
Jakarta, Polemik penambangan kawasan Raja Ampat, Papua Barat menjadi bahan perbincangan masyarakat akhir-akhir ini. Tagar #SaveRajaAmpat terus mencuat di media sosial, sebagaibentuk perlawanan warga untuk melindungi surga bawah lautIndonesia dan pada Pada 6 Oktober lalu, pemerintah mencabutIzin Usaha Pertambangan (IUP) empat perusahaan di Raja Ampat, yang tersebar di Pulau Kawei, Manyaifun Batang Pele, Manuran dan Yesner Waigeo Timur.
Namun Pencabutan 4 izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Kabupaten Raja Ampat, di Provinsi Papua Barat Daya, dinilaitidak cukup. Karena, masih banyak lagi wilayah pesisir dan pulau kecil di Indonesia yang juga berada di ambangkehancuran. Demikian menurut Supriyadi M. Muchlis (KetuaUmum HMI Koordinator Komisariat Universitas Nasional)
Bagaimana dengan Ekspansi pertambangan nikel di pulau-pulaukecil lainnya?
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentangPengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pulau keciladalah pulau yang memiliki luas kurang dari 2.000 km2 besertaekosistemnya. Pencabutan empat IUP perusahaan dari Raja Ampat merupakan angka yang kecil apabila dibandingkandengan keadaan di lapangan saat ini. Masih ada 218 IUP tersebar di 34 pulau kecil Indonesia. Baik tambang nikel, batu bara, emas, granit dan lainnya. Banyak pulau-pulau kecilyang dilumat akibat penegakan hukum yang lemah. Apakahsemua izin tambang di pulau kecil harus viral dulu?
Supriyadi juga menekakan bahwa kegiatan tambang di pulau-pulau kecil secara hokum seharusnya dilarang, sebagaimana halini diatur dalam Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 mengenai Pengelolan Wilayah Pesesir dan Pulau-pulau kecil(WP3K), yang secara tegas mengharamkan aktivitas ekstraktif di wilayah tersebut.
Bayangkan saja jika semua aktivitas tersebut dilakukan secaraterus menerus di sebuah pulau kecil yang dihuni manusia dan juga makhluk hidup lainnya. Sama saja seperti upaya‘pembantaian’ tidak langsung dengan mematikan kelestarianlingkungan pelan-pelan. Bukan hanya ekosistem dan sumberdaya alamnya saja yang terbunuh, pertambangan di pulau-pulau kecil juga mengekspos resiko pada praktiktradisional masyarakat adat yang tinggal disekitarnya.
Ekspansi tambang besar-besaran yang didorong oleh kepentingan ekonomi nasional justru mengancam keberlanjutanekologis dan kultural masyarakat pulau. Fenomena inimenimbulkan ironi yang menyakitkan : tambang tumbuh, pulautumbang dan mati. Pemerintah Indonesia, dalam semangatpembangunan ekonomi, terus mendorong investasi sektorpertambangan sebagai tumpuan pertumbuhan daerah. UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi landasan regulatif yang memungkinkan perusahaanbesar masuk hingga ke pelosok pulau, termasuk pulau-pulaukecil di kawasan timur Indonesia.
Sejak saat itu, pulau-pulau di Papua, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi, dan Nusa Tenggara mulai berubah wajah menjadilahan-lahan tambang yang rakus sumber daya.
Lebih jauh, pembangunan industri tambang di pulau-pulau kecilmelanggar prinsip keadilan ekologis. keadilan ekologismenuntut pengakuan atas hak komunitas lokal atas alam, dan penghentian eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya yang merusak kehidupan. Namun, logika ekonomi ekstraktif yang dominan justru menempatkan alam sebagai objek eksploitasi, bukan sebagai entitas yang hidup dan memiliki hak. Pulau-pulauyang dulunya hijau dan lestari telah dan akan berubah menjadilahan industri kotor yang hanya menyisakan debu dan lukaekologis.
Ditambah lagi bahwa operasi pertambangan di pulau-pulau kecilkerap dibalut dengan kekerasan, intimidasi, hingga kriminalisasidan pelanggaran HAM terhadap masyarakat local yang dilakukan oleh negara.
Solusi terhadap persoalan ini tidak cukup hanya denganpengawasan atau regulasi ketat. Yang dibutuhkan adalahpergeseran paradigma pembangunan dari ekonomi ekstraktifmenuju ekonomi berbasis keberlanjutan dan keadilan ekologis. Masyarakat lokal harus dilibatkan secara penuh dalam proses pengambilan keputusan, dan hak-hak mereka atas tanah, laut, dan air harus dijamin secara hukum.
Terakhir kami meminta “Presiden Prabowo harusmengumumkan moratorium tambang di pesisir dan pulau-pulaukecil sebagai bentuk komitmen terhadap isu perubahan iklimdan ancaman terhadap keselamatan pulau-pulau kecil, juga sertaMendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melakukanaudit dan investigasi khusus terkait dengan kejahatan korupsiperizinan tambang di pesisir dan pulau-pulau kecil dan melakukan pencabutan terhadap pemberian sertifikat clean and clear & izin lingkungan atas tambang–tambang yang berada di pulau-pulau kecil; Supriyadi M. Muchlis (Ketua Umum HMI Koordinator Komisariat Universitas Nasional)