Digindonews.com, Pandeglang — 24 November 2025 Kementerian Kebudayaan RI menyelenggarakan Seminar Literasi Sejarah Indonesia di Kabupaten Pandeglang, Senin (24/11), sebagai upaya memperkuat literasi sejarah di tengah derasnya arus digital dan maraknya distorsi informasi. Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber utama yang menyoroti pentingnya menghidupkan kembali sejarah lokal dengan pendekatan digital.
Direktur Sejarah dan Permuseuman, Prof. Dr. Agus Mulyana, M.Hum, memaparkan bahwa percepatan digitalisasi di Indonesia harus dibarengi upaya pelestarian sejarah berbasis teknologi. Dengan 78% masyarakat telah terhubung internet — bahkan lebih tinggi di kalangan remaja — peluang memanfaatkan digitalisasi untuk pendidikan sejarah sangat besar.
“Sejarah sering kalah cepat dari konten viral. Banyak anak muda mengenal figur-figur selebriti digital, tetapi belum tentu mengetahui tokoh perjuangan di daerahnya sendiri,” ujarnya.
Prof. Agus juga mengingatkan ancaman hoaks sejarah yang semakin marak. Manipulasi foto, narasi palsu, dan misinformasi sejarah dapat menciptakan bias dan polarisasi.
“Literasi digital tanpa literasi sejarah sama berbahayanya dengan informasi tanpa konteks. Keduanya harus saling menguatkan,” jelasnya.
Narasumber lainnya, H. Ali Zamroni, menekankan bahwa minat baca sejarah yang rendah adalah persoalan nasional. Ia memberi contoh situasi di Pandeglang, di mana kekayaan narasi Kesultanan Banten dan perjuangan tokoh-tokoh lokal belum terintegrasi dalam pembelajaran.
Di sekolah-sekolah, guru sejarah mulai mengembangkan model pembelajaran baru seperti proyek dokumentasi digital budaya desa, video pendek, dan museum virtual. “Hasilnya sangat positif. Ketika siswa diajak menjadi peneliti muda, mereka lebih antusias,” ungkapnya.
Sementara itu, akademisi Suparta menyoroti minimnya dokumentasi digital terhadap tradisi lokal. Banyak kisah turun-temurun di Pandeglang — dari sejarah kampung hingga perjuangan melawan kolonial — hanya tersimpan dalam ingatan para sesepuh.
“Jika tidak direkam, dalam satu generasi cerita-cerita itu bisa lenyap. Ini bukan hanya soal sejarah, tapi soal identitas,” tegasnya.
Ketiga narasumber sepakat bahwa pemerataan akses digital tetap menjadi tantangan terutama di wilayah selatan Pandeglang seperti Cikeusik dan Panimbang, di mana infrastruktur internet belum maksimal.
Meski demikian, mereka percaya bahwa kolaborasi pemerintah daerah, sekolah, pesantren, komunitas sejarah, dan kreator digital dapat mempercepat digitalisasi sejarah lokal. Hal ini tidak hanya memperkuat identitas generasi muda, tetapi berpotensi mengembangkan ekonomi lokal berbasis tur sejarah dan konten edukasi.***


