Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Pada suatu hari Malaikat Jibril mendatangi Nabi Muhammad Saw. Kedatangan Jibril berkenaan dengan kelahiran putra beliau bernama Ibrahim. Ibrahim dilahirkan dari rahim Mariah Qibitiyah, istri beliau, seorang bekas budak dari Mesir. Rasulullah begitu sukacita menyambut kelahiran bayi laki-laki yang amat didamba-dambakan itu. Kepada Nabi Muhammad, jibril berpesan, “Yâ Muhammad, isy mâ syi‟ta fainnaka mayyitun, wa ahbib man syi‟ta fainnaka mufarriquh; wa‟mal mâ syi‟ta fainnaka mujrabin–Hai Muhammad, hiduplah sesukamu tetapi ingat kamu akan mati; cintailah siapa pun semaumu tetapi ingat kamu akan mati; cintailah siapapun semaumu tetapi ingat kamu pasti berpisah dengannya; dan berbuatlah sekehendakmu tetapi ingat kamu akan dibalas dengan yang setimpal.”
Dan, mahabenar Allah atas ucapan itu. Beberapa hari kemudian, Ibrahim–putra kesayangan Rasulullah Saw–meninggal dunia. Nabi Saw. berdukacita atas kepergian putranya ke alam baqa. Langit pun mendung saat putra Rasulullah ini diturunkan ke perut bumi. Rupanya, secercah sukacita belum sempat kering dinikmati, langsung dibalas dengan dukacita. Itulah pembalasan yang setimpal.
Cerita ini menggambarkan dengan tepat tentang “pertemuan” dan “perpisahan” bagi manusia adalah soal perputaran waktu, soal giliran. Di mana, suka dan duka hanyalah rasa batin yang berubahubah, sekaligus absurd dan nisbi belaka. Ia cuma sebatas „permainan‟ dan „senda gurau‟ dunia. Datang dan pergi begitu saja. Terkadang, ia harus meninggalkan kenangan manis, kadang pula ia menggoreskan kekecewaan mendalam. Kita hanya bisa terpanah dibuatnya. Suatu saat, kita begitu gagah melayang tinggi di angkasa raya; tetapi pada saat lain, kita terpuruk jatuh ke perut bumi tiada berdaya.
Begitulah hidup. Tangis dan tertawa, bahagia dan sengsara, suka dan duka, tipis sekali bedanya. Barangkali di antara ada yang pernah menghadapi peristiwa yang sama. Kita tidak pernah bertanya bagaimana perasaan mereka tatkala peristiwa itu datang dan langsung merenggut kebahagiaan yang sedang mereka nikmati. Sudah pasti ada kegoncangan dan keputusasaan tertemukan di sana. Sudah tentu ada kepedihan dan kepiluan mendalam dideritai di sana. Tetapi bagaimana caranya agar hal itu diterima sebagai peringatan, sebagai ujian atas kualitas kebertauhidan kita kepadaNya. Bahkan, siapa tahu, ia justru akan menaikkan derajat orang yang diuji oleh Dia Yang Mahakuasa. Bukankah Tuhan mengatakan bahwa Kami tidak akn menaikan derajat seorang hamba sebelum Kami mengujinya? Tentu saja, menjadi dambaan semua insan bahwa setiap ujian, insya Allah, menjadi tertanda baik bagi yang bersangkutan, bukan sebaliknya.
Sebagai manusia biasa, wajarlah kalau kita “terpukul” manakala musibah tiba-tiba menghunjam kebahagiaan hidup kita. Namun, keterpukulan itu tidak harus membuat kita kehilangan akal sehat. Tatkala menghadapi situasi sulit dan berat serupa itu, kita dimintai oleh Allah untuk bermohon kepada-Nya, agar beban itu diringankan, agar ujian itu disesuaikan dengan kemampuan dan kapasitas diri kita masing-masing. Jangan sampai Allah menurunkan ujian yang tidak sanggup memikulnya.
Bila itu terjadi, maka sebuah isyarat bahwa kita telah melampaui batas, sebuah peringatan bahwa kita telah melenceng terlalu jauh. Karenanya, balasan terberatlah yang dianggap paling masuk akal untuk melunasi utang „kenakalan‟ kita. Itulah sebabnya, di saat suka, kita harus ingat bahwa duka sedang mengincar. Bersikap tawadhu‟ (rendah hati) di kala suka, dan berlaku sabar (santun) di saat duka adalah sikap manusia “agung” yang paling mengesankan. Mudah-mudahan kita mampu mewujudkan pribadi seperti itu dalam gerak sosial kita sehari-hari.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Goresan_Hikmah
#Ketika_Nabi_Berpisah_Dengan_Ibrahim