TAN MALAKA MAHA GURU: MEMBUMIKAN PEMIKIRAN MADILOG DALAM PENDIDIKAN INDONESIA
Oleh: Ferizal Ridwan, Ketua Yayasan Ibratama
Pandam Gadang Suliki, 25 November 2025
Dalam sejarah Indonesia, Tan Malaka dikenal sebagai sosok revolusioner, pemikir, dan tokoh pergerakan. Namun sisi lain yang sering terlupakan adalah perjuangannya sebagai guru—pendidik yang memandang kelas bukan sekadar ruang belajar, melainkan arena pembebasan pikiran. Pemikiran Tan Malaka, lahir hampir seabad lalu, tetap relevan saat kita menelaah kondisi pendidikan Indonesia masa kini.
Bagi Tan Malaka, pendidikan tidak cukup hanya mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Sekolah harus mampu membentuk manusia merdeka, yang sanggup berpikir kritis, mempertanyakan otoritas, dan mengambil keputusan berdasarkan nalar. Pendidikan yang menekan keberanian bertanya justru ditolak keras olehnya.
Realita pendidikan Indonesia saat ini masih banyak terjebak pada sistem hafalan dan kurikulum yang kaku. Dalam pandangan Tan Malaka, model ini hanya menghasilkan massa patuh, bukan warga negara sadar dan bertanggung jawab. Semangatnya mengingatkan pentingnya mengembalikan pendidikan pada tujuan dasarnya: memerdekakan pikiran.
Pengalaman mengajar Tan Malaka di berbagai wilayah, dari Deli hingga Filipina dan Cina, membuatnya yakin bahwa guru adalah pelopor perubahan sosial. Guru bukan birokrat, melainkan pembentuk karakter bangsa. Ia menekankan pentingnya memberikan bacaan alternatif agar murid mampu memandang dunia dari berbagai perspektif, menjadikan guru jembatan antara realitas dan kemungkinan.
Kini, guru di Indonesia sering terbebani administrasi berat yang membatasi ruang imajinasi dan semangat belajar murid. Pemikiran Tan Malaka mengingatkan bahwa guru harus kembali menjadi pencerah, bukan sekadar pengisi laporan.
Kontribusi terbesar Tan Malaka adalah Madilog—upaya merumuskan cara berpikir ilmiah bagi bangsa Indonesia. Ia mengkritik pengaruh takhayul dan dogma yang menghambat kemajuan, mengajak rakyat berfikir berdasarkan realitas material, dialektika perubahan, dan logika ketat.
Di tengah deras arus informasi dan maraknya hoaks, pesan Madilog semakin penting. Pendidikan Indonesia perlu penguatan literasi kritis dan kemampuan berpikir rasional agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh kepentingan tertentu. Ilmu pengetahuan harus menjadi senjata peradaban, bukan sekadar materi pelajaran.
Tan Malaka selalu menegaskan pendidikan harus berakar pada kebutuhan rakyat, bukan hanya memenuhi tuntutan pasar atau politik. Ia ingin sekolah menjadi alat mobilitas sosial, bukan penjaga ketimpangan.
Meski telah puluhan tahun berlalu, akses pendidikan di Indonesia masih timpang antara daerah kaya dan miskin serta kota dan desa. Semangat Tan Malaka menuntut pembenahan struktural, mulai dari pemerataan fasilitas, peningkatan kualitas guru, hingga kebijakan yang benar-benar berpihak pada anak-anak dari keluarga biasa.
Ungkapan terkenalnya, “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat,” menggambarkan etos hidupnya: menggabungkan kecerdasan, integritas, dan kemampuan menyesuaikan diri. Etos ini menjadi cermin sekaligus panduan bagi guru dan pelajar Indonesia hari ini.
Ia mengajarkan bahwa kemajuan bangsa lahir dari manusia yang terus belajar, berani berpihak pada kebenaran, dan adaptif terhadap perubahan.
Jika Tan Malaka hadir di ruang kelas Indonesia kini, ia tidak hanya mengajar dengan papan tulis, tetapi juga dengan keberanian moral. Ia akan mendorong murid berpikir mandiri, mencintai kebenaran, dan memahami realitas bangsanya.
Indonesia membutuhkan lebih banyak guru seperti itu—guru penggerak kesadaran bangsa, bukan sekadar pengajar. Di tengah kompleksitas zaman, warisan Tan Malaka sebagai guru terus menyala: pendidikan adalah fondasi kemerdekaan, dan kemerdekaan sejati dimulai dari cara berpikir.**


