Digindonews.com-Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi topik hangat dalam Forum Diskusi Publik bertema “Membangun Generasi Emas dengan Makan Bergizi Gratis” yang digelar pada Kamis, 23 Oktober 2025. Dua narasumber, Usman Kansong selaku praktisi komunikasi dan Yanto, Ph.D., Wakil Dekan Fakultas Teknik Unika Atmajaya, memberikan pandangan strategis dari sisi komunikasi publik dan akademik terhadap implementasi program nasional tersebut.
Usman Kansong menilai bahwa keberhasilan program MBG tidak hanya bergantung pada pelaksanaan teknis, tetapi juga pada strategi komunikasi publik yang efektif. “Program ini bukan sekadar kebijakan pangan, melainkan narasi besar tentang komitmen negara melahirkan generasi sehat dan berdaya. Komunikasi publik adalah jantung dari keberhasilan program nasional sebesar ini,” ujarnya.
Menurutnya, MBG merupakan transformasi nyata dari janji politik menjadi kebijakan strategis untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia menuju Indonesia Emas 2045. Dengan target 82,9 juta penerima manfaat melalui 32.000 satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG), program ini membutuhkan tata kelola komunikasi yang transparan dan partisipatif.
Usman mengingatkan bahwa penggunaan anggaran besar, mencapai Rp71 triliun hingga pertengahan 2025 dan diproyeksikan naik hingga Rp420 triliun per tahun, menuntut keterbukaan informasi publik. “Masyarakat harus tahu bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan adalah investasi untuk masa depan anak-anak Indonesia,” katanya.
Sementara itu, Yanto, Ph.D. menyoroti aspek ilmiah dan kebijakan gizi nasional. Ia menyebut bahwa kekurangan gizi kronis seperti stunting masih menjadi masalah serius. “Data SSGI 2024 menunjukkan prevalensi stunting sebesar 19,8%. Ini berarti hampir satu dari lima anak Indonesia tumbuh tidak optimal,” jelasnya.
Yanto menambahkan bahwa stunting bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga pembangunan manusia. Anak yang mengalami kekurangan gizi berpotensi memiliki kemampuan belajar rendah dan produktivitas rendah di masa depan. “Kerugian ekonomi akibat stunting bisa mencapai 2–3% dari PDB per tahun,” tegasnya.
Keduanya juga menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor dan pendekatan berbasis komunitas agar program berjalan efektif dan merata. Usman menekankan peran tokoh masyarakat, guru, dan kader lokal sebagai komunikator yang menjembatani pesan pemerintah kepada masyarakat. Sementara Yanto menekankan perlunya pengawasan mutu dan digitalisasi data agar potensi penyalahgunaan dana dapat diminimalisir.
Selain manfaat gizi, MBG dinilai memiliki efek ganda terhadap ekonomi lokal. Dengan melibatkan petani, nelayan, dan UMKM dalam rantai pasok, program ini dapat memperkuat kedaulatan pangan sekaligus menumbuhkan ekonomi rakyat.
“Ketika negara memastikan tidak ada anak belajar dalam keadaan lapar, sesungguhnya negara sedang menegaskan jati dirinya sebagai pelindung kehidupan,” ujar Yanto.
Usman menambahkan, “Tantangan kita bukan hanya memberi makan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa membangun generasi emas adalah tanggung jawab bersama.”
Keduanya sepakat bahwa keberhasilan MBG akan sangat ditentukan oleh transparansi, partisipasi publik, dan komunikasi empatik. Dengan pendekatan yang humanis dan berbasis data, program ini diharapkan menjadi warisan kebijakan yang mampu mengubah wajah bangsa menuju Indonesia Emas 2045.***


