Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
إنٍِّ رَبٍّمَ يبَصُْعُ الرِّزْقَ لٍِ َ َْ ي شََاءُ وَيَلْدِرُ إٍُِّ ُّ كََنَ ةػِِتَادِهِ خَتيًِا ةصَِيًا 30
“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hambahamba-Nya.” (QS. Al-Isra [17]: 30)
Firman Allah itu benar sekali. Ia akan memberikan rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Tidak pandang bulu. Itu ketika masih di dunia ini! Mengapa? Karena Allah mempunyai sifat Ar-Rahmân (Yang Maha Pengasih). Ulamaulama salaf dahulu memaknai Ar-Rahman dengan “Allah sebagai Zat Yang Maha Memberi nikmat dengan seagungagungnya nikmat”. Artinya, keagungan Allah itu adalah memberi nikmat kepada siapa saja sesuka Dia, tapi tergantung usaha hamba-Nya. Siapapun tanpa pandang bulu. Tidak orang beriman, tidak pula orang kafir. Asal mau berusaha Allah pasti memberinya. Karena sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib seseorang, hingga orang itu bisa mengubah nasibnya sendiri. Sebaliknya Allah juga berhak menyempitkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Bagi mereka yang malas, pastilah Allah tidak mau mengganjarnya. Itulah keadilan Allah di muka bumi ini.
Meski demikian, Allah juga memiliki sifat Ar-Rahîm, Zat Yang Maha Penyayang. Ar-Rahîm sendiri dimaknai oleh para ulama salaf dengan “Allah sebagai Zat Yang Memberi nikmat dengan kelanggengan nikmat”. Artinya, Ar-Rahîm ini lebih ditujukan pada orang yang beriman. Nikmat mereka akan langgeng hingga di hari akhirat. Sekali lagi, itulah keadilan Allah. Siapa mena-nam, ia menuai. Siapa berbuat baik, ia berhak mendapat pahala. Siapa kufur, ia berhak masuk neraka.
Ayat di atas juga sebagai sebuah nasihat yang agung bahwa Allah-lah yang memutuskan besarnya kebutuhan masingmasing jiwa. Allah-lah yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui, karena Dia mengetahui siapa yang pantas diberi rahmat, baik di dunia ataupun di akhirat kelak. Begitu juga sebaliknya. Karena itulah, segala keputusan Allah itu patut dipuji. Jika Dia memberi rahmat pada seseorang, itulah kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas. Dan jika Dia menahan rahmat-Nya, maka itu juga merupakan kebijaksanaan-Nya yang Maha Luas.
Firman Allah :
أَْ ُ ًْ حَِلْصٍِ ُٔنَ رحََْْثَ رَبّمَِ نََْ َُ كَصٍَ ْ َا ةيَْ َِ ُ ,ٓ ًْ َػِيشَخَٓ ُ ًْ فِِ الَْْيَاة الدَّجْيَا وَرَذَػْ َِا بَػْظَٓ ُ ًْ فَ ْٔقَ بَػْضٍ دَرسََاتٍ لَِِخٍّخِذَ بَػْظُٓ ُ ًْ بَػْظًا شُخْرِيًّا وَرحََْْثُ رَبّمَِ خَيٌْ مِ ٍّا يََْ َػُٔنَ 32
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. AzZukhruf [43]: 32)
Dan dalam ayat yang lain, Allah tak lupa memperingatkan,
وَاللٍّهُ فظٍَّوَ بَػْظَسًُِ ْ عََلَ بَػْضٍ فِِ اَلرِّزْقِ ذَ َا الٍَِّّيَ َ فُظِّيُ ا ةرَِادِّي رزِكْ ْ عََلَ َا مَيَهَجْ أحْ َاجُ ُٓ ًْ ذَ ُٓ ًْ ذيِِّ شَ َاءٌ أفَتَِِ ػِْ َثِ اللٍّهِ يََِٓحَْدُونَ 71
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl [16]: 71)
Dua ayat tersebut menunjukkan, sesungguhnya orang yang diberi harta kekayaan, lebih mungkin akan mengguna-kan harta kekayaannya itu untuk menentang perintah-perintah Allah. Oleh karena itulah, sedikit sekali dari mereka yang dilimpahi harta kekayaan oleh Allah, lantas tidak lupa diri. Karena itulah, berhati-hatilah dengan nikmat kekayaan yang melimpah ruah. Bukankah kebanyakan dari kita, manakala dikaruniai banyak harta, sadar atau tidak sadar, malah gampang mengingkari nikmat Allah. Kita sibuk mengejar harta hingga lupa kewajiban-kewajiban yang Allah berikan pada kita. Kita ingkar nikmat. Kita kufur nikmat. Dan wajar saja bila Allah pun acapkali menyindir kita, “Sedikit sekali kalian ber-syukur?”
Padahal, kalau kita lupa bersyukur, Allah tidak akan memberikan berkah-Nya kepada harta kita. Sebaliknya, Allah akan menyamuderakan nikmat-Nya kepada orang-orang yang mau bersyukur. Kekayaannya akan membawa berkah, bukan laknat. Ingatkah Anda dengan firman Allah, “Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melam-paui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesung-guhnya Dia Maha mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha melihat.” (QS. Asy-Syuura [42]: 27)
Kaitannya dengan ayat ini ada sebuah cerita: Suatu ketika, sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash duduk bersama Nabi. Saat itu Nabi hendak menyerahkan sedekah kepada para fakir miskin. Nabi memberikan uang sedekahnya kepada sebagian orang tertentu, dan tidak memberikan uangnya kepada sebagian yang lain. Melihat hal itu, Sa’ad bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memberikan uang kepada orang ini?” Nabi terdiam. Ya, beliau terdiam saja mendengar pertanyaan Sa’ad, hingga akhirnya Sa’ad mengulang-ulang pertanyaannya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda, “Wahai Sa’ad, aku memberi orang itu, meski yang lainnya lebih menghormati aku ketimbang dia. Karena aku tahu kalau ia aku beri, Allah akan melemparkannya ke dalam neraka.” (HR. Bukhari-Muslim).
Dengan kata lain, Nabi merasa puas dengan memberikan uang itu kepada orang tertentu, dan tidak memberikan uangnya pada yang lain. Justru Nabi tahu dan kuatir kalau-kalau orang yang tidak diberinya uang, manakala diberi uang, ia malah menggunakan uang itu untuk hal-hal yang diharamkan. Karenanya, tidak mem-berikan uang kepada orang-orang yang demikian ini, sesungguhnya kita justru telah menyelamatkannya dari api neraka.
Saudaraku, sesungguhnya di dalam Al-Qur`an terkandung banyak hikmah tinggal apakah kita mampu mengambilnya atau tidak. Bukan hanya di dalam Al-Qur`an saja sebenarnya, tapi di balik adanya perbedaan-perbedaan status sosial, kaya-miskin, atas-bawah, dan lain sebagainya, juga terkandung banyak hikmah. Setidaknya, hikmah itu bisa dipungut manakala kita mau merenungkan aneka perbedaan derajat dan kekayaan manusia. Ada yang tamak, ada yang loba. Ada yang pesimis menghadapi hidup, ada pula yang optimis. Ada yang rajin, ada pula yang malas. Ada yang kaya sekali, ada yang miskin sekali. Begitu seterusnya.
Ya, di setiap jenis perbedaan derajat dan kekayaan manusia, sesungguhnya mengandung banyak hikmah bila kita serius merenunginya. Hikmah itu antara lain:
Pertama, semua itu harus merupakan bukti yang jelas bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Kuasa atas urusanurusan makhluk-Nya. Dialah Rabb, Sang Pencipta, Pelindung dan Pemberi rezeki. Siapakah orang yang mampu memelihara dan menyediakan rezeki kepada setiap makhluk hidup kalau bukan Allah? Allah-lah yang menyediakan, kita hanya menjemput pemberian-Nya.
Kedua, semua ini merupakan bukti bahwa Allah sajalah Yang Maha Bijaksana, karena Dia menentukan dan memutuskan jumlah rezeki yang tepat bagi para hamba-Nya.
Ketiga, semua itu merupakan bukti kekuasaan Allah yang menyeluruh atas makhluk-Nya. Sebab, tak ada seorang pun yang mampu mengubah keputusan-Nya. Ingatkah Anda, bahwa betapa kita kerapkali menemukan orang yang sepanjang hidupnya berjuang untuk menjadi kaya, tapi semakin ia berjuang, semakin miskin pula ia. Dan ada pula orang yang tidak berusaha mati-matian untuk kaya, namun ia tetap dikaruniai harta kekayaan yang banyak diimpikan orang. Semua ini menunjukkan bahwa Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.
Keempat, ternyata perbedaan-perbedaan itu (kaya-miskin, atas-bawah, dan lain sebagainya) bisa menimbulkan kebaikan hati Muslim orang yang saleh, dan sebaliknya melahirkan kekikiran orang-orang yang kufur nikmat. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Muslim sejati pastilah juga akan membelanjakan hartanya hanya untuk Allah. Ia nafkahi keluarganya, kerabatnya dan teman-temannya dengan tanpa mengharapkan imbalan apapun dari mereka selain Allah.
Kelima, sesungguhnya setiap ujian dan cobaan yang berat harus dilakoni setiap orang jika ia ingin mendapatkan ridha Allah. Karena itulah, seorang pengemis yang papa yang harus bersabar atas kemalangan nasibnya dan menerima keputusan Allah. Sedangkan orang yang kaya harta juga harus bersabar dan tidak menurut hawa nafsunya atas harta (kekayaan) yang telah diberikan Allah kepadanya. Uang dan semua bentuk harta kekayaan yang lainnya merupakan salah satu bahan untuk menguji manusia, sehingga mereka bisa diberi pahala atau dijatuhi hukuman menurut amal perbuatannya masingmasing.
Keenam, sesungguhnya setiap orang mempunyai “batas” pengendalian diri tertentu. Dan soal batas pengen-dalian diri ini hanya Allah sajalah yang tahu persis kadarnya. Ada orang, yang bila dikaruniai banyak harta kekayaan, mungkin ia tidak mampu mengendalikan nafsu jahatnya, ia jadi gampang mendurhakai Allah dengan harta kekayaannya. Oleh karena itu, fakta membuktikan, Allah ‘tidak’ mengaruniai orang jenis ini dengan banyak harta kekayaan karena Allah sangat menyayanginya.
Ketujuh, tidak jarang orang-orang yang dikaruniai kekayaan, mereka hanya akan membangkang, menjadi sombong dan menyebarkan kejahatan di muka bumi. Maka dengan menjadikan orang-orang yang berbeda-beda jenisnya, Allah telah memastikan bahwa pembang-kangan semacam ini, meski terjadi, tidaklah bersifat menerus dan universal.
Dan akhirnya, orang-orang Muslim yang saleh, pastilah menerima segala ketetapan Allah dan mengikuti setiap petuah Rasulullah. Sebagai penutup, mari kita renungkan bersama-sama sabda Nabi,
“Lihatlah orang-orang berada di bawah kamu (dalam harta dan pangkat) dan janganlah melihat orang-orang yang di atas kamu, karena dengan demikian, kamu tidak akan meremehkan rahmat-rahmat Allah atas kalian.” (HR. Bukhari).
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#21_Pesan_Alqur’an
#Pujilah_Segala_Kebijakan_Allah