Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
“Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri- negeri di sekitarmu dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang supaya mereka kembali (bertaubat).” (QS. Al-Ahqâf [46]: 27).
Anda barangkali pernah melihat film fiksi ilmiah Hollywood tentang kehancuran bumi dan alam semesta. Penggambaran kepanikan yang luar begitu apik. Menggambarkan ketakutan yang luar biasa lengkap dengan proses tunggang-langgangnya penyelamatan diri.
Demikianlah, bahkan sangat bisa jadi lebih dahsyat kejadiannya. Menjadi sunnah-Nya, apabila kehancuran massal tiba, maka saat itu orang sudah tidak lagi memedulikan harta dan bahkan kerabat dan keluarga. Kita saksikan berita dan kita baca suguhan bencana. Ketika bencana datang atau terjadi kerusuhan di sebuah daerah misalnya, banyak manusia ‘terusir’ yang tidak lagi peduli dengan harta benda yang mereka kumpulkan, yang penting bisa keluar dengan selamat. Di bumi yang rusuh, pilihan menyelamatkan diri menjadi lebih penting. Atau contoh yang lebih kecil ketika kebakaran sudah tidak terelakkan, maka keselamatanlah yang nomor satu. Tidak peduli mereka –kelak– memandang nanar pembumihangusan peluh keringat mereka selama ini. Yang penting bisa selamat!
Semua itu baru di dunia dan tergolong ‘kiamat kecil’. Bagaimana lagi dengan tibanya kiamat besar ketika sesungguhnya terjadi manusia bagaikan hempasan kapas, gunung-gunung ‘diterbangkan Tuhan’ bagaikan bulu, dan lautan betul-betul ditumpahkan ke daratan?
“Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.” (QS. Al-Qâri’ah [101]: 4-5).
“Dan apabila lautan meluap.” (QS. At-Takwir: 6 dan di dalam QS. Al-Infithâr: 3 memakai kata fujjirat –makna yang sama–, diluapkan, Wallahu A’lam).
“Ainal mafar?” Ke mana kita akan berlari? Tidak akan ke mana-mana! Karena kita tidak akan bisa menghindar kecuali terdiam dan bersimpuh memohon ampun dan bahkan kulit bergemetar, ikut membantu meneriakan teriakan ketakutan, atau bahkan mungkin lidah sudah tidak sanggup berkata-kata!
Sungguh, orang-orang yang menentang Allah Swt. dengan segala penyimpangannya akan merasakan ‘kiamat kecil’ di dunia ini. Ia akan disiksa dan dihancurkan, dilemparkan ke jurang kehinaan. Men-jadi ‘ibrah bagi umat setelahnya.
Kaum Ad dibinasakan dengan angin topan yang sangat dingin. Kaum Tsamud dibinasakan dengan suara yang amat keras. Terhadap kaum Luth a.s. dan Syu’aib a.s. di antaranya kejahatan penyimpangan seksual– dan terhadap
pelanggaran yang berkali-kali mereka lakukan dan pengabaian terhadap utusan-utusan dan ajaran Tuhan, maka mereka dikenakan gempa yang meluluhlantakkan seluruh jengkal negeri yang mereka diami.
Lihatlah ‘nasib’ mereka yang menantang Allah a.s. dengan segala rupa tingkah laku yang menyimpang. Bermacam bencana Allah a.s. timpakan sesuai dengan tingkat kezaliman dan sekaligus ‘penunjukan’ Tuhan bahwa Dia bisa berbuat bermacam cara; ada yang Allah Swt. tenggelamkan, ada yang dibenamkan ke dasar bumi, dikirim badai angin topan, hujan batu, halilintar, dan sebagainya. Semua itu menunjukkan lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâh, tidak ada kekuatan selain kekuatan-Nya.
Satu hal yang pasti, bahwa Allah Yang Maha Rahman Maha Rahim tidak akan menganiaya seseorang, melainkan karena perbuatan dia sendirilah yang menyebabkannya menjadi terhukum.
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan- kesalahanmu). Dan kamu tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di muka bumi, dan kamu tidak memeroleh seorang pelindung dan tidak pula penolong selain Allah.” (QS. Asy-Syûrâ [42]: 30-31).
Tidak akan ada asap bila tidak ada api, tidak akan ada bau busuk bila tidak menyimpan bangkai. Manusia tidak akan bisa lari dari segala perbuatan-nya; perbuatan baik akan digelari kebaikan, perbuatan buruk akan dipentaskan
keburukannya. Ibarat emas yang digadaikan, manusia ‘digantung’ dengan segala lelakunya.
Ibarat menggoda anjing, maka kita akan dikejar tiada henti hingga kita berhenti berdiam diri, terkejar atau sang anjing berhenti mengejar. Begitu pula perbuatan dosa. Ia akan selalu mengejar ke mana pun kita berlari. Pengejarannya bisa berupa kesialan –hilang berkah– atau berupa kegelisahan. Hingga kemudian kematian mengistirahatkan sebentar pengejaran dosa. Sebelum berlanjut kembali.
Pengejaran akibat perbuatan buruk bisa dihenti-kan di dunia dengan mengikarkan pertaubatan dan penghentian langkah kemaksiatan.
Indonesia banyak tanda-tanda dan peringatan –berupa musibah dan bencana– yang ‘diberikan Tuhan’, agar mengingat akan kerinduan rahmat-Nya kembali.
Kegagalan panen terjadi di mana-mana. Panen, tetapi anjlok harga menjadi berita ‘biasa’. Kekeringan melanda sejumlah daerah. Panas dan kemarau semakin menjadi. Seolah alam ini tidak seimbang dan menampakkan ‘protesnya’.
“Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?’”. (QS. Al- Mulk [67]: 30).
Hujan semakin langka turun. Sekalinya turun, terus- menerus. Betapa kerusakan dan eksploitasi alam tanpa konsep keseimbangan –demi apa yang dikatakan industrialisasi, penambangan, dan entah istilah ekonomi apa lagi– telah membuat alam menjadi tidak lagi seimbang. Rasanya kita sudah tidak lagi menghargai Zat yang telah menciptakan alam yang indah ini. Pantaslah rasanya, jika Dia dan alam ciptaan-Nya juga tidak lagi berpihak kepada hajat manusia penghuninya.
Kondisi kejiwaan masyarakat menjadi labil, rentan, dan rawan kerusuhan sosial. Emosi gampang tersulut oleh hal-hal ringan dan sepele. Permusuhan sering terjadi karena hal yang bahkan tidak prinsip.
Kelaparan dan kemiskinan mudah ditemui di setiap sudut jalan. Jerit tangis bayi yang kehausan lantaran si ibu sudah tidak memiliki air susu lagi terdengar di mana-mana. Anak-anak yang tidak dapat bermain lagi karena lemas belum makan, berkeliaran, bertebaran. Pengangguran di mana-mana melahirkan kerumunan orang-orang yang tidak produktif dan rawan perbuatan amoral. Dan sejuta lainnya yang membuat air mata menetes.
Tegakah kita membiarkan mereka ikut menang-gung beban perbuatan kita yang zalim? Sukakah Anda melihat senyum menghilang dari wajah-wajah mereka? Menggambarkan keburaman, mengguratkan kegeraman, akibat perbuatan kita. Bisa jadi, mereka hanya ikut menanggung duka lantaran kesukaan yang kita hambur- hamburkan. Sangat bisa jadi, mereka hanya ikut menanggung ‘kemarahan alam’ setelah eksploitasi
dilakukan oleh dan hanya untuk segelintir orang. Sementara itu, hukuman pelaku penyebab sebenarnya hanyalah berupa gelaran sidang palsu.
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan- Nya.” (QS. Al-Anfâl [8]: 25).
Tuhan memberi tahu, bahwa segala tindakan kita selalu punya dampak sosial yang luar biasa. Jangan anggap kita bisa merobek-robek uang sendiri–baik dalam arti kiasan maupun sesungguhnya–karena perbuatan itu tetap saja akan menghentikan peredaran uang yang kita robek. Atau mentang-mentang harta sendiri lalu dengan seenaknya kita bakar seluruh kepunyaan kita dan dianggap ‘selesai’ semua urusan. Nanti dulu! Selalu saja ada keterkaitan orang di sana. Jika demikian adanya, maka apalagi jika kita merugikan orang lain yang jelas-jelas sudah nyata memang merugikan orang lain. Dan imbasnya bukan hanya merugikan orang tersebut secara langsung, tetapi berpuluh- puluh hingga mungkin ratusan orang di sekitarnya.
Sekarang, bayangkan bila tindak kejahatan itu dilakukan oleh tokoh sentral suatu bangsa, oleh pejabat suatu pemerintahan. Dan silakan bayangkan bila tindakan bodoh dilakukan oleh tokoh utama sebuah masyarakat. Jelas kesalahan mereka berbeda dengan kesalahan yang dilakukan oleh manusia biasa, rakyat biasa. Jelas kebodohan tidak boleh terjadi. Fatal akibatnya! Kesalahan mereka berarti neraka bagi segenap manusia yang
dipimpinnya. Kebodohan mereka adalah kesia-siaan bagi rakyat-nya. Karenanyalah kebijaksanaan dan kehati-hatian sangat diperlukan bagi rakyatnya. Karenanyalah kebijaksanaan dan kehati-hatian sangat diperlukan bagi seorang pemimpin.
Pantaslah kiranya ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz diserahi jabatan khalifah, ia berkata, “Neraka ada di depanku.”
Bukan bermaksud pesimis dan ketakutan di antara gerak para pemimpin, tetapi semoga lebih hati-hati. Perkataan sembarang para pemimpin bisa menimbul-kan gejolak sosial, ekonomi, dan politik yang luar biasa. Tindakan para pemimpin bisa membuat bangsa ini melaju cepat, tetapi juga bisa menjerembapkan seketika. Hukum bisa menjadi perisai, bisa juga menj-adi pedang. Tinggallah kita berharap, bahwa tersisa nurani yang masih fitri dan masih berbekas kepedulian terhadap nasib rakyat.
I’tibar yang hendak diambil dari pengisahan suatu umat dan individu-individu yang dihempaskan Tuhan adalah agar kita menyadari ketidakgunaannya berlaku seperti mereka itu. Contohnya, kisah pen-deritaan Fir’aun dan keluarganya. Mereka ini mengalami gagal panen, kemarau berkepanjangan dan kekeringan serta kekurangan sumber daya alam, pertanian, perkebunan yang menyebabkan pos-pos pemasukannya menjadi kering. Fir’aun jelas mem-punyai sifat lupa diri dan sombong; bahwa segala yang didapatnya di luar campur tangan Tuhan, yang oleh karenanya Tuhan tiada hak –menurutnya– ikut campur mengatur segala penggunaan kekayaannya.
“Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir’aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-A’raf [7]: 130).
“Maka Kami kirimkan kepada mereka topan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa.” (QS. Al-A’raf [7]: 133).
Jadi, siapa saja yang memiliki sifat-sifat seperti mereka yang sudah dikisahkan di atas, maka bersiap-siaplah menerima kejaran perbuatannya.
Sebagai manusia, tentu kesalahan demi kesalahan kadang tidak bisa kita hindari. Dan seringkali didasarkan dengan kalimat, “namanya juga manusia!” Maka membiasakan diri mengucapkan istighfâr (astaghfirullâh al- ‘azhîm) akan membuat hati kembali bersinar dan kita menjadi sebenar-benarnya manusia.