khazanah
Oleh: Syaiful Anwar
“Jangan harap Tuhan sudi menghamburkan waktu-Nya untuk menyediakan manusia tetesan rahmat-Nya, bila manusia tidak memperlihatkan kebersyukuran dan penghargaan.”
Setiap kita menginginkan hadirnya rahmat dalam kehidupan dan terjauhnya azab. Rahmat berarti segala kebaikan dan kebalikannya adalah segala bentuk penderitaan. Maka menghilangnya rahmat berarti datangnya yang lain, azab.
Apa penyebab hilangnya rahmat dan bagaimana menghadirkannya kembali? Di bagian ini akan kita bahas bersama.
Rahmat Allah Swt.–sebagaimana kita ketahui dari ajaran-ajaran-Nya–akan turun bagi mereka yang percaya adanya Tuhan, beriman, dan meng-aplikasikannya pada kehidupan sehari-hari. Kemu-dian memelihara dari perilaku buruk. Sebaliknya, azab akan menaungi apabila seorang kufur, tiada syukur, dan tiada memelihara diri dari kebusukan hati dan berbuat zalim.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf [7]: 96).
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Takutlah kamu akan siksa yang dihadapanmu dan siksa yang akan datang supaya kamu mendapat rahmat’, (niscaya mereka berpaling). Dan sekali-kali tiada datang kepada mereka suatu tanda dari tanda tanda kekuasaan Tuhan mereka, melainkan mereka selalu berpaling daripada- nya.” (QS. Yasin [36]: 45-46).
Mereka yang berada di kategori pertama, berada di naungan rahmat-Nya, tentu kehidupannya akan damai, tenang, aman; tidak ada dering telepon yang membuat jantung dag-dig-dug, tidak akan ada bayangan kejaran dosa dan kejaran hukum, dan senantiasa ber-kecukupan. Ia juga jauh dari kesusahan hidup, jauh dari penyakit jasmani dan rohani. Dan hal itu terjadi karena kita percaya–beriman– kepada Allah Swt.. Hasil keimanan kepada Allah Swt. adalah jaminan kecukupan hasrat dunia, jaminan perlindungan, dan jaminan keamanan dari hal-hal yang membuat kehidupan kita sulit.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan Kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, ‘Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu’. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memeroleh apa yang kamu inginkan dan memeroleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.” (QS. Fushshilat [41]: 30-31).
Sebaliknya, bagi mereka yang dicabut hak perlindungan, hak pertolongan, dan rahmat-Nya, maka kehidupannya akan susah. Permasalahan akan datang silih berganti. Kehidupannya tidak akan tenang, selalu gelisah, dan muncul penyakit-penyakit jasmani yang berawal dari kebusukan dan kekotoran hati. Diberita-kan Al-Qur`an, pelaku dosa dan maksiat akan dimasukkan Tuhan ke dalam neraka. Setiap mereka terkelupas, Allah Swt. gantikan dengan kulit yang lain untuk kemudian dikelupas ulang. Dan begitu seterusnya. Permasalahan demi permasalahan seakan tiada kunjung lari, hanya berubah wujud.
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat- ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa [4]: 56).
Maka sebaliknya siapa saja yang tidak menginginkan azab menaungi kehidupannya, hendak-nya ia tempuh dengan cara yang pertama. Yaitu mengimani Allah dan Rasul-Nya, mengaplikasikan keimanannya dalam bentuk ibadah vertikal dan muamalah horizontal. Saleh ritual, saleh sosial. Dan senantiasa menahan diri dari perbuatan yang akan membuat susah hidup. Insya Allah, bukan hanya surga akhirat yang kelak didapat, tetapi surga dunia pun akan diberi. Surga dunia berupa kebahagiaan dan ketenangan, hidup serba cukup, mau ini ada, mau itu ada, dan sebagainya.
“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman.” (QS. An-Nisa [4]: 57).
Keimanan adalah sebuah keharusan kita berbuat bukan hanya yang terbaik bagi kita, tetapi bagi sebanyak- banyaknya manfaat untuk orang banyak. Karena keimanan adalah bentuk ketauhidan yang berasal dari kalimat lâ ilâha illallâh, tidak ada Tuhan selain Allah. Penanaman kalimat ini di dalam hati akan memancarkan sifat-sifat ketuhanan pada diri orang tersebut sehingga mampu memberikan pen-cerahan dan pengabdian bagi sesama.
Dalam firman Allah Swt., konsep ketauhidan dan keimanan, bak sebuah pohon yang menghunjam ke dasar bumi akarnya dan menjulang tinggi cabangnya ke langit. Dengan demikian–di antaranya–kesabaran akan menjadi penguatnya dan manfaat akan menjadi buahnya.
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrâhim [14]: 24-25).
Sebaliknya, ketiadaan tauhid akan menyebabkan hati seseorang menjadi keras, seluruh panca indera berjalan dengan fungsi dan arah kekufuran. Kehidupannya hanya akan dipergunakan demi sebesar-besarnya kemakmuran diri sendiri. Dan pastilah orientasi kepentingan pribadi akan membuat mata terpejam dengan kepentingan orang lain. Maka bisa dipastikan, keberadaannya akan membuat bumi menjadi panas dan langit ingin segera turun menghimpit orang itu biar lenyap semua penderitaan di bumi.
“Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.” (QS. Ibrâhim [14]: 26).
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa keimanan adalah bukan saja menjaga hubungan dengan Allah Swt. dan memisahkan seseorang dari kehidupan normal. Justru keimanan –dengan muamalah yang baik– harus membawa sebanyak-banyaknya manusia yang lain kepada keridhaan- Nya.
Untuk mereka yang merasa saat ini hidupnya dinaungi awan gelap, untuk mereka yang pernah memperlihatkan ketidakbersyukurannya, ketiadaan penghargaan, dan terima kasihnya terhadap apa yang diberikan Tuhan, maka jangan harap Tuhan bersedia menghambur-hamburkan waktunya kecuali dengan upaya kembali kepada-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasûhâ (taubat yang semurni- murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang- orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, ‘Ya Rabb kami, sempurna-kanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. At-Tahrim [66]: 8).
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhan- mu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (QS. Hud [11]: 3).
Tidak ada yang sanggup menerima pencabutan rahmat, tidak ada yang kuat menerima kejaran dosa.
Kecuali bagi mereka yang memiliki kesabaran dan perbuatan-perbuatan baik. Karena jelas godaan hidup pasti akan datang setiap saat, kebutuhan mendesak selalu saja bisa hadir setiap saat. Tanpa kesabaran, maka keimananlah akan sia-sia. Tanpa kesabaran, maka kenikmatan akhir tidak akan pernah kita rasakan dan kita terima. Tidak akan pernah!
Apabila godaan datang, ketika hasrat dunia begitu menggelora, maka ingatlah untuk berlindung kepada Tuhan Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dengan doa. Tanpa perlindungan-Nya, kita bisa tergelincir.
“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat [41]: 36)
Allah Swt. memang menyukai orang-orang yang lurus, tetapi Dia lebih menyukai mereka yang kembali setelah kesesatannya. Sebagaimana Dia suka terhadap orang kaya yang gemar berderma, tetapi lebih suka terhadap orang miskin yang tahu diri dan rajin berderma.
Mereka yang telah melewati masa kejahilannya dan memulainya dengan langkah pertaubatan, kehidupan buruknya akan diganti dengan kehidupan yang jauh lebih baik, dicabut azab-Nya kemudian dikaruniai dengan rahmat-Nya.
Tuhan bisa segala hal. Pasti! Tuhan juga sanggup berbuat apa saja. Itu sudah jelas! Karena Dia adalah Allah, Tuhan segala ‘tuhan’ dan Dia adalah pemilik alam ini berikut segala isinya –termasuk kita dengan segala macam persoalan hidup dan kehidupan–. Maka bila Dia bilang akan mengubah segala kehinaan menjadi kejayaan dan keburukan menjadi kebaikan, sangatlah mungkin –dan bahkan pasti adanya– bahwa demikianlah karunia terbesar bagi orang-orang yang kembali; mengakui kesalahannya, menerima peng-hukumannya, dan menghadapi dengan lapang dada dan kesabaran.
Contoh sederhana bisa dicuplikan sebagai berikut; korupsi adalah perbuatan buruk. Kemudian terjadi sesuatu yang diyakini sebagai karma, sebagai akibat, yaitu pengejaran dan perubahan status, dari orang yang terhormat menjadi tersangka. Dari orang yang merdeka menjadi terhukum. Lalu di penjara. Dan penjara juga menjadi suatu keburukan. Akan tetapi kemudian di dalam sel itu ia ‘menemukan’ Tuhan, maka ia akan dianugerahi perasaan indah yang bisa jadi tidak ia temukan di kehidupan sebelumnya, meski berbaju kemewahan.
Diawali dengan tangisan indah, ia akan rasakan di hati dan di keseluruhan tubuhnya, keindahan ‘kebaikan’ Tuhan. Seketika, sel yang pengap lagi sempit akan menjadi tempat berkhalwat yang luar biasa menyejukkannya.
Ketika orang lain menaruh iba akan kedaaan seperti itu, ia bisa berdiri tegak dan membelai orang yang mengasihinya tersebut, bahwa kehidupannya saat ini malah lebih indah dari kehidupan liar sebelumnya. Kurungan baginya –setelah pencerahan datang– akan lebih terasa sebagai keinginan Tuhan untuk berlama-lama ‘duduk’ dengannya. Dan kematian saat itu pastilah sesuatu yang teramat diinginkannya. Bukan lantaran keputusasaan. Melainkan lantaran kerinduan yang sangat.
Tersangka itu mendapatkan anugerah yang begitu besar, yang tidak semua orang bisa rasakan. Perasaan kedekatan Yang Maha Mengembuskan Kesejukan. Terpidana itu berhasil mendapatkan kebebasan yang hakiki, kebebasan fitri. Yaitu kebebasan hati meski jadwal kebebasan fisik belum lagi sampai.
Berbahagialah orang-orang yang kembali, kembali kepada Tuhan, kembali kepada kefitrian hati.
Ini baru contoh kecil. Seputar perasaan. Tetapi coba lihatlah bila mereka yang terpidana–dalam contoh di atas– mati rasa, tidak sanggup menemukan Tuhan di dalam sel, di dalam dadanya, maka makin susahlah ia. Semakin menderita dia. Perasaan malunya lebih besar ketimbang penyudahan akan sifatnya. Perasaan gengsinya masih lebih besar ketimbang niat untuk mengubah ujian menjadi nikmat dan azab menjadi rahmat. Jadilah ia gerasa-gerusu, mengatur dari balik selnya jalan keluar bagi kebebasannya. Kembali ia tempuh segala kebohongan dan tindakan mereka-yasa hukum. Ia masih menghendaki kebebasan semu ketimbang kebebasan hakiki yang diberikan Tuhan.
Hati yang lapang, di mana pun berada akan berada dalam kelapangan. Hati yang nyaman lagi tenteram, di mana pun berada dan kondisi apa pun adanya, maka ketenteraman tetap memancar hingga ke raut muka.
Begitulah bila Tuhan sudah menginginkan perubahan terjadi pada seseorang. Maka orang-orang yang diberi kelapangan hati dan diberi sikap penerimaan yang benar, sakitnya, lebih dirasa sebagai penebusan segala sesal, segala salah. Kemiskinan dirasa sebagai kekayaan yang tertunda dan kesenang-an yang diakhirkan Tuhan. Kekurangan dirasa sebagai jalan agar dia terus-menerus bergantung dan berharap pada Tuhannya.
Ringkasnya, proses pengharapan rahmat-Nya turun kembali adalah permohonan maaf dan ampun-an, pengakuan kesalahan, menghentikan langkah-langkah dan perilaku buruk, serta berjalan dalam kebaikan. Insya Allah, kebaikan yang kita inginkan akan terwujud.
Perlulah kita sama belajar dari kesalahan Adam dan Hawa, setelah mereka berdua menyadari kesalahan dan kekeliruan mereka. Mereka bermunajat. Munajat mereka merupakan sebuah penyesalan Adam dan Hawa yang mereka ubah menjadi sebuah kekuatan doa yang indah, yang bisa menyayat hati. Utamanya bagi kita yang pernah merasakan penyesalan serupa. Sungguh munajat ini terdengar menyentuh kalbu bagi kita yang pernah merasakan kerasnya azab Tuhan.
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf [7]: 23).
Lihatlah munajat di atas dalam teks aslinya. Resapi kalimat tekstualnya sesuai dengan yang tertera dalam bahasa aslinya, dalam Al-Qur`an. Betapa Adam a.s. dan Hawa meratap melalui kalimat doa dalam ayat tersebut, membuat pengakuan telah menganiaya diri sendiri. Adam a.s. dan Hawa tidak menyalahkan setan dan orang lain, melainkan lebih mempersalahkan diri sendiri. Kemudian mereka memuji Tuhannya seraya mengharapkan ampunan dan rahmat dari Tuhannya.