Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru oleh DPR beberapa waktu lalu menjadi salah satu titik penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Hukum acara pidana adalah tulang punggung sistem penegakan hukum, sekaligus instrumen yang menentukan bagaimana negara memperlakukan warganya, terutama ketika berada dalam posisi paling rentan yaitu diselidiki, disidik, ditangkap, atau diadili.
Karena itu, perubahan KUHAP tidak dapat dipandang sekadar sebagai pembaruan teknis hukum, tetapi sebagai indikator arah sistem politik dan kualitas demokrasi kita.
Di atas kertas, KUHAP baru diklaim membawa sejumlah kemajuan. Beberapa ketentuan disebut memberikan perlindungan lebih konsisten bagi tersangka, terdakwa, korban, saksi, dan kelompok rentan. Reformasi ini juga dinilai perlu untuk menyesuaikan struktur hukum nasional dengan perkembangan teknologi, pembaruan KUHP, serta prinsip keadilan prosedural yang lebih modern. Argumentasi tersebut menempatkan pembaruan KUHAP sebagai bagian dari konsolidasi demokrasi, negara berupaya memperbaiki sistem peradilan agar lebih responsif, efisien, dan berkelanjutan.
Namun, respons publik tidak seragam. Sebagian kalangan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan praktisi hukum menilai proses penyusunan dan pengesahan berlangsung terburu-buru dan minim deliberasi. Kritik paling besar tertuju pada ketentuan perluasan kewenangan penyelidikan, penyadapan, penggeledahan, hingga pembelian terselubung oleh aparat penegak hukum. Kekhawatiran muncul bahwa aturan tersebut, apabila tanpa kontrol yang memadai, dapat mempersempit ruang kebebasan sipil dan memperkuat kultur penegakan hukum yang represif. Di sinilah letak simpul persoalan bahwa reformasi hukum baru ini membuka dua skenario besar bagi masa depan demokrasi Indonesia.
Pertama, skenario demokrasi matang.
Jika implementasi KUHAP disertai mekanisme pengawasan yang kuat dan transparan, ruang kontrol publik tetap terbuka, dan aparat penegak hukum menjalankan kewenangan secara proporsional, maka KUHAP dapat menjadi fondasi penting bagi demokrasi yang lebih beradab. Dalam skenario ini, modernisasi penegakan hukum beriringan dengan penguatan hak-hak warga negara. Demokrasi menjadi lebih substansial karena negara dapat menjamin bukan hanya kebebasan politik, tetapi juga keadilan prosedural.
Kedua, skenario demokrasi formal namun rapuh.
Pada jalur ini, pembaruan hukum tetap berlaku, tetapi tidak diiringi mekanisme pengawasan independen dan budaya akuntabilitas. Negara tampak demokratis secara institusional danpemilu berjalan, rotasi kekuasaan terjadi, namun kualitas demokrasi melemah. Kebebasan sipil dapat menyempit, kritik publik berisiko dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, dan budaya takut menggantikan budaya dialog.
Ketiga, skenario kemunduran demokrasi.
Ini adalah kemungkinan paling ekstrem bahwa hukum menjadi instrumen legitimasi pengekangan, bukan perlindungan. Penguatan kewenangan penegakan hukum tanpa kontrol dapat mengarah pada model demokrasi prosedural tanpa kebebasan. Proses pemilu tetap ada, tetapi hak asasi dan ruang publik menyusut. Dalam skenario ini, demokrasi bertahan sebagai nama saja bahkan bukan kedalam implementatif.
Posisi Indonesia saat ini berada di persimpangan antara ketiga skenario tersebut. Karena itu, langkah-langkah korektif dan kolaboratif menjadi penting. Sejumlah agenda mendesak dapat dirumuskan.
Pertama, aturan pelaksana KUHAP harus disusun secara transparan dan melibatkan publik, termasuk masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas hukum. Substansi hukum yang demokratis tidak akan efektif tanpa prosedur demokratis dalam perumusannya.
Kedua, lembaga pengawasan penegak hukum perlu diperkuat, baik melalui mekanisme internal (etik, supervisi) maupun eksternal (ombudsman, praperadilan, dan mekanisme aduan publik). Kewenangan luas negara harus selalu beriring dengan pengawasan yang setara.
Ketiga, peningkatan literasi hukum publik harus dilakukan secara serius. Warga negara tidak boleh hanya menjadi objek kebijakan hukum, tetapi subjek aktif yang memahami hak dan mekanisme perlindungan dirinya.
Keempat, independensi media perlu dijaga agar fungsi pengawasan sosial tetap berjalan. Kebebasan pers merupakan pilar utama sistem demokrasi yang sehat dan tanpa itu, seluruh mekanisme hukum berisiko bekerja dalam ruang gelap.
Pengesahan KUHAP baru adalah momentum. Dari momentum ini, kita dihadapkan pada pertanyaan dasar apakah kita ingin membangun negara hukum yang demokratis, atau sekadar negara dengan hukum?
Demokrasi tidak cukup diukur dari keberadaan pemilu atau lembaga negara, tetapi dari cara negara memperlakukan warganya, terutama mereka yang berada di posisi paling lemah. Indonesia masih memiliki peluang besar untuk memilih skenario terbaik. Namun peluang itu hanya akan terwujud bila kekuasaan bersedia diawasi, dan warga negara memilih untuk terlibat.
Penulis: Abdul Halim Wijaya Siregar


