khazanah
Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
Suatu hari Yusuf Al Razi melakukan perjalanan bersama sahabat-sahabatnya di negara Arab. Ketika sampai ke suatu daerah kekuasaan suatu suku, seorang puteri kepala suku itu melihatnya, lantas tergila-gila kepada Yusuf yang memang berwajah tampan. Ia pun mencari-cari waktu yang tepat untuk mendekati Yusuf. Saat yang dinantikan pun tiba. Dengan sangat berani ia pun mendekati Yusuf dan merayunya, layaknya Zulaikha merayu Nabi Yusuf as. Namun, Yusuf bin Al Husain Al Razi ini memang sosok pemuda yang teguh imannya. Ia dengan gemetar berusaha menghindar dari godaan si puteri kepala suku. Dan berhasil. Yusuf pun lalu meninggalkan tempat itu menuju perkampungan yang jauh letaknya.
Suatu malam, ketika Yusuf menyandarkan kepala ke lututnya, ia bermimpi sedang berada di suatu tempat yang belum pernah dikenalnya. Seseorang sedang duduk di atas sebuah tahta dengan segala kebesaran sebagaimana layaknya seorang raja, di sekelilingnya berdiri pengawal-pengawal berjubah hijau. Karena ingin tahu siapa mereka sebenarnya, Yusuf menghampiri mereka. Semua memberi jalan kepada Yusuf dan memberi hormat kepadanya.
“Siapa kalian?” tanya Yusuf.
“Kami adalah para malaikat, dan yang duduk di atas tahta itu adalah Yusuf as. Ia datang berkunjung kepada Yusuf bin Al-Husain.”
Mendengar penjelasan para malaikat, Yusuf tak kuasa menahan air mata. Ia pun berseru, “Siapakah aku ini sehingga Nabi Allah sendiri telah datang untuk mengunjungiku.”
Yusuf as turun dari tahta dan merangkul Yusuf bin Al-Husain. Kemudian Yusuf as mendudukkan Yusuf bin Al-Husain ke atas tahta itu. Yusuf bin Al-Husain bertanya kepada Yusuf as.
“Wahai Nabi Allah, siapakah aku sehingga engkau sedemikian baiknya terhadapku.”
Yusuf as menjawab, “Ketika gadis jelita itu menghadangmu tetapi engkau menyerahkan diri kepada Allah dan minta perlindungan-Nya, Allah menunjukkan dirimu kepadaku dan para malaikat ini. Dan Allah berkata padaku, “Lihatlah wahai Yusuf, engkau adalah Yusuf yang punya keinginan kepada Zulaikha namun karena takut kepada Allah kau menolak bujukannya. Tetapi dia ini adalah Yusuf yang tak ada berahi terhadap puteri seorang raja Arab dan melarikan dirinya. Allah mengutusku beserta malaikat-malaikat ini untuk mengunjungi-mu. Dia sampaikan kabar gembira padamu bahwa engkau adalah salah seorang di antara manusia-manusia kesayangan-Nya.”
Kemudian Yusuf as menambahkan, “Di dalam setiap zaman ada seorang penunjuk jalan. Penunjuk jalan pada zaman ini adalah Dzun Nun Al-Mishri. Dia telah mengetahui yang terbesar di antara nama Allah. Pergilah kepadanya.”
Yusuf pun terjaga dari tidurnya. Hatinya sangat terharu. Hasratnya menggelora. Ia sangat ingin mengetahui yang terbesar di antara nama-nama Allah. Berangkatlah ia ke negeri Mesir. Sesampainya di masjid Dzun Nun iapun mengucapkan salam dan duduk. Dzun Nun membalas salamnya. Setahun lamanya Yusuf duduk di sudut masjid itu. Ia tidak berani bertanya kepada Dzun Nun. Setelah setahun barulah Dzun Nun bertanya kepadanya, “Anak muda dari manakah engkau?” “Dari Rayy”, jawab Yusuf.
Setahun pula Dzun Nun tidak menegur-negurnya dan Yusuf tetap duduk di pojoknya. Pada akhir tahun yang kedua itu Dzun Nun bertanya kepadanya.
“Anak muda, apakah tujuanmu kemari?”
“Untuk menemuimu.”
“Anak muda apa yang engkau kehendaki?”
“Aku datang supaya engkau mengatakan kepadaku Nama Yang Terbesar.”
Setahun pula Dzun Nun membisu. Kemudian diberikannya kepada Yusuf sebuah tabung kayu yang tertutup dan berkata, “Pergilah ke seberang sungai Nil. Di suatu tempat ada seorang tua. Berikanlah tabung ini kepadanya dan ingatlah apa-apa yang dikatakannya kepadamu”. Yusuf menerima tabung itu dan pergilah me-nyeberang sungai Nil. Di tengah perjalanan hatinya tergoda.
“Apakah yang bergerak-gerak di dalam tabung ini?” ia membatin. Karena penasaran ia buka tabung itu. Seeokor tikus meloncat keluar kemudian melarikan diri. Yusuf kebingungan.
“Kemanakah aku harus pergi sekarang? Haruskah aku ke orang tua itu atau kembali ke Dzun Nun?”
Akhirnya ia memutuskan untuk menemui si orang tua itu. Menyaksikan kedatangan Yusuf yang menenteng tabung kayu yang telah kosong itu, si orang tua tersenyum dan menegurnya,
“Engkau menanyakan nama Allah yang terbesar kepada Dzun
Nun?”
“Ya.” Jawab Yusuf.
“Dzun Nun mengetahui sikapmu yang tidak sabar dan oleh karena itu dititipkannya seekor tikus kepadamu. Maha Besar Allah, seekor tikus saja tidak dapat engkau jaga, apalagi Nama Yang Terbesar itu.”
Yusuf malu sekali, ia pun kembali ke masjid Dzun Nun, dan Dzun Nun menyambutnya, “Kemarin, tujuh kali aku memohon izin Allah untuk menyampaikan nama-Nya yang terbesar itu, tetapi Allah tidak memperkenankannya. Hal ini berarti, belum tiba saatnya. Kemudian Allah menujukiku, ‟Cobalah ia dengan seekor tikus‟. Dan setelah engkau kucoba ternyata beginilah jadinya. Kembalilah ke negeri
asalnya dan tunggulah hingga saat yang tepat.”
“Guru, sebelum aku meninggalkan tempat ini, berilah aku sebuah petuah”
“Baiklah. Akan kuberi padamu tiga petuah. Yang satu besar, yang satu sedang, dan yang terakhir kecil. Petuah yang besar adalah: Lupakanlah segala sesuatu yang telah engkau baca dan hapuskanlah sesuatu yang telah engkau tulis, agar selubung penutup matamu hilang.”
“Guru, petuah ini tidak mampu saya lakukan.” sela Yusuf.
“Petuah yang sedang adalah: Lupakanlah aku dan jangan bicarakan aku kepada siapapun juga. Jika seseorang berkata, muridku mengatakan begini‟ atau ‟guruku mengatakan begitu‟, sesungguhnya semua itu memuji dirinya sendiri.”
“Petuah ini pun tak dapat saya laksanakan.” sela Yusuf.
“Yang terakhir, yang kecil adalah: Serulah manusia kepada
Tuhan mereka.”
“Petuah ini insya Allah saya laksanakan, Guru.”
“Tapi dengan satu syarat, bahwa dalam menyeru manusia itu, engkau bukan menyeru mereka karena mereka.” “Aku penuhi syarat tersebut, Guru.”
Berangkatlah Yusuf ke Rayy. Ia adalah dari keluarga terhormat. Karena itu warga kota datang menyambut kedatangannya. Ketika memulai khutbahnya, Yusuf mengemukakan realitas mistik. Mendengar ajaran-ajaran ini, penduduknya yang hanya mengenal doktrin eksoteris melalui pengajaran formal, marah dan menentang Yusuf. Nama Yusuf jatuh sehingga akhirnya tak seorang pun mau datang mendengar ceramahnya.
Seperti biasanya, suatu hari ia pun tampil untuk berceramah. Tetapi ketika itu tak seorang pun yang hadir mendengarkannya, ia pun bermaksud pulang. Saat itu seorang perempuan tua berseru,
“Bukankah engkau telah berjanji kepada Dzun Nun bahwa engkau akan menyeru manusia bukan karena mereka tetapi karena Allah semata?”
Yusuf tersentak mendengar kata-kata itu. Ia pun memulai ceramahnya. Demikian dilakukannya secara terus menerus selama lima puluh tahun, baik ada yang mendengar atau tidak.
#Syaiful_Anwar
#Fakultas_Ekonomi
#Universitas_Andalas
#Kampus2_Payakumbuh
#One_Hour_Awardness
#Berceramah_Selama_50_Tahun_Baik_Ada_Yang_Mendengar_Atau_Tidak