan terus terang. Ayahku sungguh-sungguh ter-pukul. “Wahai anakku, agama yang kausebut itu sama sekali tidak mempunyai kebaikan. Agama nenek moyang kitalah yang terbaik,” ujarnya padaku. Tapi bersikeras. Maka mulai malam itu, ia memingitku dan mengikat kedua kakiku.
Begitulah hari-hari berlalu. Namun aku tak dapat menahan gejolak hatiku untuk memeluk agama itu. Dengan caraku sendiri, aku mengirim berita kepada orang-orang Nashrani itu. ”Bila kalian kedatangan rombongan yang akan bepergian menuju negeri Syam, tolong sampaikan padaku.” Demikianlah pesanku pada mereka.
Malam-malam terasa begitu panjang. Entah mengapa kedatangan rombongan itu terasa begitu lama bagiku. Tapi mereka akhirnya tiba juga. Maka ketika mereka menyampaikan ‟kabar gembira‟ itu padaku, aku pun berusaha melepaskan ikatan kakiku dan melarikan diri meninggalkan rumahku sendiri. Rumah di mana aku tumbuh besar. Menyimpan beribu kenangan yang tak mungkin terlupakan.
Akupun mengikuti perjalanan panjang ke negeri Syam itu. Begitu banyak hal baru yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Hingga akhirnya, Syam nampak di kejauhan. Aku sungguh ingin memacu kendaraanku secepat yang kubisa agar aku segera tiba di sana.
Dan ketika akhirnya rombongan kami memasuki kota itu, hanya satu pertanyaan yang segera keluar dari lisanku, “Siapakah orang terbaik yang paling mengetahui tentang agama Nashrani ini?”
“Silahkan tuan menemui para uskup yang mengurus gerejagereja,” jawab seorang penduduk kota itu.
Tidak lama kemudian, aku dengan mudahnya menemukan seorang uskup di salah satu gereja kota itu. Pada uskup yang kutemui itu, aku segera menyampaikan keinginanku.
“Aku telah meninggalkan keluarga dan kampung halamanku demi mempelajari agama tuan. Karena itu bila Anda mengizinkan, aku ingin menyertai dan berkhidmat pada tuan agar aku dapat mempelajari semua tentang agama ini dan beribadah bersama tuan,” jelasku padanya.
Uskup itu senang mendengarnya. Maka sejak saat itu, aku pun tinggal bersamanya. Berkhidmat dan menyelami semua ajaran baruku itu.
Waktu merangkak begitu saja. Tapi ia selalu membuktikan apa saja. Termasuk membuktikan padaku bahwa uskup yang kukagumi itu ternyata seorang ‟penjahat‟. Dengan jubah uskupnya ia mendorong jemaatnya untuk menyisihkan harta mereka demi agama. Lalu setelah itu, harta sedekah itu menjadi harta simpanannya. Aku sungguh-sungguh marah dan benci padanya.
Tapi kemarahan itu kupendam. Semua pengikutnya sedih berduka. Namun aku menyingkap yang sesungguhnya pada mereka.
“Orang ini sesungguhnya telah menipu kalian. Harta yang kalian sedekahkan sebenarnya ia simpan untuk dirinya.” kataku.
“Bagaimana kau tahu hal itu?” tanya mereka terkejut.
“Kemarilah kalian semua. Akan aku tunjukkan pada kalian di mana ia menyimpan semua harta itu,” ajakku pada mereka.
Dan di tempat persembunyian harta itulah kemarahan mereka meledak tak terkira. Sebegitu marahnya mereka, hingga akhirnya mereka me-mutuskan untuk tidak menguburkan uskup itu. ”Kita salib dia lalu lempar tubuhnya dengan batu!” teriak mereka. Begitulah akhir nasib dari uskup yang culas itu.
Tidak lama kemudian, diangkatlah seorang us-kup baru sebagai penggantinya. Uskup baru ini sungguh berbeda dengan pendahulunya. Ia sangat zuhud. Ibadahnya tak pernah berhenti siang dan malam. Ia sungguh-sungguh sangat baik. Hingga aku tidak punya pilihan lain kecuali mencintainya. Aku pun menyertainya selama beberapa tahun. Sampai akhirnya kematian menjemputnya. Dan di ujung kehidupannya itu, sebuah pertanyaan kutanyakan padanya,
“Wahai tuan, bila engkau telah tiada, kepada siapakah aku harus pergi berguru? Aku mohon berikanlah pada sebuah petunjuk.”
“Anakku, sepengetahuanku tidak ada seorang pun yang berjalan sesuai dengan apa yang kulakukan selama ini, kecuali seorang pendeta yag tinggal di kota Mosul. Pergilah menemuinya…” Dan demikianlah kematian akhirnya datang menjemputnya.
Dan petualanganku terus saja berlanjut. Aku pun segera mencari orang yang disebutkannya itu. Kudatangi kota Mosul. Dan setelah aku ‟mengaduk-aduk‟ isinya, akhirnya aku berjumpa dengan ‟guru baru‟ku. Padanya kusampaikan bagaimana mendiang uskup itu berpesan agar aku menemuinya.
“Jika demikian, tinggallah bersamaku,” ujarnya padaku.
Aku pun menyertainya selama beberapa waktu. Ia sungguhsungguh menyerupai mendiang uskup yang zuhud itu. Namun tidak lama setelah itu, kematian telah berada di sisinya. Dan di akhir hayatnya itu, seperti yang kulakukan, aku meminta petunjuknya kepada siapa kelak aku harus berguru.” Pergilah ke Nashshibain. Di sana engkau akan menemui seorang yang seagama denganku, wahai anakku.” pesannya.
Demikianlah perjalananku bersama agama Nashrani ini. Setiap kali guruku meninggal, aku pun berpindah kepada uskup yang lain. Hingga akhirnya aku berguru pada seorang uskup di kota ‟Ammuryah. Namun saat guruku yang satu ini menghadapi kematian, ia meninggalkan pesan yang tidak seperti ditinggalkan oleh guru-guruku sebelumnya.
“Wahai anakku, sungguh aku tidak lagi me-ngetahui masih ada orang yang berpegang kepada agama yang selama ini kita pegang teguh ini. Namun satu hal yang pasti adalah bahwa saat ini sudah semakin dekat dengan kedatangan seorang Nabi di tanah Arab. Nabi ini akan diutus membawa agama Ibrahim. Kelak ia akan meninggalkan kampung halamannya menuju sebuah tempat yang memiliki banyak pohon kurma. Tempat itu terletak di antara dua buah gunung.
Kelak bila engkau berjumpa dengannya, tanda-tanda kenabiannya begitu jelas. Ia hanya mau me-makan hadiah namun tidak mau memakan sedekah, lalu di punggungnya terdapat sebuah tanda ke-nabian. Bila engkau sanggup mendatangi negeri itu, maka lakukanlah.”
Ia pun meninggal dengan meninggalkan pesan itu. pesan ini sungguh aneh, pikirku. Tapi aku bertekad untuk mengikutinya. Perjalananku sudah sedemikian jauh mencari kebenaran. Dan ia tak akan berhenti hingga ajal menjemputku.
Hingga suatu hari, sebuah rombongan dagang dari negeri Arab di kota ‟Ammuriyah. Segera saja kutemui mereka. Pada mereka kusampaikan, ”Bila kalian bersedia membawaku ke tanah Arab, aku akan membayar kalian dengan semua kerbau dan kambing yang kumiliki.” Mereka setuju. Jadilah aku ikut rombongan mereka.
Namun takdir Tuhan jualah yang berlaku. Di tengah perjalanan, sebuah lembah yang sepi, mereka mengkhianatiku. Mereka menjualku sebagai seorang budak kepada seorang pria Yahudi. Pria itu kemudian membawaku. Suatu ketika, tuanku berjumpa dengan pamannya. Pamannya pun membeliku darinya. Tuanku yang baru ini membawaku ke sebuah kota. Kota itu sungguh baru bagiku. Namanya Yatsrib. Di kota ini kusaksikan, pohon-pohon kurma bertebaran di berbagai sudutnya. Aku teringat pesan terakhir guruku. Kota ini sungguh-sungguh sama dengan kota yang diceritakannya padaku. Mungkinkah di kota ini akan muncul Nabi yang ia sebutsebut akan membawa ajaran agama Ibrahim?? Entah mengapa aku sungguh mengharapkan itu.
Hari-hariku kini disibukkan dengan berkhidmat melayani tuanku. Aku hampir-hampir tidak lagi berfikir tentang apapun. Hingga suatu ketika, sayup-sayup dari sela-sela pohon kurma, aku dengar salah satu kerabat tuanku datang dengan sumpah serapahnya.
“Celakalah orang-orang Aus dan Khazraj itu! Coba pikirkan, mereka sekarang ini sedang ber-kumpul di Quba‟, katanya menunggu kedatangan seorang pria dari Makkah yang mengaku sebagai Nabi.” Demikian kata-katanya keluar.
Tubuhku gemetar. Sungguh! Aku belum pernah segemetar ini. Hampir saja tubuhku terjerembab. Untunglah aku segera dapat menguasainya. Dengan cepat aku turun dari pohon kurma yang sedang kupanjat itu. Dan tanpa berpikir lebih lama lagi, aku segera mendekati kerabat tuanku yang membawa berita itu.
“Bisakah tuan mengulangi berita yang baru saja tuan sampaikan itu??!” pintaku padanya.
Namun tuanku segera saja melayangkan tinjunya ke mukaku.
“Ada urusan apa engkau dengan masalah ini??! Sana, pergilah bekerja kembali!!!” ujarnya kasar penuh amarah.
Tapi tekadku tidak akan padam hanya dengan sebuah pukulan dan hardikan kasar. Ini adalah cita-cita yang sudah membalut seluruh tulang dan daging dalam tubuhku. Aku bahkan rela menjadi seorang budak pesuruh demi melihat dan menjumpai sang Nabi itu. Ayahku, bahkan semua kerabatku entah bagaimana keadaan mereka sekarang. Bukankah semuanya telah kukorbankan demi mencari kebahagiaan puncak itu.
Maka saat malam sudah merangkak memeluk bumi dengan kegulitaannya, aku segera mencari pria yang mengaku sebagai nabi itu. Sengaja kubawa serta sebagian kurma yang telah kupetik siang tadi. Sebab ini menjadi ujian pertamaku untuk membuktikan kebenaran pria itu. Dan akhirnya aku berjumpa dengannya…
“Kudengar bahwa tuan adalah orang yang sangat saleh. Kudengar pula bahwa orang-orang yang menyertai tuan adalah orang-orang yang sangat membutuhkan. Sengaja kubawa serta kurma ini untuk kalian. Sebenarnya aku ingin menyedekah-kanya, namun kupikir kalian yang paling membutuhkannya…” Aku menunggu. Ia mempersilahkan pengikutnya untuk makan.
Namun ia sendiri sama sekali tidak menyentuh kurma-kurma itu. Yah, aku sudah membuktikan tanda kenabiannya yang pertama. Ia tidak mau memakan sedekah. Akupun pulang kembali. Kukumpulkan kurma sebanyak yang kubisa. Lalu ketika kudengar pria itu akan beranjak meninggalkan Quba‟ menuju Madinah, aku segera menemuinya.
“Kudengar tuan tidak mau memakan sedekah, maka aku sengaja membawa kurma ini sebagai hadiah untuk Anda. Kuharap tuan sudi memakannya,” pintaku padanya.
Ia segera memanggil sahabat-sahabatnya. Mereka berkumpul menyantap kurma pemberianku. Ter-masuk pria saleh itu. Ini adalah
tanda yang kedua. Ternyata ia benar-benar memakan hadiah yang diperuntukkan untuknya.
Tingallah aku berpikir bagaimana cara membuktikan tanda yang ketiga. Tanda kenabian di punggung belakangnya. Hingga akhirnya di suatu malam ketika ia berada di Baqi‟, kulihat ia ada di sana. Aku mengikutinya. Dan ia mengetahuinya. Entah mengapa ia pun tahu bahwa aku sengaja ingin mencari tanda kenabian di punggungnya. Maka begitulah cara Allah menuntunku pada hidayahNya. Pria bernama Muhammad itu menyingkapkan kain yang menutupi punggungnya. Dan…aku sung-guh-sungguh melihat tanda kenabian itu. Tepat di sana. Aku tidak bisa menahan jiwaku lagi. Aku segera memeluknya. Dan aku menangis dalam memeluknya.
Pencarianku tumpas di sini.
“Akhirnya kutemukan engkau, wahai Nabi! Perjalananku sungguh panjang mencarimu. Dan sejak hari ini, aku akan menyertaimu hingga aku menghadap Allah,” ujarku penuh bahagia padanya.
Hari itu, perjalananku berakhir dalam kebahagiaan. Bila Anda bertanya tentang siapa aku, maka akulah Salman Al Farisy. Salman si putra Persia.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#One_Hour_Awardness
#Wisata_Mencari_Iman