Aceh, 31 Desember 2025 – Banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Aceh tidak hanya meninggalkan kerusakan fisik, tetapi juga membuka persoalan serius yang hingga kini belum mendapat perhatian memadai: krisis sanitasi dan ketiadaan fasilitas MCK yang layak bagi warga terdampak.
Catatan ini disusun berdasarkan pemantauan langsung Tim Satgas HMI Aceh di lapangan. Di tengah lumpur yang belum sepenuhnya mengering dan tenda-tenda darurat yang berdiri seadanya, warga masih dipaksa bertahan tanpa fasilitas dasar yang seharusnya menjadi prioritas dalam penanganan bencana.
Di beberapa titik pengungsian, warga terpaksa mandi dan buang air di area terbuka atau memanfaatkan aliran sungai yang sudah tercemar. Bau menyengat, genangan air kotor, serta limbah domestik bercampur tanpa pengelolaan yang jelas menjadi pemandangan sehari-hari. Kondisi ini bukan hanya tidak manusiawi, tetapi juga menempatkan para penyintas pada risiko serius penyakit berbasis lingkungan.
Kelompok rentan menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya. Perempuan kehilangan ruang aman dan privasi, anak-anak tumbuh di lingkungan yang tidak higienis, sementara lansia dan penyandang disabilitas kesulitan memenuhi kebutuhan paling mendasar. Situasi ini memperlihatkan bahwa penanganan bencana belum sepenuhnya berpihak pada martabat manusia.
Minimnya kehadiran pemerintah pusat dalam menjawab persoalan sanitasi menjadi catatan penting. Bantuan memang hadir, namun masih didominasi logistik umum. Sementara kebutuhan mendesak seperti MCK darurat, sistem air bersih, dan pengelolaan sanitasi lingkungan belum ditempatkan sebagai prioritas utama. Di lapangan, jarak antara pernyataan resmi dan realitas warga terdampak terasa semakin lebar.
Dalam konteks transisi dari darurat menuju pemulihan, Tim Satgas HMI Aceh menilai perlu adanya langkah strategis yang terencana dan berkelanjutan. Pertama, pembangunan MCK semi permanen yang layak dan bermartabat dengan material tahan banjir, serta desain yang terpisah antara laki-laki dan perempuan dan ramah bagi anak, lansia, serta penyandang disabilitas.
Kedua, penyediaan sistem air bersih berkelanjutan melalui sumur bor dangkal, tandon permanen, atau sistem penyaringan sederhana. Ketersediaan air bersih menjadi fondasi utama dalam mencegah krisis kesehatan pascabencana.
Ketiga, pembentukan dan penguatan tim sanitasi berbasis komunitas yang melibatkan warga setempat, relawan, dan unsur organisasi kepemudaan. Pengelolaan berbasis komunitas dinilai penting agar fasilitas yang dibangun tidak terbengkalai dan dapat berfungsi dalam jangka menengah.
Keempat, pendataan kebutuhan sanitasi yang terintegrasi dan transparan. Data yang akurat mengenai jumlah pengungsi, sebaran wilayah terdampak, serta kondisi fasilitas menjadi kunci agar penanganan tidak tumpang tindih dan bantuan benar-benar tepat sasaran.
Kelima, pendampingan teknis dan pengawasan berkelanjutan dari dinas terkait dan lembaga kemanusiaan guna memastikan standar kesehatan lingkungan terpenuhi, serta menjadikan sanitasi sebagai agenda prioritas, bukan sekadar respons sementara.
Bencana alam memang tidak dapat dihindari sepenuhnya. Namun memastikan warga tetap hidup bermartabat di tengah kondisi darurat dan masa pemulihan adalah tanggung jawab bersama, terutama negara. Sanitasi bukan persoalan tambahan, melainkan fondasi keselamatan dan kesehatan publik.
Rilis ini menjadi pengingat bahwa pemulihan bencana tidak cukup diukur dari surutnya air atau jumlah bantuan yang disalurkan. Selama warga masih harus bertahan tanpa MCK dan sanitasi yang layak, selama itu pula krisis belum benar-benar usai.
Oleh:
Rahmat Firman Hafrizal
Tim Satgas Penanganan Bencana HMI Aceh


