Digindonews.com, Jakarta — 12 Desember 2025. Wakil Dekan Fakultas Teknik Unika Atmajaya, Didi, S.E., Ak., M.Ak., CA., menegaskan bahwa stunting merupakan persoalan multidimensional yang tidak bisa diselesaikan hanya melalui intervensi kesehatan. Hal itu disampaikan dalam kegiatan Ngobrol Bareng Legislator bertema Pencegahan Stunting, Jumat (12/12).
Mengutip UNICEF, Didi menjelaskan bahwa stunting adalah kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi yang kurang dalam 1.000 hari pertama kehidupan. “Ini bukan soal keturunan pendek. Ini soal perkembangan otak dan masa depan produktivitas anak,” tegasnya. WHO bahkan mengategorikan stunting sebagai kondisi medis dengan risiko jangka panjang terhadap pendidikan dan pendapatan.
Menurut Didi, stunting di Indonesia berkaitan erat dengan kemiskinan, sanitasi, pendidikan gizi, dan ketimpangan akses layanan kesehatan. Banyak ibu hamil kekurangan gizi, jarang memeriksakan kehamilan, atau mengalami anemia. Setelah anak lahir, tantangan lain muncul: ASI eksklusif tidak diberikan, MPASI tidak bergizi, imunisasi tidak lengkap, serta lingkungan yang tidak higienis.
“Ini efek domino. Kalau sanitasi buruk, anak sering diare. Kalau sering diare, gizi tidak terserap. Kalau gizi tidak terserap, anak berisiko stunting,” jelasnya.
Meski demikian, ia menekankan bahwa stunting dapat dicegah melalui kolaborasi semua pihak. Menurutnya, keluarga adalah aktor pertama yang harus diperkuat melalui edukasi gizi, pemeriksaan rutin, dan pengelolaan lingkungan sehat. Pemerintah telah menjalankan berbagai program, termasuk penguatan posyandu, regulasi layanan ibu-anak, dan kampanye publik gizi seimbang, namun tantangan pemerataan edukasi masih mengemuka di daerah-daerah terpencil.
Dunia usaha, kata Didi, memiliki peran strategis melalui program CSR, seperti penyediaan makanan bergizi, fasilitas air bersih, hingga dukungan bagi kesejahteraan keluarga karyawan. Selain itu, sekolah perlu memastikan keberadaan kantin sehat, edukasi gizi, serta pemantauan kesehatan secara berkala agar pola hidup sehat terbentuk sejak dini.
Didi juga menyoroti pentingnya literasi digital untuk menangkal hoaks seputar gizi dan kesehatan anak yang kerap beredar di media sosial. “Keluarga harus memeriksa sumber informasi dari lembaga resmi, bukan dari konten kreator tanpa kompetensi,” tegasnya.
Ia menilai program nasional seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dapat semakin memperkuat pencegahan stunting jika berjalan tepat sasaran dan didukung masyarakat. Namun ia mengingatkan bahwa upaya ini harus dibarengi kebiasaan hidup sehat dan informasi gizi yang benar di tingkat keluarga.
“Pencegahan stunting adalah investasi jangka panjang. Kita tidak bisa bicara Indonesia Emas 2045 jika masalah ini tidak diselesaikan sekarang,” ujarnya.
Ia mengajak masyarakat untuk berkontribusi mulai dari hal kecil. “Bahkan membagikan informasi yang benar di WhatsApp keluarga saja sudah termasuk kontribusi. Yang penting konsisten,” selorohnya.***


