Pemerintah terus menggaungkan pembangunan kolaboratif sebagai strategi percepatan ekonomi. Namun di balik jargon sinergi publik-swasta, data terbaru menunjukkan kerusakan ekologis yang kian menganga. Kementerian Kehutanan melaporkan deforestasi netto Indonesia mencapai 175.400 hektare pada tahun 2024. Dari angka itu, deforestasi bruto mencapai 216.200 hektare, dengan 92,8 persen terjadi di hutan sekunder dan mayoritas berada dalam kawasan hutan negara.
Selain deforestasi, kebakaran hutan dan lahan menyumbang kerusakan signifikan dengan luasan mencapai 376.805 hektare pada periode yang sama. Sementara itu, upaya reforestasi hanya menjangkau 40.800 hektare, menciptakan kesenjangan pemulihan yang besar.
Sejumlah pakar menilai bahwa konstruksi kebijakan pembangunan saat ini tidak memasukkan risiko ekologis sebagai pertimbangan utama. Mengacu pada teori Megaprojects and Risk oleh Bent Flyvbjerg, pembangunan berskala besar rawan bias optimisme dan kerap mengabaikan dampak lingkungan demi percepatan proyek.
Dalam analisis ekologi-politik ala Arturo Escobar, kondisi ini mencerminkan ketimpangan kuasa dalam mengatur sumber daya alam. Narasi kolaborasi yang dipromosikan pemerintah dan korporasi lebih banyak berfungsi sebagai legitimasi politik, ketimbang partisipasi substantif masyarakat yang terdampak.
Sejumlah pemerhati lingkungan menilai pendekatan pembangunan Indonesia kini berada pada persimpangan krusial. Tanpa perubahan regulasi yang lebih ketat dan transparan, pembangunan berpotensi menciptakan biaya ekologis jangka panjang yang jauh lebih mahal daripada keuntungan ekonomi jangka pendek yang terus dikampanyekan.
Masa Depan yang Menagih Pertanggungjawaban
Alih-alih memperkuat ekologi, pembangunan yang mengabaikan risiko lingkungan dapat menjadi ancaman jangka panjang. Ketika hutan hilang, masyarakat adat tersingkir, dan kualitas udara menurun, pembangunan kehilangan makna sosialnya. Jalan keluar yang ditawarkan sejumlah akademisi adalah pembangunan inklusif yang memadukan data ilmiah, pengetahuan lokal, dan tata kelola yang tegas terhadap korporasi.
Indonesia berada pada titik penting, memilih mempertahankan model pembangunan yang agresif namun menguras lingkungan, atau merumuskan paradigma baru yang lebih adil bagi masyarakat dan ekosistem. Narasi kolaborasi akan tetap menjadi kata kosong jika tidak disertai komitmen nyata menjaga keberlanjutan ekologis.
Tanpa koreksi arah, pembangunan yang diharapkan membawa kemajuan dikhawatirkan justru meninggalkan jejak panjang kerusakan dan pada akhirnya, menagih pertanggungjawaban dari generasi yang tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan hari ini.
Oleh : Abdul Halim Wijaya Siregar


