Khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
“Apakah kamu tidak memerhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, ‘Angkatlah untuk kami seorang raja supaya Kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah’. Nabi mereka menjawab, ‘Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang’. Mereka menjawab, ‘Mengapa Kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?’ Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]:246)
Sebagian pendapat menyatakan bahwa sebutan “Nabi” pada surat QS. Al-Baqarah [2]:246 di atas adalah Nabi Samuel a.s.. Nabi Samuel a.s. adalah seorang nabi yang hidup di tengah-tengah Bani Israil sepeninggal Nabi Musa
a.s. dan meninggal ± 11 tahun sebelum masehi.
Alkisah, -seperti dituliskan pada buku Membumikan Rahmat Allah karya Ustadz Yusuf Mansur- pada zaman Nabi Samuel a.s., sekelompok masyarakat mengadukan kepada beliau yang diwakili oleh ‘wakil-wakil’ mereka bahwa mereka membutuhkan seorang pemimpin arif. Mereka butuh seorang raja yang bijaksana yang mengedepankan
kepentingan rakyat dan bukan kepentingan seputar perut serta kemaluan. Mereka mengadukan hal ini kepada Nabi Samuel a.s., karena mereka percaya bahwa kedekatan Nabi Samuel a.s. dengan Tuhan. Mereka sedang dirundung kesengsaraan dan kemalangan, kehinaan dan kenistaan. Mereka sedang kehilangan figur pemimpin bangsa yang layak dipercaya. Ber-ganti pemimpin, di mata mereka, hanya berganti model dan bentuk pemerasan dan kemungkaran. Hasil akhirnya sama, kesedihan dan kepedihan!
Tersebutlah Jalut, seorang penindas, pemimpin yang korup, bertangan besi menghukum seenak udel. Hal inilah yang memaksa mereka memohon kepada Nabi Samuel a.s. agar beliau mau memohon kepada Tuhan untuk memilihkan seorang yang mampu meruntuhkan tirani kekuasaan Jalut.
“Apakah kamu tidak memerhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, ‘Angkatlah untuk kami seorang raja supaya Kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah’.” (QS. Al-Baqarah: 246)
Pemuka-pemuka Bani Israil, al-Malâ, dikisahkan dalam ayat di atas adalah sekelompok pemuka yang mewakili aspirasi masyarakat mayoritas, masyarakat bawah. Mereka membawa agenda reformasi kepada Nabi Samuel a.s. Siapa sangka, bila kemudian mereka berkhianat. Siapa yang menduga bahwa agenda reformasi mereka usung lantaran
‘dapur’ mereka terancam, bukan lantaran tangisan kering masyarakat.
Inilah yang kemudian terjadi. Nabi Samuel, sebagai utusan Allah , ia tahu akan hal itu. Tetapi demi menjaga kesopanan dan pengharapan akan berubahnya mereka dan masyarakat yang dibawa oleh mereka, Nabi Samuel tetap melayani mereka.
“Apakah benar nanti kalian akan berjuang bersama mereka?” tanya Nabi Samuel .
“…Nabi mereka menjawab, “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang”. (QS. Al-Baqarah: 246)
Ia tahu benar bahwa di tengah masyarakat yang miskin hati, sempit hati, suka berlaku aniaya, tidak peduli akan nasib saudaranya, kufur nikmat, hidup tidak lagi ‘seimbang’, akan dihadirkan seorang pemimpin yang zalim pula, di samping ‘sunah’-Nya yang lain berupa kesulitan ekonomi.
“….Jika suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan (hidup tidak lagi seimbang), maka Allah akan menimpakan paceklik beberapa waktu, kesulitan pangan, dan ‘menghadiahi’ kezaliman penguasa.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di
tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikian- lah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan. Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya. Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka ber-kata, ‘Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberi- kan kepada utusan-utusan Allah’. Allah lebih menge- tahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu membuat tipu daya.” (QS. Al-An’âm [6]: 122-124)
Nabi Samuel juga tahu betul, bahwa masyarakat yang dihadapinya ini adalah masyarakat yang korup, yang berlaku ghulûl, khianat. Jadi, bagaimana bisa ‘tiba-tiba’ meneriakkan kesucian, kefitrian? Betul kalau hidayah, bagaimana kalau sesuatu yang lain? Yakni sebuah niatan yang tersembunyi di dalamnya kemunafikan.
Terhadap masyarakat yang kehilangan nûr seperti di atas, Rasulullah pun tidak memberi jaminan bahwa mereka mampu bertahan dari musuh-musuh mereka, baik yang nyata maupun yang tidak. Kejujuran bagi masyarakat seperti ini sudah menjadi suatu hal yang teramat mahal dan
langka. Mencari orang pintar lagi pandai banyak, tetapi mencari orang jujur susahnya minta ampun. Ya, karena pandai dan pintar bisa dibentuk kemudian berdasarkan pelajaran dan penempaan pengalaman. Sedangkan kejujuran latihannya berat dan lebih banyak bicara mental.
Masyarakat justru sedang ironi, memandang kejujuran sebagai suatu keanehan. Jujur berarti kemiskinan. Jujur berarti kesendirian. Sehingga semua takut berlaku jujur, khawatir berkata benar. ‘Mati’ semua mata hati. Terbungkam semua kata hati.
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikian- lah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’âm [6]: 122)
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Isra` [17]: 72)
Tidak mungkin masyarakat yang kotor butuh pemerintahan yang bersih. Tentu saja mereka akan membutuhkan perangkat-perangkat pemerintahan yang
bisa mendukung segala kecurangan dan keculasan mereka. Mereka butuh pemerintahan dan alat hukum yang bisa dibeli tunai oleh embusan dunia. Mereka butuh pemerintahan yang bisa diiba oleh kentalnya hubungan persaudaraan dan pertemanan. Demikianlah, tidak mungkin juga masyarakat yang begitu permisif akan kejahatan kemudian mampu membendung pemerintahan yang zalim.
Hanya saja, ketika mereka ditimpa kemalangan disebabkan pemerintahan ‘boneka’ yang mereka ciptakan dan tanpa sadar berbalik aniaya kepada mereka atau dirasakan mulai membahayakan dirinya… atau mereka merasa akan ada pemerintah pengganti, maka cepat-cepat mereka berteriak-teriak meminta diganti duluan, mendukung sebagian masyarakat lain yang berlisan ‘asli’.
Hal inilah yang menjadi pertanyaan Nabi Samuel. Maka, ketika pemuka-pemuka Bani Israil seperti telah disebut di atas menghadap kepada beliau dan memintanya memohon kepada Tuhan agar dipilihkan seorang raja, beliau bertanya ‘kebenaran’ misi dan visi mereka.
Nabi Samuel menginginkan agar masyarakat-nya mengubah dulu sikap dan sifat jelek mereka. Bersihkan dulu segala kotoran badan dan hati. Jangan lagi permisif terhadap kemungkaran, bahkan turut serta terhadap kemungkaran, bahkan turut serta berkolusi, menciptakan konspirasi membobol kekayaan negara dan bangsa. Jangan lari berteriak maling, padahal ia merampok di siang bolong dan menghadang dengan kekuatan wewenang dan kekuasaan. Jangan lagi berteriak saya ikut prihatin padahal mereka yang mengusung tirani berbuat buruk, ikut bermain
‘proyek’ dan menampung keringat rakyat. Mengaku membela para pengungsi dan dhu’afa kenyataannya malah menjual mereka melalui tumpukan proposal.
Nabi Samuel menginginkan agar mereka meng-ubah pakaian yang melekat di atas dan menggantinya dengan pakaian yang lain, yaitu pakaian keimanan dan ketakwaan.
“…Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik….” (QS. Al-A’râf [7]: 26)
Ketika ditanya oleh Nabi Samuel,
“…Jangan-jangan jika diwajibkan atasmu berperang, kamu tidak akan berperang juga?…” (QS. Al-Baqarah [2]: 246)
Mereka menjawab,
“…Mengapa kami tidak akan berperang di jalan Allah, sedangkan kami telah diusir dari kampung halaman kami dan (dipisahkan dari) anak-anak kami?…” (QS. Al- Baqarah [2]: 246)
Begitulah jawaban pemuka-pemuka Bani Israil dan kaum Samuel setelah dipersyaratkan kepada mereka jihad fî sabîlillâh jika keinginan mereka ingin dikabulkan.
Jawaban mereka begitu tegas dan lugas. Seakan mereka akan ikut mengusung gerbong lokomotif reformasi. Seakan mereka akan mempertaruhkan segala apa yang mereka miliki untuk kepentingan bersama, the next better future. Siapa pun tidak akan berani menyangka bahwa mereka
yang berteriak-teriak paling lantang itu, lantaran kaki mereka terjepit, bukan untuk menolong saudara mereka yang terinjak-injak harga diri dan kehormatannya. Siapa sangka bahwa jawaban mereka hanya sebuah ‘motivasi’ bagi yang lain, sementara mereka berkipas-kipas berdiam diri, mengatur dari balik tirai sutra. Bukan tidak mungkin, orang-orang seperti ini kelak akan berkoar-koar bahwa merekalah reformis sejati, bahwa merekalah pejuang sejati, pejuang rakyat. Padahal mereka oportunis. Andai mereka kelak punya kesempatan untuk menggantikan tirani yang tumbang, mereka tidak lebih baik dari pendahulunya. Bahkan sangat mungkin lebih bejat lagi.
“…mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya ” (QS. Al-Fath [48]: 11)
“Taat dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi Jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS. Muhammad [47]: 21-22)
Dikisahkan kemudian, apa yang menjadi kekhawatiran Nabi Samuel terjadi,
Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]:246)
Bahkan sebelum ‘berperang’ dalam medan peperangan yang sesungguhnya, umat Nabi Samuel ini sudah ‘berperang’ di antara mereka sendiri, ricuh dalam hal pemilihan panglima perang dan struktur organisasi. Padahal sebelumnya mereka mengaku menyerahkan sepenuhnya strategi kepada Nabi Samuel. Mereka mengaku akan tunduk dan patuh kepada segala petuah Nabi Samuel dan petunjuk Tuhan. Nyatanya mereka tidak demikian.
Ketika Nabi Samuel memohon petunjuk dari Allah, dijawab oleh-Nya dengan penunjukan Thalut sebagai pemimpin, sebagai raja. Tetapi mereka menolak. Alasan mereka sangat materialistik, persoalan harta. Seakan ukuran kemuliaan di mata meeka adalah kekayaan, dan ukuran kehinaan adalah kemiskinan. Dari sisi ini, ketahuanlah lagi kebusukan hati mereka. Mereka berjuang bukan karena harus berjuang, tetapi ada alasan lain yang mendasari gerakan mereka,
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka, ‘Sesungguh- nya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.’ Mereka menjawab, ‘Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi
kekayaan yang cukup banyak?’ Nabi (mereka) berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.’ Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Mahaluas pemberian- Nya lagi Maha Mengetahui.’ Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya Tabut (peti penyimpanan Taurat) kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; yang dibawa malaikat.’ Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah [2]: 247-248)
Ukuran pemuka Bani Israil dan sebagian umat Nabi Samuel adalah etnis, primordialistik, dan kekayaan. Yang semua ini tidak mereka dapati pada diri Thalut. Mereka menolak dan terang saja mereka menolak. Mereka khawatir, kalaulah Thalut kemudian benar menjadi raja, maka kepentingan mereka akan terabaikan dan mereka tidak bisa lagi leluasa. Karena mereka tahu persis bahwa pilihan Tuhan pastilah makhluk yang suci, suci hati suci pikir.
Tetapi keputusan adalah keputusan. Perang melawan kezaliman telah dikumandangkan. Perang melawan Jalut sudah diumumkan. Barisan telah diatur. Mau tidak mau sebagian yang tidak suka tetap diberangkatkan dan berangkat. Maka terbuktilah mereka ini adalah manusia-
manusia yang gampang mengeluh. Dalam perjuangan mengeluh, bahkan dalam perjalanan menuju perjuangan saja sudah mengeluh.
Nabi Samuel terdiam menyaksikan kejadian demi kejadian. Ketetapan telah Allah turunkan, Dia akan menyaksikan kebenaran dan membuktikan kefasikan dan kemunafikan. Mereka yang berangkat dengan hati yang bersih akan menemui banyak kemudahan di dalam perjuangan dan di akhir perjuangan. Mereka yang berangkat dengan niatan yang bagus akan menemui manisnya berjuang di jalan Allah , menegakkan agama, dan kehormatan bangsanya. Tetapi mereka yang berjuang dengan alasan di luar Allah , maka perjuangan ini akan terasa berat sekali. Kerikil menghadang akan dianggap-nya sebagai batu besar yang seketika membuntukan jalan yang akan dilaluinya. Kepanikan akan luar biasa terjadi bila ada pihak yang melihat kebusukannya. Dan mereka yang bersifat kotor akan tumbang di tengah jalan.
Dikisahkan kemudian, berangkatlah Thalut dengan tentaranya dengan penuh kesiapan lahir dan batin. Lahir berupa kesiapan fisik dan SDM. Batin, berupa kesiapan hati, seraya menancapkan kepercaya-an diri yang tinggi seakan Tuhan ‘ikut turun’ dan menurunkan ribuan malaikat-Nya membantu. Thalut dan tentaranya bergerak ‘menjemput impian’. Sebelum keberangkatan, Thalut berpesan bahwa kelak mereka akan menemui sungai. Tuhan melarang mereka meminum air sungai. Kalaupun boleh, maka hanyalah seteguk melewati tenggorokan, pelepas dahaga.
“Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata, ’Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan Barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku. ’” (QS. Al-Baqarah [2]: 249)
Hal ini menjadi perumpamaan dalam menuju cita-cita yang besar maka jangan tergoda dengan hal-hal yang bisa membelokkan arah dan tujuan. Para pejuang sering dikalahkan oleh senjata dunia yang ditembak-kan musuh- musuhnya. Para pejuang kemerdekaan dan reformis bisa goyang lantaran tawaran posisi dan aliran uang. Kata Tuhan, kecillah bila kita terima tawaran tersebut dibandingkan penawaran dari sisi-Nya.
Air sungai itu juga tamsil ‘kemafhuman’ Tuhan akan ada saja godaan yang menghampiri kita dalam menuju cita- cita; kemerdekaan, pertaubatan, dan lain sebagainya. Dan tujuan yang paling tinggi adalah kembali menuju jalan-Nya, kepada-Nya. Berat. Oleh karenanya, Tuhan memberi warning agar kita memperteguh keimanan dan hati di antaranya dengan beristiqamah.
Bani Israil adalah Bani Israil, umat yang dikenal sangat pembangkang, ‘mbandel, keras kepala, susah diatur, banyak nanya. Sekalipun dijawab, meng-acuhkan. Peringatan Thalut tidak mereka gubris. Sehingga ketika mereka benar- benar menemui sungai, mereka tetap saja meminumnya. Kecuali sebagian saja yang mematuhi Thalut.
“…kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka.” (QS. Al-Baqarah [2]: 249)
Thalut bersikap dingin. Betapa kecilnya air sungai dibanding kemerdekaan yang mereka inginkan. Setan telah begitu merasuk ke dalam jiwa dan pikiran mereka sehingga air sungai itu mengalahkan cita-cita mereka, sebuah kemerdekaan yang hakiki, kebebasan dari tirani Jalut. Seperti sudah diduga sebelumnya, bahwa jangankan sebelum meminum air sungai, tanpa meminum air sungai pun mereka tidak akan ikut berjuang. Akhirnya, mereka yang memang tidak punya niatan jihad ini mundur. Mereka ini meminum air sungai dengan berlebihan. Mereka tidak lagi bisa berjalan, tidak kuat lagi menegakkan punggung.
“….tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata, ‘Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya ’”
(QS. Al-Baqarah [2]: 249)
Tersisalah Thalut dan sedikit bala tentaranya. Tetapi sejarah berulang kali membuktikan bahwa kelompok minoritas yang kuat akan sanggup menguasai kelompok minoritas yang lemah. Jangan-kan kelompok minoritas yang baik, yang buruk pun akan sanggup mengalahkan kebaikan yang dilakukan parsial, perorangan. Imam Ali pernah
berujar, kejahatan yang terorganisir akan sanggup mengalah-kan kebaikan yang dilakukan secara sendiri- sendiri.
Thalut dan tentaranya yang sedikit itu berhasil membuktikan hal di atas. Mereka begitu yakin bahwa mereka akan ditolong Tuhan. Bukankah pertolongan Tuhan akan datang kepada mereka yang membela-Nya dengan tulus dan berjuang dengan kesabaran?
“… orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata, ‘Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang- orang yang sabar.’” (QS. Al-Baqarah [2]: 249)
Thalut dan tentaranya menapakkan kaki dengan mantap dan berdoa,
“Ya Tuhan Kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 250)
Sesuai dengan sunah-Nya, kemenangan akan berada di pihak mereka yang berjuang demi nama-Nya. Thalut dan tentaranya berhasil menuangi kemenangan dan mencapai kemerdekaan dari Jalut. Akhirnya, Jalut berhasil dibunuh oleh Thalut. Jalut bahkan berhasil roboh bukan diawali dengan pedang samurai, tidak dengan senjata beracun, dan tidak pula dengan dentuman bom. Jalut mati di tangan Thalut hanya dengan sebuah ketapel. Kedua mata Jalut buta
disambar oleh biji ketapel Thalut. Thalut yang disebagian riwayat disebut Nabi Daud berhasil membangun kerajaan baru di kemudian hari, kerajaan yang dibangun atas dasar ridha-Nya dan dibangun untuk menuju keridhaan-Nya.
“Maka mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 251).
Persyaratan Nabi Samuel di awal perjuangan bahwa kalau mau benar-benar bebas secara asasi, maka terlebih dahulu dipersyaratkan keamanan dan kejujuran hati benarlah adanya. Karena terbukti kemudian, mereka yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut akan patah di tengah jalan dan akan sia-sia apa yang diperjuangkannya. Apalagi bila nyata-nyata tidak ada keinginan untuk membangun keutuhan kehormatan agama dan bangsa. Hanya mengusung kepentingan pribadi.
Keteguhan umat Nabi Samuel yang masih tersisa telah melahirkan sebuah pemimpin yang andal dan membuat Tuhan menjatuhkan pilihan untuk menghadiahi mereka pemimpin yang kuat, arif, dan bijaksana. Maka jika sebuah negeri mau memiliki pemimpin yang berkualitas, bersih dari segala KKN, terlebih dahulu rakyatnya bersama- sama bertaubat kepada Tuhan; membersihkan diri, tidak
lagi permisif dengan segala bentuk kemungkaran, tidak ikut mempersaksikan dan turut berbuat kemungkaran. Barulah Tuhan akan menghadirkan pemimpin yang baik bagi kita yang bisa membawa kita kepada sebuah suasana baru yang sama kita inginkan.
Ditekankan di sini, perbaikan yang dimulai dari bawah karena sifat kekuasaan akan membuat hati pemegangnya enggan menerima kritikan. Utamanya penguasa uang memandang kekuasaan adalah segalanya. Jadi, sementara rekan-rekan yang lain berseru kepada mereka yang ‘di atas’ untuk bebersih diri, penulis memilih berseru kepada yang ‘di bawah’ sajalah dulu yang berbenah hingga pertolongan Tuhan datang. Biarlah urusan pemimpin yang zalim menjadi ‘urusannya Tuhan’. Karena, sunah-Nya tidak akan pemimpin yang zalim sanggup berkuasa lama bila masyarakat yang dipimpinnya taat dan patuh kepada ajaran Tuhannya.
“…Seandainya Allah tidak melindungi sebagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (QS. Al-Baqarah [2]: 252).