Jakarta, 19 Juni 2025 —Gejolak yang terus memanas di kawasan Timur Tengah, terutama konflik bersenjata antara Iran dan Israel, menandai babak baru dalam peta geopolitik global. Situasi ini tidak hanya menimbulkan ancaman terhadap stabilitas kawasan, tetapi juga menimbulkan dampak domino terhadap keamanan global, harga energi dunia, dan keseimbangan ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Menanggapi situasi ini, Direktur Center for Strategy and Information (CSI), Edy Syahputra, menekankan pentingnya ketegasan dan kesiapan pemerintah Indonesia, khususnya di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Prabowo Subianto. Dalam pernyataannya, Edy menyoroti dua isu strategis yang perlu diantisipasi secara simultan: potensi perang digital dan dampak ekonomi akibat fluktuasi minyak dunia.
“Perang di masa kini tidak lagi hanya terjadi di medan tempur fisik, tetapi juga berlangsung di ranah digital. Serangan siber terhadap infrastruktur vital, manipulasi informasi, hingga sabotase sistem keuangan bisa menjadi bagian dari strategi militer modern. Indonesia tidak boleh lengah dan harus memperkuat pertahanan siber dan teknologi digital nasional,” ujar Edy Syahputra.
Menurut CSI, Indonesia saat ini masih belum memiliki sistem pertahanan siber yang terintegrasi dan tangguh secara menyeluruh. Keamanan data negara, sistem komunikasi pertahanan, dan infrastruktur strategis seperti listrik, perbankan, serta transportasi harus menjadi prioritas untuk diperkuat dalam skenario pertahanan digital masa depan.
Edy juga menekankan perlunya modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) dan pembangunan ekosistem riset teknologi pertahanan berbasis kecerdasan buatan, komputasi kuantum, serta drone tempur otonom. Transformasi ini, kata Edy, hanya bisa dicapai melalui kemauan politik yang kuat dan pengalokasian anggaran pertahanan yang efisien dan progresif.
Selain aspek militer, Edy memperingatkan bahwa perang di Timur Tengah akan memberikan tekanan signifikan terhadap ekonomi nasional, terutama melalui lonjakan harga minyak mentah dunia.
“Ketergantungan Indonesia pada impor minyak membuat perekonomian kita rentan terhadap konflik kawasan. Harga BBM naik, inflasi meningkat, dan daya beli masyarakat melemah. Presiden Prabowo harus memiliki skenario mitigasi yang konkret untuk menghadapi risiko ini,” jelasnya.
Beberapa langkah yang disarankan oleh CSI antara lain: percepatan transisi energi ke sumber daya terbarukan, diversifikasi mitra dagang strategis, serta penguatan cadangan energi nasional. Selain itu, perlu adanya diplomasi ekonomi yang adaptif guna menjaga stabilitas perdagangan dan arus investasi di tengah ketidakpastian global.
Sebagai lembaga riset strategis, CSI mengingatkan bahwa Indonesia harus belajar dari dinamika global dan tidak hanya bersikap reaktif. Kesiapsiagaan nasional—baik di bidang pertahanan, teknologi, maupun ekonomi—harus menjadi bagian integral dari visi besar kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
“Indonesia tidak boleh sekadar menjadi penonton dalam percaturan global. Ketangguhan bangsa hanya bisa dibangun dengan kecerdasan strategi dan keberanian eksekusi,” tutup Edy Syahputra.