Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
“Ketika kita akan berlaku salah, nuranilah yang pertama kali berteriak histeris dan spontan mengatakan pada kita, ‘Jangan lakukan! Itu perbuatan buruk!’”
Menurut Anda, apakah mencuri, korupsi, menipu, merampok, menganiaya, serta menzalimi orang lain itu salah? Saya yakin Anda akan menjawab: Ya.
Siapa yang yang pertama kali mengajari Anda bahwa mencuri adalah perbuatan dosa? Kebanyakan kita lupa, atau jangan-jangan tidak seorang pun yang dulu dengan sengaja menanamkan dalam benak kita bahwa mencuri itu salah. Tetapi hampir semua orang tahu dan sadar bahwa mencuri perbuatan salah. Tak peduli apakah ia tahu dalilnya dalam agama atau tidak. Bahkan tak peduli apa pun agamanya. Semua orang akan sepakat jika disebut mencuri, korupsi, merampok, menipu, serta menyakiti orang lain adalah perbuatan salah.
Mungkin di antara kita memiliki pemahaman yang berbeda-beda terhadap wahyu Allah Swt.. Mungkin kemampuan kita dalam mempelajari Islam juga masih sangat terbatas. Mungkin kita tak pernah men-tadabburi Al- Qur`an. Mungkin kita tak pernah mempelajari hadis-hadis Rasul. Lalu bagaimana cara kita mengenal benar dan salah? Bisakah kita mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk tanpa landasan Qur`an dan hadis? Jawabannya: Bisa!
Selain melalui wahyu dan teladan Rasul, Allah mencipta satu perangkat hebat pada diri manusia untuk mengenali mana kebaikan dan mana keburukan. Selain melalui teks tertulis dan Kitab Suci, Allah memberi satu alat bantu untuk mengindikasi mana kebenaran dan mana kesalahan. Perangkat itu biasa kita sebut NURANI.
Seterbatas apa pun pengetahuan Anda mengenai hadis, sedangkal apa pun pemahaman Anda terhadap agama, semua itu tidak bisa menjadi alasan bagi Anda untuk berbuat keburukan. Setiap manusia selalu disertai dengan nurani yang akan selalu membimbing perjalanan hidupnya, dan hanya mengarah pada yang baik. Dalam menghadapi keadaan apa pun, nurani akan membisikkan suara jernih yang menyuruh kita memilih dan melakukan hal yang benar dan baik saja.
Nuranilah yang membuat setiap manusia akan melihat nilai-nilai kesamaan dalam jiwanya saat merasakan kebenaran hakiki. Bayangkan ketika Anda dalam suatu perjalanan tiba-tiba melihat seorang pemuda yang sedang menjambret tas seorang wanita tua, perasaan apa yang muncul saat itu? Saya yakin suara hati Anda akan berkata, “Tolong wanita tua itu.” Kalimat itu muncul secara spontan dari dalam nurani. Suara nurani itu secara sadar akan muncul meskipun Anda tidak berusaha memunculkannya. Dalam Spiritual Quotient disebut sebagai ‘anggukan universal’. Semua orang akan mengangguk saat melihat, mendengar, ataupun merasakan kebenaran hakiki.
Ketika kita ragu pada sebuah keadaan yang butuh pilihan, tanyalah pada nurani. Karena nurani akan memberitahu dengan sangat jujur. Nurani akan menjadi penjaga kita di setiap saat untuk selalu berjalan di jalan yang lurus. Nuranilah yang akan setia memberi jawaban yang benar pada setiap kondisi hidup yang kita hadapi. Ketika kita akan berlaku salah, nuranilah yang pertama kali berteriak histeris dan mengatakan, ‘Jangan lakukan! Itu perbuatan buruk!’
Sang Penasihat Abadi
Sejak lahir kita telah dikaruniai Allah Swt. sebuah perangkat detektor yang membantu kita menilai mana baik mana buruk. Detektor itulah nurani. Nurani akan memberi sinyal ketidaktenteraman di jiwa ketika ada keburukan mendekat. Nurani akan memberi sinyal ketenteraman di jiwa ketika ada kebaikan didapat.
“Mintalah fatwa pada hatimu. Kebaikan itu adalah apa- apa yang tenteram jiwa padanya, dan tenteram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa, dan ragu-ragu dalam hati, meski orang- orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkanmu.” (HR. Muslim)
Mari menjadikan nurani sebagai penasihat abadi. Ketika menghadapi keadaan yang butuh kejernihan pikir, tanyalah pada nurani, kemudian pilih mana yang membuat jiwa kita tenang, itulah pilihan yang tepat. Itulah kebenaran.
Misalkan Anda sedang dalam kondisi simalakama, serba membingungkan seperti kejadian berikut. Anda sebagai pegawai di sebuah lembaga pemerintahan yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tiba-tiba anak Anda terbaring di rumah sakit dan butuh dana yang cukup besar untuk perawatan. Padahal penghasilan Anda adalah satu-satunya pemasukan keluarga. Suatu hari atasan Anda memercayai Anda memegang sebuah proyek besar. Nah, dalam proyek besar tersebut Anda memiliki peluang yang cukup besar dan mengorup dana proyek. Anda akhirnya dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, Anda melakukan penggelembungan dana proyek di sana-sini, Anda meniatkan hasilnya untuk biaya pengobatan anak Anda yang sedang terbaring di rumah sakit. Atau pilihan kedua, Anda melaksanakan proyek dengan jujur, dan dengan gaji serta bonus yang Anda peroleh tidak cukup untuk pengobatan anak Anda.
Biasanya dalam keadaan normal kita begitu mudah untuk memilih hidup di jalan yang lurus-lurus saja. Tetapi ketika dihadapkan pada masalah yang butuh kekuatan lebih untuk menyelesaikan, kita tak jarang terjerumus di jalan yang tak diridhai oleh Allah Swt.. Padahal dalam keadaan yang ditimpa masalah itulah kualitas hidup kita sedang diuji. Jika mampu menyelesaikan persoalan hidup dengan cara yang benar, derajat kita di sisi Allah Swt. akan naik kelas.
Di sinilah nurani siap bekerja. Ketika Anda menghadapi sebuah persoalan seperti yang saya ceritakan di atas, nurani Anda sebenarnya spontan mempersiapkan jawaban. Dari dua kemungkinan yang bisa Anda pilih, nurani Anda pasti akan menunjukkan pilihan yang paling tepat untuk Anda ambil. Ketika berpikiran untuk memilih alternatif pertama, yakni mengorup dana proyek agar Anda bisa terbayar, nurani Anda akan berontak. Pemberontakan nurani itu pasti Anda rasakan. Anda akan senantiasa dihantui rasa bersalah. Dari rasa bersalah itu kemudian memunculkan satu keadaan yang membuat hidup kita tidak tenang. Rasa takut ketahuan, rasa berdosa, rasa menzalimi, dan lainnya bertumpuk menjadi satu masalah baru dalam hidup Anda.
Tetapi ketika Anda memilih pilihan kedua, yakni melaksanakan proyek dengan jujur, nurani Anda akan mengangguk setuju. Ketika Anda menjatuhkan pilihan pada kebenaran, nurani Anda akan tersenyum karena menyaksikan raga yang dipimpinnya menurut pada titahnya.
Dampak Noktah Dosa
Ada sebuah kalimat indah tapi menyesatkan, “Dosa yang dihikmati bisa membuat manusia semakin dewasa”. Kalimat itu seolah memuat logika pikir sebagai berikut: untuk menjadi dewasa, Anda perlu melakukan berbagai dosa, kemudian masing-masing dosa itu ditobati dan dihikmati.
Padahal dengan sangat gamblang literatur agama kita memberi tahu bahwa setiap kemaksiatan yang kita lakukan akan menjadi noktah dosa yang menghitam-kan hati. Jika maksiat terus kita kerjakan dan tak kunjung kita tobati, noktah demi noktah akan semakin menutup dinding nurani.
Benar memang nurani senantiasa membisikkan kebenaran. Tetapi mengapa ada orang yang begitu tenang setelah melakukan perbuatan dosa? Mengapa ada orang yang tidak dirundung rasa bersalah setelah melakukan kemaksiat-an? Apakah nuraninya sudah tak lagi membisikkan kebenaran? Apakah nurani sudah tak lagi berontak saat raga yang dipimpinnya melakukan perbuatan buruk?
Bukan! Nurani akan selalu menyuarakan kebenaran. Tetapi ketika noktah dosa telah menebal, ia akan menutup rapat dinding nurani, sehingga suara kebenaran yang dikeluarkan oleh nurani tak lagi jelas terdengar. Akibatnya, si pelaku dosa dengan santainya menikmati perbuatan buruknya, tak lagi memiliki rasa berdosa. Padahal, hukuman terberat bagi pendosa, kata Imam Ibnu Jauzi dalam Shaidul Khatir, adalah perasaan tidak berdosa. Sejak itulah suara nurani tak banyak memiliki arti. Hatinya seolah mati dan terkafani oleh legamnya noktah yang telah menumpuk dan menutupi dinding nurani.
Wajarlah jika Hasan Az-Zayyat pernah berujar, “Yang paling aku takutkan ialah keakraban hati dengan kemungkaran dan dosa. Jika kedurhakaan berulang kali dikerjakan, jiwa menjadi akrab dengan-nya hingga ia tak lagi peka, mati rasa.”