Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Jika kita telah menganggap cinta sebagai anugerah yang mulia, maka memadukannya dengan cinta sesama akan semakin membuat mulia kedudukan anugerah tersebut, bahkan juga terhadap orang yang telah dianugerahi nikmat itu.
Jika seseorang memiliki benda dalam hitungan banyak kemudian ia kehilangan salah satunya maka sudah menjadi kebiasaan watak dasar manusia, tentu ia akan segera mencari benda yang hilang itu. Jika ia ada di dalam air sebagai sesuatu yang diburu manusia seperti intan dan permata maka mereka tidak segansegan untuk mencarinya. Jika ia terpendam di dalam lautan pasir, mereka tak akan segan menjelajahinya, tentu mereka akan mengulangi penjelajahan tersebut sampai ditemukan apa yang dicarinya.
Bagaimana jika yang hilang itu adalah sebuah cinta? Bagaimana bila yang terkubur sangat dalam adalah anugerah bernama cinta? Karena, cinta adalah fondasi dasar persaudaraan. Persaudaraan yang tidak menyaratkan hubungan darah, kekerabatan, ikatan suku, kabilah, ikatan kedaerahan, atau fanatisme lainnya. Ia tumbuh dari hati dan berkembang subur di sana pula.
Kuatnya fondasi saling memahami inilah yang akhirnya sanggup menggerakkan bibir untuk menyenandungkan sebuah doa,
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10).
Buah cinta ini bukan hanya terasa ketika perpaduan cinta tersebut terjadi dan dirasakan di dunia oleh orang-orang beriman. Namun, ketulusan cinta yang dibingkai dalam persaudaraan ini akan mengantarkan pada berbagai keteduhan:
Pertama, keteduhan dalam naungan Allah di hari ketika tiada naungan melainkan naungan Allah semata. Abu Hurairah meriwayatkannya. Rasulullah menyabdakan, ”Ada tujuh golongan yang dinaungi Allah pada hari tiada naungan sama sekali melainkan naungan-Nya……dan, dua orang lelaki yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah karena (di jalan Allah)….”
(HR. Bukhari Muslim)
Kedua, keteduhan ini berlanjut dengan terbukanya jalan menuju surga Allah. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. Rasulullah Saw. bersabda, ”Demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak mampu beriman sampai kalian mencintai di antara sesama….” (HR. Muslim).
Ketiga, keteduhan menapaki tempat yang mulia lagi sangat tinggi. Sahabat Mu‟adz bin Jabal r.a. mengatakan, bahwa ia mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ”Allah mengatakan, orangorang yang saling mencintai karena kemuliaan-Ku bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya, yang membuat takjub para Nabi dan para Syuhada.” (HR. Tirmidzi) Mereka berada di atas mimbar yang tinggi dari cahaya. Sebagai balasan atas tingginya penguasaan diri di atas segala thagut dan kebatilan, serta mengalahkan nafsu mereka. Nafsu permusuhan, merasa tinggi di antara sesama, keangkuhan dan kedengkian yang membara. Semuanya terkalahkan oleh cinta yang teduh.
Keempat, membuahkan manisnya iman. Anas bin Malik r.a. meriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw., ”Tiga hal tidak ada pada seseorang, ia akan menemukan manisnya iman: Allah dan RasulNya lebih dicintainya dari yang selain keduanya, seseorang yang mencintai sesamanya. Ia tidak mencintai melainkan hanya karena Allah semata….” (HR. Bukhari Muslim).
Kelima, jalan meraih cinta abadi, cinta Allah SWT. Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi Saw. bersabda, ”Seorang laki-laki menziarahi saudaranya di sebuah desa, Allah menurunkan malaikat padanya. Ketika menjumpainya malaikat tersebut bertanya: Mau kemana Anda? Ia menjawab: Aku ingin ke tempat saudaraku di desa ini. Sang malaikat menanyakan kembali: Apakah Anda punya kepentingan atau keuntungan yang ada padanya? Sang lelaki menjawab: Tidak. Hanya saja, aku sungguh mencintainya karena Allah. Sang malaikat pun mengatakan: Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu untuk mengabarkan bahwa Allah telah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu karenaNya….” (HR. Muslim).
Di bawah keteduhan cinta dua orang seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubeir bin Awwam yang menyatu dalam perjuangan, dalam keadaan sulit atau sebaliknya. Keduanya pun syahid dalam waktu yang berdekatan, momentum yang sangat memilukan. Fitnah Padang Shifin menjadi saksi dua orang syahid yang telah dibukakan pintu surga untuk mereka berdua.
Kuatnya rasa cinta dengan tingginya rasa mengutamakan orang lain inilah yang membuat kisah para syuhada Uhud mengharukan para sahabat Rasulullah Saw. Ketika ada seseorang yang sedang terluka parah, ia memerlukan seteguk air yang ternyata sulit didapatkan dan tatkala ia hendak meneguk air tersebut, terdengar olehnya rintihan kepedihan di sampingnya maka niscaya ia akan memutuskan untuk mengurungkan meminum seteguk air itu. Ia teriakan untuk saudaranya. Begitu pula, ketika orang yang hendak diberi tersebut hendak meneguk pemberian saudaranya tadi, dan ia mendengar rintihan yang sama. Maka segeralah air itu ia alihkan untuk saudara di sampingnya. Demikian, sampai beberapa orang mengutamakan saudaranya. Akhirnya tidak ada seorang pun dari ketujuh orang yang terluka parah tersebut sempat meneguk air meski dahaga mereka terasa sangat. Karena panasnya dahaga tersebut telah kalaha oleh keteduhan cinta, yaitu mengutamakan saudaranya.
Ketika seorang tamu tak dikenal menghadap Rasul Saw. dalam sebuah majelis, Rasul pun mengatakan, ”Siapa di antara kalian yang akan menjamu tamuku hari ini?” Tanpa menunggu diulangnya pertanyaan tersebut, salah seorang sahabat Rasulullah berdiri mengutarakan kesediannya menjamu sang tamu.
Kemudian, dibawanya tamu tersebut ke rumahnya. Ia pun menanyakan pada istrinya, ”Punya apakah engkau istriku, untuk menyambut dan menjamu tamu Rasulullah?” Perempuan yang diajak bicara tersebut menyahut, ”Sungguh, kita tidak punya makanan, kecuali cukup untuk anak-anak kita!”
Ekspresinya tidak menandakan kesedihan atau penyesalan sedikit pun. ”Jika anak-anak meminta makan, tidurkanlah. Kemudian masaklah makanan itu untuk tamu Rasulullah. Kemudian matikanlah lampu. Aku akan berpura-pura makan di sisinya,” pesannya kemudian.
Inisiatif perlakukan sahabat terhadap tamu Rasulullah Saw. ini telah menembus tujuh lapis langit. Kemudian, Allah senantiasa mengetahui gerak hati hamba-Nya segera menurunkan firman-Nya:
”Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan apa-apa yang diberikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
Tidak ada pertalian darah antara kaum Anshar dan Muhajirin. Namun, kaum Anshar menerima Muhajirin sebagaimana menerima saudara sendiri. Bahkan mengutamakan mereka dari keperluan mereka sendiri.
Keteduhan cintalah yang memayungi hati mereka sehingga mampu menutup egoisme, kesukuan, permusuhan jahiliah, serta kedengkian yang disuarakan oleh orang-orang munafik dan musuhmusuh Allah.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#Energi_Cinta
#Keteduhan_Cinta